Syariah

Pentingnya Perlindungan Konsumen Jasa Asuransi: Belajar dari Kasus PT Asuransi Recapital

Jum, 27 November 2020 | 16:00 WIB

Pentingnya Perlindungan Konsumen Jasa Asuransi: Belajar dari Kasus PT Asuransi Recapital

Konsumen jasa asuransi berhak mendapat jaminan dari perusahaan.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan siaran pers pada 22 Oktober 2020 yang salah satu isinya berita pencabutan izin usaha PT Asuransi Recapital. Keputusan ini merupakan tindak lanjut dari Keputusan Anggota Dewan Komisioner OJK Nomor KEP-45/D.05/2020 tanggal 16 Oktober 2020 tentang Pencabutan Izin Usaha di Bidang Asuransi Umum.

 

Secara tegas dicantumkan dalam siaran pers OJK bahwa yang dimaksud sebagai PT Asuransi Recapital yang dicabut izin usahanya adalah perusahaan yang beralamat di Gedung Recapital Lantai 6, Jalan Adityawarman No. 55 Kebayoran Baru, Jakarta. Dan secara tegas pula dinyatakan bahwa pencabutan itu merupakan sebuah bentuk sanksi.

 

Alhasil, konsekuensi dari sanksi ini adalah pihak perusahaan wajib menghentikan segala kegiatan usahanya, juga harus menyelesaikan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Demikian tegas OJK dalam siaran pers tersebut.

 

Pertanyaannya adalah, kira-kira praktik apa yang sudah dilakukan oleh pihak PT Asuransi Recapital, sehingga izin usahanya dicabut oleh OJK? Di sini menarik untuk kita telusuri jejak-jejaknya!

 

Baca juga: Beda Menabung, Investasi, dan Asuransi

 

Pertama, menurut OJK, pencabutan izin usaha tersebut dilakukan karena pihak perusahaan tidak bisa memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku terkait Pembatasan Kegiatan Usaha (PKU). Ketentuan Pembatasan Kegiatan Usaha ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dan peraturan pelaksanaannya.

 

Adapun landasan OJK dalam mencabut izin usaha ini ditetapkan berdasar POJK Nomor 17/POJK.05/2017 tentang Prosedur dan Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif di Bidang Perasuransian dan Pemblokiran Kekayaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah. Jika dirunut dari POJK Nomor 17/POJK.05/2017, Bab II, Pasal 2, ayat 2, maka tahap sanksi yang diterapkan pada PT Asuransi Recapital adalah sudah sampai pada tahap akhir pelanggaran, sebagaimana diungkap dalam poin d, yaitu pencabutan izin usaha.

 

Kedua, pencabutan izin usaha terhadap PT Asuransi Recapital disebabkan karena perusahaan tidak bisa memenuhi tingkat solvabilitas minimum. Dalam ketentuannya, setiap perusahaan asuransi harus memiliki solvabilitas minimum dan risk based capital (RBC) sebesar 120%.

 

Mengenal Solvabilitas Minimum dan Risk Based Capital (RBC) Perusahaan Asuransi

 

Solvabilitas minimum merupakan tingkat kemampuan minimal yang harus dimiliki oleh perusahaan asuransi untuk menyelesaikan problem risiko klaim member kepada pihak asuransi.

 

Bagi perusahaan asuransi konvensional, tidak terpenuhinya batas tingkat solvabilitas minimum (BTSM) oleh perusahaan asuransi menandakan perusahaan tersebut telah mengalami beberapa kegagalan, antara lain:

  1. Kegagalan pengelolaan kekayaan;
  2. Ketidakseimbangan antara nilai kekayaan dan kewajiban dalam setiap jenis mata uang;
  3. Perbedaan antara beban klaim yang terjadi dan beban klaim yang diperkirakan; dan
  4. Ketidakcukupan premi akibat perbedaan hasil investasi yang diasumsikan dalam penetapan premi dengan hasil investasi yang diasumsikan dalam penetapan premi dengan hasil investasi yang diperoleh.

 

Adapun bagi perusahaan asuransi syariah, tidak terpenuhinya BTSM, menandakan perusahaan itu mengalami kegagalan dalam beberapa hal:

  1. Kegagalan pengelolaan kekayaan;
  2. Ketidakseimbangan antara proyeksi arus kekayaan dan kewajiban (gagal mengatur keseimbangan Cash-Flow);
  3. Ketidakseimbangan antara nilai dan kewajiban dalam setiap jenis mata uang asing.
  4. Perbedaan antara beban klaim yang terjadi dan beban klaim yang diperkirakan terlampau jauh;
  5. Ketidakcukupan premi akibat perbedaan hasi investasi yang diasumsikan dalam penetapan premi dengan hasil investasi yang diperoleh; dan
  6. Ketidakmampuan pihak reasuradur untuk memenuhi kewajiban membayar klaim.

 

Alhasil, tidak terpenuhinya BTSM menjadikan neraca hak income dan kewajiban yang harus ditanggung oleh perusahaan PT Asuransi Recapital ditengarai berlangsung njomplang. Secara khusus, dapat membahayakan bagi dana premi yang dibayarkan oleh para anggota asuransi, dalam hal ini adalah masyarakat.

