Syariah

Risiko Nasabah Produk Deposito dan Reksadana Syariah dalam Timbangan Fiqih

Sel, 16 Januari 2018 | 23:00 WIB

Risiko Nasabah Produk Deposito dan Reksadana Syariah dalam Timbangan Fiqih

Ilustrasi (money.it)

Tulisan ini berangkat dari pertanyaan sebelumnya yaitu, bagaimanakah jalinan relasi antara bank dan nasabah selaku shâhibul mâl (pemilik kekayaan) dalam kasus adanya kerugian usaha produk investasi syariah, seperti deposito dan reksadana?

(Baca: Macam-macam Pembiayaan pada Perbankan Syariah)
Untuk penjelasan tentang deposito, pembaca disarankan merujuk kembali kepada contoh permasalahan seputar bunga deposito pada kanal Bahtsul Masail dalam media kita tercinta ini. (Baca: Hukum Mengonsumsi Uang Deposito Bank). Adapun tentang reksadana, sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001, disebutkan bahwa ia merupakan wadah yang dipergunakan oleh bank untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal (nasabah) untuk selanjutnya diinvestasikan kembali dalam “portofolio efek” oleh manajer investasi (mudharib), yaitu bank. Portofolio efek didefinisikan sebagai kumpulan efek yang dimiliki secara bersama (kolektif) oleh para pemodal dalam wujud reksadana syariah.
 
Yang penting untuk digarisbawahi dalam hal ini adalah bahwa kedua produk perbankan, baik deposito maupun reksadana, merupakan “sarana menghimpun dana masyarakat pemodal.” Artinya, inisiatif penghimpunan adalah berasal dari bank. Lebih gamblangnya adalah, kedua produk dihadirkan oleh bank seolah bank bertindak selaku inisiatif proyek usaha yang dinamakan “penanaman modal”. Bila ikut proyek deposito maka akan sekian-sekian pendapatannya. Dan bila ikut proyek reksadana, maka akan sekian-sekian pendapatannya. Hal seperti ini tampak jelas ketika pertama kalinya bank melakukan launching kedua produk tersebut.

Ketika nasabah memutuskan diri untuk mengikuti suatu program produk perbankan, maka ia diharapkan sudah mengerti (‘alim) akan risikonya. Maksudnya adalah, saat nasabah mengambil paket deposito atau reksadana, ia sudah mengetahui risiko ke mana hartanya akan disalurkan oleh bank. Prinsip penyaluran adalah keadilan dan tidak boleh melakukan tindakan yang dipandang bisa membahayakan dana nasabah. 

Jika pihak nasabah mengambil paket reksadana, maka risikonya adalah bahwa dananya akan disalurkan oleh bank syariah ke jalur investasi tunggal. Sementara jika nasabah mengambil deposito, maka itu artinya nasabah menyerahkan kepada bank untuk menyalurkan dananya sesuai dengan kecondongan usaha yang dipandang aman oleh bank. Akad sama-sama berbasis yadu al-dlammanah, yaitu penyerahan mâl yang disertai jaminan bahwa bank akan menyalurkannya ke wilayah investasi aman. Sifat penyalurannya adalah sudah menjadi kuasa bank syariah selaku mudlarib dari dana nasabah.

Jika pihak nasabah mengambil jalur produk reksadana syariah, maka risiko yang harus ditanggung pihak nasabah asli adalah ia akan turut menanggung kerugian bilamana terjadi kerugian dalam jalur investasi yang dipilihnya. Risiko dari adanya syarat adalah harus siap dengan segala kemungkinan yang terjadi pada apa yang disyaratkannya. 

Hal ini berbeda dengan jalur deposito, yang mana pihak nasabah tidak turut menanggung risiko. Mengapa? Karena dalam deposito, pihak bank menyalurkan dana tersebut tidak dibatasi oleh “syarat” dari nasabah asli. Seluruhnya adalah tergantung pada pihak perbankan. Bila tidak dibatasi dengan syarat penyaluran, nilai kemungkinan mendapatkan keuntungan dari usaha bank akan jauh lebih besar dibanding risiko kerugian. Dengan demikian, pihak bank lebih ringan tanggung jawabnya dalam menjamin keuntungan bagi dana nasabah, sebab, pihak bank hanya berkewajiban menjaga keamanan dana tersebut dalam usahanya.

الشرط: فهو ما ربط الشارع بوجوده وجود الحكم التكليفي وبانتفائه انتفاءه، ولهذا عرفه القرافي : بأنه ما يلزم من عدمه العدم ولا يلزم من وجوده وجود ولا عدم لذاته

Syarat merupakan perkara yang ditetapkan oleh Allah SWT yang keberadaannya menyebabkan berlakunya hukum taklif dan ketiadaanya menyebabkan pula pada ketiadaan hukum taklif.  Imam Al-Qarafy menambahkan syarat merupakan sesuatu yang sebab ketiadaanya tiada pula hukum. Meskipun begitu, “adanya syarat” tidak mengharuskan adanya atau tidak adanya hukum sebagaimana inti syarat itu sendiri. (Lihat Muhammad Hasan Dido Al-Syinqithy, Syarah al-Waraqat fi Ushul al-Fiqh, Mauqi’ al-Syabkati al-Islamiyah: jilid 1, halaman 91)

Maksud dari kaidah di atas, adalah bahwa antara syarat dan sebab hukum, serta antara “syarat” dengan mani’ (penghalang) hukum” memiliki hubungan timbal balik terhadap lahirnya konsekuensi hukum. Bila nasabah mensyaratkan adanya investasi pada jalur tertentu, maka alasan dari wujud pensyaratan ini berakibat bila terjadi sesuatu di luar kehendak perbankan dan nasabah, seperti kerugian usaha, maka pihak nasabah harus turut menanggung kerugiannya. Wujud pensyaratan ini menjadi sebab bagi bank untuk “dipaksa” melakukan kehendak dari nasabah. 

Berbeda halnya dengan ketiadaan syarat, maka adanya kerugian tidak menjadi mani’ bagi bank untuk mengganti dana nasabah. Ketiadaan syarat tidak melazimkan bagi bank untuk lepas tangan dari menanggung kerugian. Inilah yang menjadi titik tekan utama perbedaan konsekuensi hukum dari nasabah deposito dengan nasabah reksadana syariah pada kasus perbankan syariah. 

Apa imbasnya terhadap pendapatan nasabah? 

Hukum ekonomi menyatakan bahwa beratnya risiko membawa akibat kepada besarnya penghasilan. Banyaknya beban yang harus ditanggung mensyaratkan besarnya risiko mengambil keuntungan dan kerugian. Seseorang yang tinggal jauh dari lokasi pasar, akan menghadapi risiko harga mahal karena pihak penjual menetapkan adanya margin keuntungan seiring risiko kerusakan barang yang diakibatkan perjalanan dan bea transportasi. Penanaman dana investasi nasabah pada jenis usaha dengan risiko yang besar keuntungan dan kerugian berdampak pada risiko nisbah keuntungan yang besar pula bagi nasabah. Ini merupakan sebuah keadilan dalam prinsip muamalah yang disyaratkan oleh ulama, sebagaimana dalam kaidah berikut:

الأَصْلُ هُوَ الْعَدْلُ فِيْ كُلِّ الْمُعَامَلاَتِ وَ مَنْعُ الظُّلْمِ وَمُرَاعَاةُ مَصْلَحَةِ الطَّرَفَيْنِ وَرَفْعُ الضَّرَرِ عَنْهُمَا

“Prinsip dasar muamalah adalah keadilan transaksi, menghindari kezaliman, merawat kemaslahatan antara dua pihak dan menghindari (kemungkinan) bahaya dari relasi keduanya.” 

Imbas lainnya, adalah nisbah pembagian keuntungan antara produk reksadana dan deposito adalah lebih tinggi reksadana. Untuk memahami masalah ini, berikut penulis hadirkan ilustrasinya. 


Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, JATIM

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua