Syariah

Prinsip-prinsip Jasa Endorsement dan Pengupahannya dalam Islam

Sen, 7 September 2020 | 14:00 WIB

Ada sebuah gymic dalam teori komunikasi: "Kuasai keadaan dengan informasi." Berdasarkan penelusuran penulis, gymic ini sebenarnya berasal dari seseorang yang bernama Alfin Tofler. Kata-kata tersebut sederhana tapi memuat banyak arti. Seolah pencetus dari gagasan ini hendak bilang, bahwa popularitas itu penting.

 

Familiaritas sebuah produk di telinga konsumen dapat mengubah suatu kebiasaan masyarakat, dan bahkan bisa menjadi budaya baru. Buktinya, kita saat ini masih sering mendapati banyak orang yang menyebut setiap pembelian sepeda motor dengan sebutan “membeli honda”, dan setiap pembelian air minum kemasan dengan sebutan “membeli aqua”. Padahal sepeda motor yang dibeli misalnya bermerek Yamaha atau lainnya; dan air kemasan yang dikonsumsinya bermerek Cheers atau lainnya. Honda dan Aqua yang notabene adalah nama merek dagang seolah menggantikan nama barang itu sendiri. Mengapa sampai terjadi hal ini?

 

Ini tandanya ada budaya baru yang berhasil dibentuk oleh perusahaan melalui strategi tertentu dalam hal pemasaran. Untuk mendongkrak popularitas produk, terkadang produsen perlu melakukan beberapa tindakan. Misalnya (1) mereka meminjam jasa endorser, atau (2) memanfaatkan pengalaman konsumen, atau (3) beriklan. Pembahasan kita kali ini fokus pada praktik sewa jasa endorserment.

 

Kedudukan Endorser dalam Akad Fiqih

Jika mencermati bahwa seorang endorser disewa adalah karena faktor popularitas dan familiaritas yang dimilikinya, maka tidak diragukan lagi, bahwa ikatan pertalian  antara seorang endorser dengan produsen merek produk tertentu merupakan pertalian yang berbasis reputasi (jah).

 

Meski berbasis jah, akad yang terjadi antara seorang endorser dan pihak produsen tidak bisa dikategorikan sebagai syirkah jah atau syirkah wujuh. Mengapa? Menurut mazhab Hanafi, syirkah jah ditengarai oleh (1) kerja sama antara dua pihak yang sama-sama tidak memiliki modal; (2) kedua pihak yang saling berakad memanfaatkan reputasi yang dimiliki masing-masing untuk pergi ke pasar; (3) membeli barang dengan atas nama keduanya, kemudian; (4) sama-sama melakukan bisnis dengan modal yang berhasil dikumpulkannya itu; lalu (5) keuntungan dibagi berdua dengan sama besar. Karena sama-sama mencari barang dagangan berdua, maka demikian halnya dengan (6) utang usaha, semuanya ditanggung kedua pihak yang bekerja sama dalam transaksi bisnis itu.

 

Pernyataan yang menggambarkan hal di atas, misalnya dapat kita temui pada salah satu karya ulama yang berafiliasi ke mazhab Hanafi, sebagai berikut:

 

وَإِذَا عَقَدُوا الشَّرِكَةَ مَعَ عَدَمِ وُجُودِ رَأْسِ مَالٍ لَهُمْ عَلَى أَنْ يَشْتَرُوا مَالًا نَسِيئَةً عَلَى ذِمَّتِهِمْ وَيَبِيعُوهُ وَأَنْ يَقْتَسِمُوا الرِّبْحَ الْحَاصِلَ بَيْنَهُمْ فَتَكُونَ الشَّرِكَةُ شَرِكَةَ وُجُوهٍ

 

"Ketika  beberapa pihak melakukan akad syirkah bersama ketiadaan pokok harta yang diserahkan oleh masing-masing pihak, lalu mereka bersama-sama membeli suatu barang secara kredit dan ditanggung bersama, kemudian menjualnya secara bersama-sama, dan membagi keuntungan yang didapat secara bersama-sama, maka akad semacam ini disebut dengan syirkah wujuh.” (Majallatu al-Ahkam, juz 1, halaman 255)

 

Ciri-ciri sebagaimana tersebut di atas, dalam konteks mazhab Syafi’i, sebenarnya masih masuk rumpun syirkah ‘inan (kemitraan modal). Modal yang dikumpulkan oleh kedua pihak yang berakad, kendati diperoleh dari hasil utang barang, adalah masih merupakan bagian dari modal harta (ra’su al-mal) sebab bisa dinyatakan dalam satu jenis, misalnya sama-sama rupiahnya. Jadi, mazhab Syafi’i menekankan pada aspek fisik (‘ain) modalnya. Namun, mazhab Hanafi menekankan pada awal berangkatnya yang tanpa modal. Inilah pentingnya kita memahami kedua pola berpikir di atas, sebab keduanya bisa berbeda dalam kasus turunannya (furu’-nya).

 

Baik ciri sebagai syirkah inan maupun syirkah wujuh, tidak kita dapati di dalam relasi yang terbentuk antara endorser dan pihak produsen, sehingga akad yang paling tepat untuk menggambarkan keduanya - dalam konteks mazhab Hanafi - adalah akad ijarah (kontrak jasa).

 

Secara tegas, hal yang sama juga berlaku untuk mazhab Syafi’i, sebab dalam bangunan fiqih mazhab Syafi’i tidak dikenal adanya konsep syirkah jah. Dalam mazhab Syafi’i, jah sendiri tidak dianggap sebagai harta, sehingga berlainan dengan mazhab Hanafi yang masih mendudukkan jah sebagai harta manfaat.

 

Oleh karena itu, secara tegas pula, menurut mazhab ini, relasi antara endorser dan produsen pengguna jasanya adalah termasuk relasi akad ijarah (sewa jasa). Pertanyaannya: jika kedua mazhab di atas sama-sama mengatasnamakan akad ijarah, lantas apa wujud dari kerja (kulfah) endorser  sehingga dia tidak dikenai pasal mendapatkan penghasilan pasif (pendapatan tanpa kerja)?

 

Ingat bahwa: pendapatan pasif (passive income) merupakan bagian dari unsur kebatilan, sebab sama artinya dengan memakan harta orang lain secara tidak sah. Pendapatan yang sah adalah pendapatan karena adanya kerja (kulfah), semisal: karena adanya relasi akad jual beli dan investasi. Tanpa keberadaan tersebut, maka uang yang didapat seseorang sebagai dipandang haram, kecuali atas dasar akad (a) hibah, (b) sedekah, (c) zakat, atau (d) hadiah.

 

Keempat-empatnya juga tidak mungkin disematkan ke endorser, sebab ada risiko hukum yang turut disertakan kepada endorser, yaitu bila sebelum habis masa kontrak, ia lari menggunakan brand yang lain, ia bisa dituntut secara hukum  di depan pengadilan sehingga wajib membayar ganti rugi (dlaman).

 

Jawaban untuk pertanyaan mengenai kerja apa yang dilakukan oleh endorser, maka dalam hal ini kita bisa berbeda jika berangkat dari kedua mazhab di atas.

 

Dalam konteks Syafi’iyah, seorang endorser merupakan pihak yang disewa dan diupah karena kerjanya (kulfah), dan bukan karena reputasinya (jah). Lantas, kerja dalam bentuk apa?

 

Ada 3 kemungkinan alat ukur kinerja yang dapat dilakukan oleh seorang endorser, yaitu: (1) frekuensi pemakaian produk di tempat umum dan diketahui publik, (2) tidak memakai produk lain selama masa kontrak, dan (3) publikasi yang dilakukan di media yang bisa diketahui oleh publik.

 

Adapun bila kita menggunakan alur berpikir mazhab Hanafi, maka orientasi yang ada dalam benak kita dituntut untuk memperhatikan unsur pembentuk reputasi (jah) itu.

 

Ada 3 sebab timbulnya jah sehingga layak untuk diberi upah, antara lain:

  1. Karena faktor kredibilitas keahlian (source credibility) yang dimiliki seorang endorser. Kredibelitas ini adakalanya bertalian langsung dengan produk, namun kadang juga tidak bertalian langsung dengannya. Sifat keahlian pihak yang disewa dan integritasnya itu sebagai jasa yang diambil dan dimanfaatkan oleh produsen.
  2. Fisik dan sikap endorser yang menarik, familiar, dan disukai oleh masyarakat. Misalnya, adalah artis yang memiliki sejumlah follower berbekal instagram atau media sosial yang dimilikinya.
  3. Kharisma dari seorang endorser. Umumnya kharisma ini kemudian dimanfaatkan untuk mengubah dan mempengaruhi  pemikiran masyarakat terhadap suatu merek atau produk. 

 

Menurut sejumlah pakar  komunikasi dalam bidang pemasaran (marketing), pemakaian jasa endorser dalam iklan, secara umum memiliki efek simplifikasi (penyederhanaan) dalam berkomunikasi dengan publik yang tidak bisa digapai lewat kata-kata, bahkan oleh orang lain yang mengucapkan kata serupa namun tidak punya bekal sebagai tokoh publik. Simplifikasi itu, antara lain bisa terjadi dalam beberapa wilayah berikut:

  1. Slice of Life. Penggunaan jasa endorser pada posisi ini seolah memberikan informasi kepada masyarakat bahwa pengguna produk yang tengah dipromosikan adalah bukan sekadar orang "biasa", melainkan juga orang sesibuk endorser ternyata juga menggunakan produk yang sama.
  2. Lifestyle. Penggunaan jasa endorser dalam wilayah ini berguna untuk menunjukkan bahwa suatu produk cocok dengan gaya hidup tertentu.
  3. Fantasy: Penggunaan jasa endorser dalam wilayah ini seolah menciptakan fantasi tersendiri di sekitar produk atau konsumennya. Endorser dalam posisi ini seolah sebagai pihak penghipnotis yang berada di alam bawah sadar pengguna. Pengguna seolah merasa bahwa dirinya menyerupai endorser pada hal yang disukainya.
  4. Mood or image. Penggunaan jasa endorser dalam wilayah ini seolah berperan dalam membangun suasana hati atau memberikan gambaran (citra) di sekitar produk atau layanan, seperti kecantikan, cinta, intrik, atau ketenangan dan keceriaan tertentu.
  5. Musical. Hampir sama dengan mood or image, jasa endorser pada wilayah ini ditampilkan sebagai musikalisasi produk sehingga meciptakan suasana hati penggunanya.
  6. Personality symbol. Endorser dalam wilayah ini dicitrakan sebagai simbol kepribadian/karakter pengguna produk. Misalnya karakter smart, kasual, kesederhanaan, santai, serius, berprestasi, dan sejenisnya.
  7. Tehnical expertise. Penggunaan endorser pada ruang ini ditampilkan sebagai pribadi yang mewakili tingkat keahlian perusahaan dalam membuat produk.
  8. Scientific evidence. Endorser dalam ruang ini biasanya diketengahkan sebagai penggila surveyor ilmiah dan gila dengan sajian bukti ilmiah sehingga mengesankan bahwa produk yang diendorse sebagai yang lebih baik dari merek lain yang mungkin menempati segmen penjulan yang sama.
  9. Testimonial Evidence or Endorsement: Dalam konteks ini, seorang yang diendorse menampilkan bukti penggunaan produk setelah sekian waktu dan sejenisnya sehingga mengesankan keberhasilan produk dalam menjaga penampilan.

 

Kesembilan hal ini merupakan jabaran dari tiga hal sebelumnya mengenai unsur pembentuk jah dalam wilayah mazhab Hanafi. Itu sebabnya pula, mazhab Hanafi menengarai jah ini merupakan bagian dari harta manfaat. Dan sebagai harta, bilamana terjadi perusakan nama baik terhadap diri seseorang, maka berlaku yang namanya ganti rugi (dlaman).

 

Lain halnya dengan konsep bangunan fiqih mazhab Syafi’i, bila terjadi perusakan nama baik, maka pihak yang merusak nama baik telah bertindak selaku ‘ashin (orang yang telah berbuat maksiat). Penghitungan ganti rugi akibat merusak nama baik, adalah dihitung  berdasarkan 'urf dari ujrah mitsil (upah standar) yang bisa dihasilkan pihak yang bersangkutan berbekal nama baiknya.

 

Walhasil, dua mazhab di atas pada dasarnya juga memiliki kesimpulan yang sama, yaitu pertaruhan unsur pembentuk nama baik ini, yang dinilai sebagai layak diberi ujrah (upah). Hanya saja, pola awal melihatnya saja yang berbeda. Inilah bagian terpenting yang perlu kita ketahui dan sadari bersama, dari sudut pandang paradigma fiqih (fiqh manhaji). Wallahu a'lam bish shawab.

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim dan Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jawa Timur