Pengertian Akad Mudharabah dalam Ekonomi Syariah
Terminologi mudharabah berasal dari wazan ضارب - يضارب - مضاربة, yang artinya saling menyerahkan bagian. Dari sisi etimologi, Imam al-Nawawi rahimahumullah, memberikan definisi sebagai berikut:
المضاربة: هي أن يدفع المالك إلى العامل مالا ليتجر فيه، ويكون الربح مشتركا بينهما بحسب ما شرطا وأما الخسارة فهي على رب المال وحده ولايتحمل العامل المضارب من الخسران شيأ وإنما يخسر عمله وجهده
Artinya: “Mudharabah adalah penyerahan harta yang dilakukan oleh seorang pemilik modal kepada pelaku usaha (‘amil) agar diniagakan dengan ketentuan berupa keuntungan yang dibagi secara bersama-sama menurut kesepakatan yang telah disepakati. Kerugian usaha merupakan tanggung jawab pemilik seorang, sementara pihak yang menjalankan dan berprofesi sebagai pengelola harta tidak turut menanggungnya kendati kerugian timbul karena pekerjaannya dan kegiatan usaha yang dilakukan” (Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, Damaskus: Daru al-Kutub Al-’Ilmiyah, tt.: 14/553).
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa di dalam mudharabah, berlaku ketentuan:
1. Pemodal menyerahkan harta yang dimilikinya kepada ‘amil (pelaku usaha yang dimodali).
2. Ada bidang usaha yang digarap dan disepakati oleh mereka berdua
3. Kerugian yang terjadi pada perjalanan usaha adalah ditanggung oleh pemilik modal. Sementara itu pihak pengelola hanya menanggung kerugian berupa jerih payah yang sudah dilakukan.
Jika dicermati lebih lanjut, maka istilah mudharabah ini adalah identik dengan salah satu cabang syirkah (kemitraan), yaitu syirkah wujuh (kemitraan berbekal kepercayaan/ketokohan). Ciri khas dari akad kemitraan semacam adalah modal hanya diberikan oleh pemilik modal. Adapun pengelola hanya bermodal tenaga (‘amal). Contoh praktisnya dalam kehidupan sehari-hari adalah akad kemitraan antara pemilik toko dan supplier. Pemilik toko hanya bermodalkan tenaga menjualkan, sementara supplier bermodalkan barang yang diserahkan penjualannya kepada pemilik toko.
Berdasar definisi di atas, ada beberapa istilah yang harus dicermati dalam akad mudharabah, antara lain:
Pertama, istilah penyerahan. Jika dicermati, istilah “penyerahan” ini memiliki sejumlah pengertian. Pengertian yang paling menyolok adalah bahwa sesuatu yang bisa diserahterimakan dalam akad mudharabah adalah sudah pasti harus berupa “barang maujud dan bisa disaksikan”. Dengan pengertian lain, tidak berlaku istilah penyerahan berupa barang “manfaat”. Jadi, tidak ada istilah mudharabah dalam harta “manfaat.” Misalnya akad mudharabah berupa “manfaat bisa ditempatinya sebuah rumah”, atau akad mudharabah berupa “manfaat utang.” Bagi hasil berupa sewa menyewa berupa “manfaat utang” adalah istilah lain dari riba. Misalnya seperti “Aku beri pinjaman kamu berupa “uang” sebesar 100 ribu untuk buka usaha. Sewa manfaatnya sebesar 10% per bulan.” Akad semacam termasuk akad mudharabah fasidah (akad mudharabah yang rusak) disebabkan karena menyewakan “harta manfaat,” yang merupakan istilah lain dari riba.
Bandingkan juga dengan akad semacam ini: “Aku sewakan “rumah” ini kepadamu. Harga sewa manfaat untuk tempat tinggalnya, per bulan sebesar 100 ribu.” Akad terakhir ini menyimpan keraguan, yaitu pemilik sedang menyewakan rumah, atau menyewakan manfaat hunian? Jika yang disewa adalah rumah, maka sudah pasti harus dengan manfaatnya berupa tempat yang bisa ditinggali. Dengan demikian tidak boleh dipisah menjadi dua harga, yaitu antara akad sewa “rumah,” dengan akad berupa sewa “manfaat,” karena keduanya adalah satu kesatuan. Adanya pemisahan, bisa menarik pemilik pada akad “gharar” (penipuan) yang dilarang oleh syara’.