 

Sementara itu, yang dimaksud dengan risk based capital (RBC), yang juga sering disebut sebagai rasio solvabilitas sebuah perusahaan, merupakan sebuah penggambaran mengenai kemampuan perusahaan dalam menyelesaikan masalah yang terjadi pada komponen penyusunan kekayaan perusahaan.

 

Dalam hal ini, kita perlu ingat bahwa perusahaan asuransi merupakan perusahaan yang menjajakan produk berupa penjaminan terhadap anggota asuransi. Sebagai penjaja produk, maka pihak asuransi harus bisa menjamin keterselesaian dari produk yang ditawarkannya tersebut.

 

Tingkat keterselesaian ini, selanjutnya dikemas dalam RBC. Itulah sebabnya apabila sebuah perusahaan memiliki nilai RBC yang tinggi, maka itu menandakan sehatnya perusahaan. Semakin tinggi nilai RBC, semakin tinggi pula tingkat kepercayaan perusahaan.

 

Alhasil, komponen penyusun RBC terdiri dari (1) hasil pengukuran pengukuran tingkat keamanan finansial perusahaan, dan (2) kesehatan suatu perusahaan asuransi.

 

Alhasil pula, berbekal kedua komponen ini, maka nilai penting dari mengetahui RBC sebuah perusahaan asuransi, adalah berfungsi:

  1. Untuk mengetahui besarnya kebutuhan modal perusahaan sesuai dengan tingkat risiko yang dihadapi perusahaan dalam mengelola kekayaan dan kewajibannya.
  2. Untuk mengukur tingkat kesehatan keuangan.
  3. Untuk mengurangi biaya kepailitan (insolvency).
  4. Untuk menentukan faktor risiko yang proporsional terhadap risiko kepailitan (insolvency).
  5. Untuk membantu regulator (pemerintah) dalam mengukur nilai aktual dari ekuitas.
  6. Untuk mengantisipasi masalah-masalah yang akan datang.

 

Hari ini, RBC di Indonesia ditetapkan untuk perusahaan asuransi lewat Keputusan Bapepam-LK, sebesar 120%. Nilai ini jauh sekali berbeda dengan yang pernah ditetapkan pada tahun 1999 yang hanya sebesar 15%.

 

Ciri khas dari perusahaan asuransi yang memiliki 120% RBC adalah keamanan dana premi nasabahnya dan ketepatan penyalurannya sesuai dengan yang digariskan oleh Undang-Undang.

 

Jadi, kesimpulannya, jika PT Asuransi Recapital kemudian ditutup oleh OJK, secara garis besar, masalah utama yang terjadi dalam perusahaan tersebut adalah pada masalah keterjaminan terhadap penyelesaian risiko yang dialami nasabah, dengan pertimbangan utama adalah berdasar basis modal perusahaan.

 

Lantas, bagaimana kasus PT Asuransi Recapital di atas dipandang dari perspektif ekonomi syariah?

 

Pada dasarnya, hukum asal setiap praktik muamalah adalah boleh secara syariat asalkan tidak ditemui adanya illat keharaman. Illat keharaman utama dalam praktik muamalah adalah bila disela praktik tersebut terdapat akad-akad yang bertentangan dengan syariat, seperti adanya praktik riba, maisir (judi), gharar (spekulatif), dan ghabn (kecurangan).

 

Faktor terpenting lainnya, dalam mengidentifikasi adanya praktik yang dilarang syariat adalah pihak konsumen harus bersifat dijamin dalam mendapatkan manfaat dari muamalah yang dilakukannya. Ketiadaan keterjaminan ini menjadikan suatu praktik muamalah sebagai yang dilarang, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam yang melarang pengambilan keuntungan (muamalah) yang tidak bisa dijamin.

 

Nah, dalam kasus ketiadaan solvabilitas RBC di bawah ketentuan batas yang ditetapkan oleh pihak berwenang, mengindikasikan bahwa pihak PT Asuransi Recapital tidak sanggup memenuhi unsur keterjaminan konsumen tersebut. Alhasil, praktik muamalahnya sudah masuk unsur yang dilarang secara syara’.

 

Selain itu, meski sebuah asuransi dalam akad dasarnya adalah merupakan praktik tabarru’—yaitu sistematisasi tolong-menolong antarsesama yang semata karena mencari ridha Allah SWTakan tetapi dalam lingkup sebuah usaha yang menjanjikan sebuah keuntungan dan mencakup skala luas, sifat keterjaminan dari pertolongan ini merupakan yang harus bisa dipastikan secara hukum.

 

Jika kesempatan untuk mendapat pertolongan ini hilang dari salah satu asuradur (pihak penanggung), dengan bukti ketiadaan RBC yang memenuhi ambang, maka hal ini merupakan indikasi bahwa pihak perusahaan hanya berorientasi pada profit (keuntungan), sehingga praktiknya menjadikannya menyerupai sebuah money game sebab dalam asuransi meniscayakan berlakunya kerja pencarian anggota.

 

Alhasil, lewat PT Asuransi Recapital tersebut patut diduga bahwa telah terjadi upaya memakan harta orang lain secara batil yang diatasnamakan tolong-menolong (ta’awun) dalam bingkai asuransi. Jika indikasi ini benar maka itu tandanya telah terjadi kecurangan di balik sistem yang didirikan oleh perusahaan. Wallahu a’lam bi al-shawab.

 

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim