Syariah

Mengenal Asuransi Syariah: Definisi dan Pola Transaksinya

Sel, 14 Mei 2019 | 09:00 WIB

Dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 108, paragraf 7, asuransi syariah didefinisikan sebagai: “Sistem menyeluruh yang pesertanya mendonasikan sebagian atau seluruh kontribusi yang digunakan untuk membayar klaim atas risiko tertentu akibat musibah pada jiwa, badan atau benda yang dialami oleh peserta yang berhak. Donasi tersebut merupakan donasi dengan syarat tertentu dan merupakan milik peserta secara kolektif, bukan merupakan pendapatan entitas pengelola."

Menurut definisi ini, dapat digarisbawahi bahwa dalam asuransi syariah itu berlaku:

1. Premi yang dibayarkan peserta adalah masih sepenuhnya milik member secara kolektif. Mari biasakan untuk mencermati pengertian "milik kolektif" yang tentunya berbeda dengan "milik individu". Milik kolektif dapat dimaknai sebagai milik anggota yang secara bersama-sama terkumpul dalam satu kerja sama untuk saling ta'âwun dan takâful.

2. Premi dibayarkan dengan adanya syarat tertentu. Syarat yang dimaksud menyangkut bentuk penggunaan dana premi, dan berikut pengelolaannya agar dana premi tidak rusak.

3. Premi dikembalikan kepada anggota berdasar atas klaim

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) lewat keputusannya bernomor 21/DSN-MUI/X/2001 yang berisi tentang pedoman umum asuransi syariah, menjelaskan pengertian asuransi syariah sebagai ".......usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru' yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah."

Menurut definisi dari DSN MUI ini, prinsip kerja dari asuransi adalah:

1. Asuransi dibangun atas dasar prinsip tolong-menolong (ta'âwun) dan saling menanggung (takâful)

2. Premi asuransi dibayar dapat melalui dua macam jalur, yaitu investasi aset atau lewat jalan tabarru'

3. Pertanggungan klaim risiko disalurkan dengan basis akad yang sesuai

Berangkat dari dua pengertian di atas, ada hal penting yang harus digarisbawahi bahwa di dalam asuransi syariah, ada dua jenis akad yang dikembangkan oleh pemegang polis dan perusahaan, yaitu: akad tabarru' dan akad investasi. Semua hasil dana dari penerapan kedua akad ini adalah milik kolektif member

Akad Tabarru'

Akad tabarru' merupakan akad yang digunakan untuk mengikat sesama anggota yang terlibat guna menolong peserta lain yang terkena musibah. Orientasi dari akad ini adalah nonprofit (tidak berorientasi pada laba). 

Melalui penerapan akad ini, seolah semua peserta sepakat bahwa ketika terjadi klaim dari salah satu anggota, mereka akan saling tolong menolong dengan rela mendonasikan premi yang dibayarkan guna membagi risiko yang mungkin terjadi pada salah satu peserta. Menurut khazanah asuransi konvensional, akad tabarru' ini terdapat pada pengertian sharing of risk (berbagi risiko).

Akad tabarru' dalam asuransi syariah dapat disalurkan melalui tiga pola penyaluran:

1. Melalui skema meminjamkan uang

Skema pinjaman yang diberikan oleh jasa asuransi syariah kepada member umumnya dilakukan dengan jalan:: 

a. Skema qardlu hasan, yang mana pihak member tidak diberi syarat apapun selain daripada pengembalian utangnya. 

b. Skema gadai (rahn), yaitu pinjaman dengan jaminan yang kelak harus ditebus lagi oleh member

c. Skema hiwalah. Pihak jasa asuransi berperan selaku mengambil alih tanggung jawab risiko dari member ke pihak lain, yang biasanya terdiri atas biaya pengobatan atau biaya risiko yang disyaratkan

Dengan skema ini, peminjaman dana yang diambil dari premi tabarru', tidak boleh mengambil atau mensyaratkan adanya 'iwadl, sebab adanya 'iwadl ini dapat mendorong pada jatuh ke dalam riba. 

2. Meminjamkan jasa 

Skema ini diterapkan melalui upaya peminjaman jasa terampil dan ahli yang dimiliki perusahaan kepada member

Ada tiga kemungkinan skema akad yang bisa diterapkan oleh pihak asuransi syariah kepada member, yaitu:

a. Akad wakâlah. Akad wakalah mensyaratkan pihak jasa asuransi berperan selaku wakil dari pemegang polis. Jadi dengan akad ini, pihak asuransi hanya boleh bertindak dengan atasnama pemegang polis, tidak lebih dari itu.

b. Akad wadî'ah. Dengan akad ini, pihak asuransi bertindak hanya selaku penjaga keberadaan premi anggota sampai terjadinya risiko yang dipersyaratkan.

c. Akad kafâlah. Akad ini memiliki basis hampir sama dengan akad wakâlah. Akan tetapi, pihak asuransi hanya berlaku sebagai pihak ketiga yang menjamin semua efek risiko yang ditanggung oleh pihak pemegang polis. 

Walhasil, ketiga akad ini pada dasarnya memiliki satu muara yaitu pihak asuransi berperan selaku wakil dari nasabah. Selaku wakil, pihak lembaga berperan hanya menyalurkan dana yang sudah terkumpul.

3. Memberikan sesuatu

Skema ini diterapkan dengan jalan, pihak jasa asuransi memberikan sesuatu kepada member secara cuma-cuma. Ada dua kemungkinan akad yang dipergunakan, yaitu:

a. Akad hibah dan shadaqah. Akad ini biasanya digunakan untuk menyalurkan dana melalui pemberian cuma-cuma kepada anggota asuransi yang terkena risiko. Sifat pemberian tidak membutuhkan pengembalian.

b. Waqaf, umumnya diberikan untuk keperluan umum dan agama. Pemberian ini sifatnya tidak bisa dipindahtangankan, melainkan harus kembali berupa nilai harta.

Akad Investasi

Maksud dari akad investasi adalah akad penanaman modal, yakni pemegang polis rela dengan premi yang dibayarkan untuk disalurkan pada jalur usaha tertentu oleh perusahaan guna memperbesar angka kemampuan pertanggungan risiko oleh perusahaan. Hal ini biasanya berangkat dari sebuah motif bahwa tidak mungkin perusahaan hanya mengandalkan angka premi yang dibayarkan anggota sebagai bagian pertanggungan. Harus ada jalur lain guna mengamankan kemampuan pertanggungan tersebut antara lain melalui pengembangan dana yang terkumpul melalui jalur profit. Hasil pengelolaan, sudah pasti adalah milik peserta asuransi secara kolektif, dan pihak pengelola berhak mendapatkan ujrah sesuai dengan posisinya dalam mekanisme investasi ini. 

Mengingat penyaluran ke jalur profit ini ada kemungkinan risiko laba dan tidak, maka dilihat dari sisi kepastiannya, jalur ini dibagi menjadi 2, yaitu:

1. Jalur yang pasti aman dan untung

Biasanya jalur ini diterapkan dengan jalan menyalurkan harta premi yang ada untuk keperluan tijârah (niaga). Laba diperoleh melalui akad murâbahah, yaitu jual beli dengan keuntungan kepada pihak asuransi selaku wakil dari nasabah asuransi

2. Jalur yang adakalanya untung dan adakalanya rugi

Penyaluran akad ini sudah barang tentu harus dengan kesepakatan dari nasabah karena ada potensi kerugian yang memaksa anggota pemilik premi dan pemegang polis untuk turut ikut menanggung risiko investasi. Akad yang dipergunakan adalah akad mudlarabah (bagi hasil) dan akad musyarakah (kemitraan). 

Kesimpulan yang bisa diambil dari uraian di atas adalah bahwa ada satu catatan yang harus diperhatikan khususnya oleh perusahaan asuransi syariah. Catatan itu adalah bahwa kedua jalur skema penyaluran ini tidak boleh saling dipindahtangankan. Misalnya, premi yang sebelumnya untuk akad tabarru' tidak bisa dipindahkan menjadi akad investasi. Demikian pula sebaliknya, akad investasi tidak bisa dialihkan sebagai akad tabarru'. Wallâhu a'lam bish shawâb.

Tulisan ini merupakan hasil dari mencermati berbagai sumber dan sekadar kajian awal penulis. Semoga dapat menambah khazanah pengetahuan kita mengenai perasuransian syariah! Âmîn ya rabbal-'âlamîn.


Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua