Syariah

Pengantar Memahami Bab Syirkah dalam Fiqih Transaksi

Sen, 22 Januari 2018 | 03:45 WIB

Pada tulisan yang lalu, telah dijelaskan bahwa produk pembiayaan pada bank syariah sering diberikan dalam 3 model, yaitu: murabahah, mudlarabah, dan musyarakah. Kali ini kita sampai pada pembiayaan yang ketiga yaitu pembiayaan musyarakah

(Baca: Macam-macam Pembiayaan pada Perbankan Syariah)
Musyarakah berasal dari akar kata syirkah yang dalam istilah fiqih sering dimaknai sebagai: الاجتماع في استحقاق أو تصرف, yaitu suatu bentuk jalinan kerja sama (partnership) dalam kepemilikan dan tasharruf (pengelolaan). Akad ini diperbolehkan secara nash. Dalil nash yang menetapkan adalah firman Allah

 وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ ٱلْخُلَطَآءِ لَيَبْغِى بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ

Artinya: “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS Shâd: 24)

Makna lafadh khulatha’ pada ayat di atas, oleh Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni dimaknai syuraka’, yaitu orang-orang yang berserikat (Ibnu Qudamah, al-Mughni, Daru al-Ihya al-Turats al-Araby:  5/3). Adapun dalil hadits yang dipergunakan oleh para ulama adalah hadits riwayat Abi Dawud, Nabi SAW bersabda: 

عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: يقول الله : أنا ثالث الشريكين ما لم يخن أحدهما صاحبه ، فإذا خان أحدهما صاحبه ، خرجت من بينهما. رواه أبو داود

Artinya: Dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Allah SWT berfirman: ‘Aku adalah pihak ketika dari dua orang yang bersekutu selagi tidak saling mengkhianati. Bila salah-satunya telah berbuat khianat kepada sahabatnya, maka Aku keluar dari keduanya.”

Maksud dari hadits ini adalah bahwa di dalam serikat terdapat keberkahan dari Allah SWT selagi masing-masing pihak tidak saling mengkhianati saudaranya. Pengkhianatan akan menyebabkan hilangnya keberkahan. Jadi tunggu apalagi? Mari hidupi jam’iyah kita ini dengan semangat membangun syirkah! Arus baru ekonomi umat dan khususnya Jam’iyah, tidak akan bangkit tanpa ada yang menginisiasi. Sadar riba itu haram, berarti harus sadar berserikat. 

Apa Syirkah Itu?

Menurut Ibnu Qudamah, ada dua jenis syirkah, yaitu: syirkah milik dan syirkah uqud. Syirkah milik merupakan suatu pernyataan tentang kepemilikan oleh dua orang atau lebih terhadap satu barang “tanpa adanya” kontrak serikat atau persekutuan dalam kepemilikan aset.  Umumnya syirkah ini terbentuk karena faktor alamiah seperti karena waris atau wasiat, atau kondisi lain yang melatarbelakangi kepemilikan satu aset nyata secara bersama-sama, dan dikelola bersama-sama, untung rugi ditanggung bersama, tanpa adanya syarat lain.
 
Adapun syirkah uqud adalah suatu pernyataan yang diselenggarakan oleh dua pihak atau lebih untuk bersama-sama mengusahakan terwujudnya aset, melakukan pengelolaan bersama, dan untung-rugi ditanggung bersama. Contoh: koperasi, permodalan, saham, perseroan dan lain-lain. 

Dengan demikian, perbedaan antara syirah milik dengan syirkah uqud adalah keberadaan pernyataan antara dua pihak yang saling berserikat dalam aset. Syirkah uqud mensyaratkan adanya ikatan kontrak. sementara syirkah milik, tidak mensyaratkan adanya ikatan. 

Karena syirkah ‘uqud memiliki titik tekan pada adanya kontrak, maka dalam literatur turats Syafi’iyah, terdapat empat jenis syirkah ‘uqud yang dikenal, antara lain : syirkah ‘inan, syirkah abdan, syirkah wujuuh dan syirkah mufawadlah. 

Menurut Syeikh Wahbah Al-Zuhaili, ada empat syarat umum yang berlaku untuk syirkah ‘uqud. Syarat umum bagi syirkah ‘uqud ini adalahsebagai berikut:

1) Syirkah merupakan transaksi yang bisa diwakilkan. Artinya bahwa, dalam hal ini, orang yang memiliki modal tidak harus menjalankan sendiri perseroan yang dibentuk. Ia bisa menyuruh seorang wakil untuk menggantikan perannya selaku mushorrif al-syirkah, yang dia beri upah mitsil. 

2) Pembagian keuntungan di antara anggota yang harus jelas. Maksudnya adalah masing-masing pihak antara yang menjalankan usaha dan yang hanya sekedar sebagai pemodal, harus jelas dalam kesepakatan upah yang diterima. 

3) Pembagian keuntungan diambil dari laba perserikatan, bukan dari modal. Maksudnya adalah, bahwa keuntungan dibagi dengan patokan utama kadar keuntungan berdasarkan nisbah modal yang dimiliki sesuai dengan kesepakatan awal. Pembaca bisa menyimak kembali tulisan sebelumnya tentang Ilustrasi produk Deposito dan Reksadana pada Perbankan Syariah

Menurut Syeikh Wahbah Al-Zuhaili, terkait dengan syarat ketentuan “rupa modal”, secara umum disebutkan sebagai berikut:

1) Modal perseroan harus hadir, baik ketika akad maupun ketika akandilakukan pembelian barang. Syarat ini merupakan kesepakatan jumhur fuqaha, sehingga tidakdiperkenankan yang modalnya masih berupa hutang, maupun modalnyamasih belum bisa dihadirkan.

2) Modal perseroan berupa uang, ini adalah kesepakatan empat mazhab, makaperserikatan yang modalnya berbentuk barang, baik barang yang bergerakmaupun yang tidak bergerak maupun tidak bergerak,tidak diperkenankan. Solusinya bagaimana? Misalnya jika suatu rumah dianggap sebagai aset perserikatan, maka keberadaan rumah ini harus diuangkan terlebih dahulu, atau dijual kepada perserikatan dan diterima sebagai uang oleh pemiliknya, kemudian baru diserahkan sebagai modal bagi pemilik tersebut dalam perserikatan.

Menurut Syeikh Al-Qadli Husain dalam kitab al-Lubab fil Fiqhil Imam asy-Syafi’i, beliau menegaskan bahwa fuqaha’ madzhab Syafi’i sepakat bahwakeempat jenis syirkah ‘uqud adalah bathil kecuali syirkah ‘inan. Beliau menyebutkan:

وكلها باطلة إلا شركة العنان

Artinya: “Semua jenis syirkah ini adalah bathil kecuali syirkah ‘inan.” (Syeikh Al-Qadli Husain, al-Lubab fil Fiqhil Imam asy-Syafi’i, Daru al-Fikr: 1/255)

Rukun dan Syarat Syirkah

Syeikh Wahbah Al-Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqhul Islam wa-Adillatuhu, terbitan Daru al-Fikr: 5/22, beliau menjelaskan bahwa: 

وأركان الشركة عند الجمهور ثلاثة: عاقدان ومعقود عليه وصيغة

Artinya: “Jumhur Ulama sepakat bahwa rukun syirkah ada 3, yaitu: 1) dua orang yang bertransaksi, 2) obyek transaksi (ma’qud ‘alaih) dan 3) shighah.” (Wahbah Al-Zuhaili, al-Fiqhul Islam wa-Adillatuhu, Daru al-Fikr: 5/22)

Adapun syarat syirkah, dalam kitab Kifayatul Akhyar, Syeikh Taqiyuddin bin Abu Bakar bin Muhammad menyebutkan adalima syarat yang harus dipenuhi untuk melangsungkan syirkah, antara lain sebagai berikut:

وللشركة خمس شرائط أن تكون على ناض من الدراهم    والدنانير وأن يتفقا في الجنس والنوع وأن يخلطا المالين وأن يأذن كل واحد منهما لصاحبه في التصرف وأن يكون الربح والخسران على قدر المالين

Artinya: “Terdapat lima syarat dalam syirkah, yaitu: 1) benda (harta) yang dinilai dengan uang yakni berupa dinar dirham, dinar, 2) kesepakatan jenis dan macam modal (harta bisa diukur dan dihargakan), 3) harta-harta itu dicampur, 4) masing-masing pihak memberi idzin kepada peserta yang lain untuk melakukan pengelolaan, dan 5) untung-rugi ditanggung menurut kadar harta masing-masing.” (Syeikh Taqiyuddin bin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husainy Al-Hashany, Kifayatul Akhyar, Daru al-Minhaj: 378)

Demikian tulisan singkat ini sekedar sebagai pengantar menuju pemahaman Bab Syirkah yang kelak akan dibahas lebih luas. Pada tulisan berikutnya, akan dijelaskan masing-masing syirkah baik yang dilarang maupun yang diperbolehkan dalam Fiqih Syafi’i. Insyaallah.


Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua