Syariah

Perbedaan Utang Modal dan Bagi Hasil Permodalan

Rab, 1 Februari 2023 | 19:00 WIB

Perbedaan Utang Modal dan Bagi Hasil Permodalan

Ilustrasi: Ekonomi (freepik).

Fenomena harian yang sering muncul di masyarakat, ada seorang kawan ingin meminjam uang untuk modal dagang, kemudian selama uang itu belum bisa dikembalikan, ia berjanji memberikan keuntungan dagangnya sebesar 50 ribu rupiah setiap hari. Namun ia tidak memastikan secara pasti kapan pinjaman itu akan dilunasi. Hal seperti ini apakah dibolehkan oleh syara'? Atau akad apa sebaiknya yang digunakan untuk masalah ini?
 

Untuk menjawab hal tersebut, hal yang paling urgen untuk kita lakukan adalah memahami perbedaan antara dua istilah yang acap disalahpahami, yaitu utang modal dan bagi hasil permodalan. 
 

 

Utang Modal

Utang modal merupakan aktivitas pinjam duit (utang) untuk modal usaha. Soko guru dari akad ini adalah “utang” itu sendiri, yang dalam fiqih dikenal sebagai akad qardh. Imam Sirajuddin Al-Bulqini (wafat 805 H) telah menyampaikan definisi dari utang (qardh) sebagai berikut:
 

دفعُ مالٍ مخصوصٍ إرفاقًا على وجهٍ مخصوصٍ ليردَّ بدَلَهُ
 

Artinya, “Menyerahkan uang tertentu karena niat menolong karena latar belakang tertentu supaya dikembalikan gantinya.” (Sirajuddin Al-Bulqini, At-Tadrib fil Fiqhis Syafi’i, [Riyadh: Darul Qiblatain], juz II, halaman 74). 
 

Garis besarnya, yang dinamakan utang adalah mengembalikan uang yang diutang dengan nilai dan nominal yang sama (raddu mitslih)
 

Dalam kasus utang modal di atas, karena landasan akadnya adalah utang, maka kewajiban dari pihak yang berutang adalah mengembalikan jumlah uang yang diutang dengan nomimal yang sama. Janji memberi hasil sebesar 50 ribu setiap bulan menempati derajat manfaat dari utang, sehingga termasuk praktik riba qardhi yang dilarang secara syara'.
 

فإن أقرضه شيئًا بشرط أن يرد عليه أكثر منه، بأن أقرضه درهمًا، بشرط أن يرد عليه درهمين ... لم يجز
 

Artinya, "Apabila ada seseorang mengutangi pihak lain dengan janji akan dikembalikan lebih, seperti mengutangi satu dirham dengan dikembalikan 2 dirham, maka tidak boleh." (Abul Husain Yahya ibnu Abil Khair ibnu Salim Al-Imrani, Al-Bayan fi Madzhabil Imam As-Syafi'i, [Jedah: Darul Minhaj: 2000], juz V, halaman 463).
 

Alhasil, karena merupakan akad utang, maka berlaku apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad saw, bahwa sebaik-baik orang adalah yang paling baik dalam menunaikan utangnya.
 

Dengan demikian, akad sebagaimana yang dipraktikkan pada deskripsi masalah, sebagaimana di awal tulisan, adalah akad yang dilarang secara syara’.
 

 

Akad Bagi Hasil Permodalan

Akad bagi hasil permodalan merupakan akad yang berbeda dengan akad utang modal. Secara syara’, akad ini merupakan akad yang legal dan dikenal sebagai akad qiradh atau mudharabah.
 

القراض مشروط برد رأس المال واقتسام الربح
 

Artinya: “Qiradh merupakan akad yang dibangun dengan landasan syarat pengembalian modal dan bagi keuntungan.” (Abu Zakaria Yahya ibnu Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab, [Damaskus, Darul Fikr], juz XIV, halaman 362). 
 

Akad ini ditunaikan dengan ciri khas:

  1. 100% modal berasal dari investor (rabbul mal);
  2. pihak yang dimodali berlaku sebagai pelaksana lapangan dalam mengembangkan modal tersebut;  
  3. keuntungan yang didapat dari pengelolaan merupakan harta yang kelak dibagi hasil sesuai nisbah bagi hasil yang disepakati. Misalnya, pemodal 40% dan pengelola 60%, sesuai dengan kesepakatan
  4. nisbah bagi hasil harus disepakati di awal kontrak qiradh atau mudlarabah itu dilakukan.
 

Akad apa yang sebaiknya digunakan?

Ada banyak akad yang bisa diadopsi untuk menjalankan usaha dengan struktur bagi hasil. Ada akad qirad, syirkah, syirkah mudharabah, dan masih banyak lagi akad lainnya yang telah diteliti legalitasnya. Kiranya, yang kita butuhkan selaku usahawan adalah kemauan untuk belajar, mengaji pada para ulama yang kompeten di bidangnya. Wallahu a’lam bis shawab.


 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, Pulau Bawean, Gresik dan Peneliti Bidang Ekonomi Syariah di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur