Syariah

Penjelasan tentang Syirkah 'Inan

Kam, 25 Januari 2018 | 09:15 WIB

Penjelasan tentang Syirkah 'Inan

Penjelasan tentang Syirkah 'Inan

Sebagaimana telah dijelaskan dalam tulisan yang lalu bahwa terdapat empat macam syirkah dalam syirkah transaksional (syirkah uqudiî). Dalam madzhab Syafi’i, keempat-empatnya adalah dilarang kecuali syirkah ‘inan. Apakah itu syirkah ‘inan? Simak kajian berikut ini!
 
 
Syeikh Abdurrahman Al-Jaziry dalam kitab al-Fiqhu ‘alal Madzahib al-Arba’ah mendefinisikan syirkah ‘inan ini sebagai berikut:
 
شركة العنان فهي أن يشترك اثنان فأكثر بمالين على أن بعملا معا في تنميتها والربح بينهما على ماشترطا أو يشترك اثنان فأكثر بماليهما على أن يعمل أحدهما فقط بشرط أن يكون للعامل جزء من الربح أكثر من ربح ماله ليكون ماله الجزء نظير عمله فإن شرط له ربحا قدر ماله فقط إيضاع لا يصح لأنه عمل في مال الغير بدون أجر 
 
Artinya: “Syirkah ‘inan (terjadi) bila ada dua pihak atau lebih berserikat mengumpulkan harta untuk ‘dijalankan dan dikembangkan secara bersama-sama’, dan (dengan catatan) pembagian keuntungan sesuai dengan yang disepakati di awal, atau bila ada dua pihak atau lebih melakukan serikat harta agar dijalankan oleh ‘salah satu orang saja’ di antara kedua pihak yang berserikat dengan satu ketentuan bahwa ‘pihak yang menjalankan’ (‘amil) mendapatkan bagian keuntungan—lebih banyak dari sekadar modal (yang ia keluarkan), dengan memperhatikan pada kerjanya, sehingga bila di awal disyaratkan ia hanya menerima keuntungan menurut nisbah modalnya saja, maka hal semacam ini pengabaian.Tidak sah akad syirkah semacam ini, karena (sama saja dengan) ia menjalankan harta orang lain dengan tanpa upah.” (Abdurrahman Al-Jaziry, al-Fiqhu ‘alal Madzahib al-Arba’ah, Dar al-Fikr: 3/39)
 
Inti dari ta’bir di atas adalah bahwa Syirkah ‘Inan, merupakan suatu bentuk ikatan kesepakatan kerja sama antara dua orang atau lebih dalam kerja dan modal, baik dijalankan secara bersama-sama atau dengan menunjuk salah satu peserta syirkah untuk menjalankannya. Dengan demikian, maka komponen penyusun syirkah ‘inan ini adalah eksistensi 1) dua pihak yang bertransaksi, 2) objek transaksi (al-ma’qud ‘alaih) yang meliputi modal dan jenis usaha dan 3) perjanjian (syarath) pembagian keuntungan dan kerugian usaha, dan 4) orang yang menjalankan (‘amil) dan ketentuan upahnya. 
 
Selanjutnya, terdapat hal yang harus diperhatikan terkait dengan modal. Bila seseorang menghendaki melakukan syirkah, maka ia harus menyerahkan modal berupa nadlin, yaitu barang yang bisa dikelola. 
 
أن تكون على ناض من الدراهم  والدنانير
 
Artinya: “Benda (harta) yang dinilai dengan nadlin, misalnya berupa dinar atau dirham.” (Syeikh Taqiyuddin bin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husainy Al-Hashany, Kifayatul Akhyar, Daru al-Minhaj: 378)
 
Dalam dunia usaha acapkali nadlin ini dimaknai sebagai barang bergerak dan barang tak bergerak yang diketahui secara pasti takarannya atau besarannya. Dalam fiqih turats, acapkali para fuqaha’ menyingkatnya dengan nuqud, yaitu mata uang. Misalnya, seperti Syeikh Muhammad al-Zuhaily dalam kitab al-Qawa’idu al-Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha fil Madzahibil Arba’ati, Dar al-Fikr: 1/471, beliau menyebutkan:
 
اشتملت هذه الشركات على نقود
 
Artinya: “Termasuk dalam modal syirkah ini adalah nuqud (uang)”
 
Sebenarnya bukan mata uangnya yang terpenting. Yang lebih penting adalah wujud takarannya. Maksudnya, adalah adakalanya pemodal juga bisa menyerahkan rumahnya atau mobilnya sebagai bagian dari aset perusahaan, bahkan beras atau jagung sekalipun. Namun, keberadaan rumah, mobil, beras atau jagung ini tidak boleh dibiarkan tanpa nilai karena ia bisa mengundang perselisihan di kemudian hari. Untuk itu, keberadaan aset ini harus bisa ditentukan kadarnya. Caranya dengan menjualnya ke pihak perusahaan, atau menilainya dengan uang yang selanjutnya dijadikan bagian dari modal yang dikumpulkan oleh pemiliknya ke perusahaan. Inilah maksud dari nadlin di atas. 
 
Dewasa ini, kadangkala modal dikumpulkan dengan standart mata uang negara tertentu, misalnya rupiah atau dolar. Dalam hal ini, apabila terjadi kemungkinan pengumpulan modal dengan rupa mata uang yang variatif, maka mata uang tersebut harus distandartkan dengan mata uang tertentu terlebih dahulu (tamwil). Misalnya, kumpulan pemodal menyetorkan uang dengan rupiah dan dolar. Maka standart keuangan harus dibuat oleh pihak yang bersyirkah, bahwa modal tersebut dihitung dengan kurs rupiah saja, atau dolar saja. Dengan demikian, syarat utama dari modal adalah “jenis dan macam modal harus terdiri atas barang dengan kadar yang sama”. 
 