Kedua, istilah laba bersama (ribhu musytarak). Laba bersama merupakan istilah yang ditujukan karena adanya modal bersama yang dikelola, sehingga mengecualikan seseorang yang berprofesi sebagai wakil. Seorang wakil mendapatkan upah berdasarkan pekerjaannya. Upahnya bersifat tetap sesuai dengan kesepakatan. Beda halnya dengan seorang yang terlibat dalam akad mudharabah. Besar pendapatan yang diperolehnya bisa naik dan bisa turun tergantung pada omzet yang didapat dari hasil pengelolaan. Apabila omzet usaha berjalan lancar dan mendapatkan banyak pemasukan, maka naik pula pendapatan dari seorang pengelola. Sebaliknya bila omzet penjualan berlangsung menurun, maka menurun pula pendapatan yang dimilikinya. Al-Zuhaili menjelaskan hal tersebut sebagai berikut:
والسبب في اشتراك العاقدين في الربح هو أن رب المال يستحق الربح بسبب ماله لأنه نماء ماله والمضارب يستحقه باعتيبار عمله الذي هو سبب وجود الربح.
Artinya: “Sebab bersamanya dua orang yang berakad ini dalam keuntungan adalah karena sesungguhnya pemilik modal berhak atas untung disebabkan karena harta yang diserahkannya untuk dikembangkan/dikelola, sementara pihak pengelola berhak atas keuntungan tersebut sebab pekerjaan yang telah dilakukannya yang menjadi sebab bagi adanya keuntungan.” (al-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, tt.: 5/3935)
Syarat adanya “kebersamaan dalam pembagian laba” ini secara tidak langsung mengecualikan akad mudharabah ini dari dua pola akad lainnya, khususnya bila dilihat dari cara pembagian keuntungannya, yaitu:
1. Akad mubadla’ah
Akad mubadla’ah ini dicirikan sebagai:
إذا شرط جميع الربح لرب المال
Artinya: “[Suatu akad yang terjadi] bila disyaratkan bahwa laba adalah untuk pemilik modal seluruhnya” (al-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, tt.: 5/3936)
Di masyarakat Jawa, sistem ini biasanya dikenal dengan sistem ngedok sawah, di mana seluruh hasil panenan hakikatnya adalah milik pemodal. Petani penggarap hanya menerima bagian dengan persen tertentu setelah semua hasil panenan ada di tangan pemodal. Biasanya hasil dibagi 5 bagian, dengan peruntukan masing-masing, adalah ⅗ bagian adalah milik pemodal, ⅕ bagian adalah bagian lahan dan ⅕ bagian sisanya adalah milik penggarap. Jika lahan itu milik pemodal, maka total bagian yang dikuasai pemodal adalah ⅘ bagian dari hasil. Sementara bila lahan itu milik petani penggarap, maka ⅖ bagian hasil panen adalah milik penggarap. Akad sedemikian ini sebenarnya masuk akad musaqah/mudharabah yang rusak, disebabkan karena ketidakjelasan harga sewa tanah. Seolah, ⅕ bagian untuk tanah tersebut adalah upahnya tanah. Padahal tanah tidak memiliki beban kerja (kulfah).
2. Akad qardl
Akad qardl (utang piutang) merupakan kebalikan dari akad mubadla’ah, yang dicirikan sebagai:
لو شرط جميع الربح للمضارب
Artinya: “[Suatu akad yang terjadi] bila disyaratkan seluruh laba adalah milik pengelola.” (al-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, tt.: 5/3936)
Meskipun hakikatnya suatu akad disampaikan dengan akad mudharabah (bagi hasil), namun bila disyaratkan bahwa keuntungan hasilnya adalah milik pengelola, maka sejatinya akad tersebut adalah akad qardl atau utang piutang.
Wallahu a’lam bish shawab.
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Download segera! NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.