Hal lain yang harus diperhatikan adalah jenis amal usaha. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam literatur terdahulu bahwa antara masing-masing pemodal harus saling memberi izin kepada pihak lain yang menjalankan usaha, guna turut melakukan pengelolaan demi pengembangan usaha tersebut.
 
وأن يأذن كل واحد منهما لصاحبه في التصرف
 
Artinya: “Dan antar investor harus memberi idzin kepada investor lain (dalam satu syirkah) untuk melakukan pengelolaan (tasharruf harta).” (Syeikh Taqiyuddin bin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husainy Al-Hashany, Kifayatul Akhyar, Daru al-Minhaj: 378)
 
Biasanya ini terjadi pada bidang usaha yang mana semua investor turut memberikan kontribusi dalam dunia usaha dan pengelolaan yang dilakukan sesuai dengan jobnya atau pekerjaan bagiannya. Akan tetapi, ada kalanya pihak investor ini tidak menjalankan sendiri usahanya. Mereka secara bersama-sama mengangkat wakil untuk me-manage perseroan tersebut. Dalam posisi ini, maka investor tersebut berperan selaku pemegang saham. Sementara pihak manajemen disebut sebagai ‘amil. Dengan demikian, maka status ijin ini menjadi hilang karena ketentuan yang sudah dibahas di awal pembentukan perseroan. Adapun pihak yang berwenang mengelola adalah pihak manajemen perseroan dengan tetap memperhatikan hasil rapat investor, keputusan rapat manajemen dan kode etik perusahaan.
 
ولايملك الوكيل من التصرف إلا ما يقتضيه إذن الموكل من جهة النطق أو من جهة العرف لأن تصرفه بالإذن فلا يملك إلا ما يقتضيه الإذن
 
Artinya: “Seorang wakil (manajemen) tidak punya wewenang menjalankan (usaha) selain dari apa yang telah ditetapkan lewat idzin muwakkil melalui ucapan, atau menurut tradisi usaha (kode etik perusahaan). Karena sesungguhnya wewenangnya tasharruf adalah sebab adanya idzin. Sehingga wewenang itu hilang selagi tidak sesuai dengan idzin.” (Abu Ishaq al-Syairazy, al-Muhadzab fi al-Fiqhi al-Imam Al-Syafi’i, Maktabah Syamilah: 2/166)
 
Adapun hal terkait dengan ujrah ‘amil, maka berlaku ketentuan bahwa ujrah (upah) mereka ditentukan dalam rapat anggota bersama dengan para investor yang lain sehingga disepakati besaran ujrah mereka, termasuk adalah biaya operasional usaha, pembahasan mengenai bagi untung atau pailit perseroan, pembagian deviden perusahaan, dan sebagainya. 
 
Untung dan rugi dalam dunia usaha adalah merupakan konsekuensi usaha. Keuntungan harus dibagi bersama dan demikian juga dengan kerugian usaha. Nabiullah SAW bersabda: 
الخراج من الضمان
 
Artinya: “Untung dan rugi merupakan bagian yang harus ditanggung.”
 
Ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama’ terkait dengan soal “pembagian keuntungan” antara masing-masing pihak yang bertransaksi dalam syirkah. Jika merujuk pada ketentuan syarat syirkah, yang salah satunya adalah : وأن يكون الربح والخسران على قدر المالين, yakni “untung dan rugi ditanggung menurut kadar saham yang dimiliki pemodal,” maka ketentuan ini bisa diterapkan untuk jenis usaha yang mana setiap investornya ikut terlibat. Karena bagaimanapun juga, merekalah yang bertanggung jawab atas usaha yang dilakukan. 
 
Bagaimana bila perseroan yang terbentuk dikendalikan oleh manajemen sementara pihak investor tidak ikut terlibat pengelolaan? Terhadap hal ini, maka berlaku ketentuan sebagaimana disampaikan Syeikh Wahbah al-Zuhaily, bahwa: 
 
فالشركاء يشتركون في الربح والخسارة، ولا يصح إعفاء أحد الشركاء من تحمل الخسارة مع مقاسمته في الربح، وهذا المبدأ مقرر شرعاً وقانوناً
 
Artinya: “Para peserta syirkah, adalah secara bersama-sama di dalam keuntungan dan kerugian. Tidak sah membebankan tanggung jawab kerugian hanya pada salah pihak yang berserikat. Demikian halnya tidak sah pembagian keuntungan sepihak. Dasar pembagian ini harus ditetapkan berdasarkan ketentuan syara’ dan Undang-Undang.” (Syeikh Wahbah Al-Zuhaily, al-Fiqhul Islamy, Daru al-Fikr: 4/796).
 
Menurut pendapat di atas, jumhur ulama’ (mayoritas ulama) berpendapat bahwa pembagian adalah didasarkan pada jenis pekerjaan/tanggung jawab kerja sebagaimana disyaratkan di awal kontrak. Akan tetapi, berbeda dengan pembagian keuntungan, maka “kerugian usaha” adalah dihitung berdasarkan rasio modal (saham) yang dimiliki masing-masing pihak yang terlibat kontrak. Bagaimana cara menghitung besarannya rasio? Insyaallah, kelak akan disajikan tabel ilustrasinya. Ketentuan pembagian rasio ini harus dilandasi dengan pertimbangan syara’ dan aturan/kesepakatan yang berlaku dalam dunia usaha.
 
 
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jawa Timur
 

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua