Syariah

Rukun Akad Mudharabah dalam Ekonomi Syariah

Sab, 14 September 2019 | 10:30 WIB

Rukun Akad Mudharabah dalam Ekonomi Syariah

(Ilustrasi: NU Online)

Dalam Kitab al-Fiqhu 'ala al-Madzâhibi al-Arba'ati, Syekh Abdurrahman Al-Jazairi menjelaskan:
 
ومناسبة المضاربة للمساقاة والمزارعة ظاهرة لأنك قد عرفت أنهما عقدان بين اثنين من جانب أحدهما الأرض أو الشجر، ومن جانب الآخر العمل، ولكل منهما نصيب في الخارج من الثمر، وكذلك المضاربة فإنها عقد يتضمن أن يكون المال منة جانب والعمل من جانب آخر ولكل من الجانبين نصيب في الربح
 
Artinya: "Korelasi antara mudharabah dengan akad musâqah dan muzâra'ah tampak jelas. Sebagaimana anda ketahui bahwa kedua akad terakhir ini terbentuk oleh dua pihak yang menjalin relasi, satu pihak menyerahkan tanah atau pohon, sementara pihak lainnya menyerahkan tenaga. Tiap-tiap dari keduanya ada hak berupa bagian dari hasil panenan berupa buah. Demikian pula dengan akad mudharabah, ia terbentuk dari sebuah jalinan akad yang memuat di dalamnya berupa penyerahan harta dari satu sisi, dan kerja dari sisi yang lain sehingga masing-masing berhak atas bagian keuntungan yang diperoleh." (Abdurrahman al-Jazîry, al-Fiqhu 'ala al-Madzâhibi al-Arba'ati, Beirut: Dâr al-Fikr, 2019: 3/29)
 
Karena dalam mudharabah yang diserahkan kepada pihak lain adalah berupa harta modal, maka akad ini juga disebut dengan akad muqâradlah atau akad qirâdl (transaksi utang piutang). 
 
 
Dengan memperhatikan unsur kesamaan di atas, maka rukun dari akad mudharabahmusâqah, dan mukhâbarah, pada dasarnya mengikuti rukun yang terdapat dalam akad mudharabah. Para ulama berbeda pendapat terkait dengan rukun mudharabah ini. 
 
Menurut kalangan Hanafiyah, rukun mudharabah ada dua yaitu, adanya lafadh ijab dan qabul yang menunjukkan terhadap maksud dilakukannya akad. Menurut pandangan mayoritas ulama, rukun mudharabah ada 3, yaitu:
 
1. Adanya 'aqidain (dua orang yang berakad), yakni terdiri atas pemilik modal (mâlik) dan pengelola ('amil)
 
2. Adanya ma'qùd 'alaih, yaitu objek yang masuk dalam unsur akad, terdiri dari: (a) jenis pekerjaan ('amal); (b) laba (ribhu); dan (c) modal (ra'sul mâl)
 
3. Shighat akad, terdiri dari shighat ijab (menyerahkan) dan shighat qabul (menerima)
 
Ulama kalangan Syafiiyah, memerinci akad ini menjadi 5, yaitu: harta (mâl), usaha ('amal), laba (ribhu), shighat (lafadh ijab dan qabul) dan 'aqidain (dua orang yang berakad). Dengan begitu, pandangan Syafiiyah ini sebenarnya sama dengan pandangan ulama jumhur (mayoritas). Bagaimana dengan pandangan Hanafiyah? Mengapa hanya ada dua syarat saja, yaitu keberadaan lafadh ijab dan kabul saja?
 
Untuk mengetahui ceruk dari kalangan Hanafiyah dalam memandang akad mudharabah ini, kita bisa lihat pada definisi ijab dan qabul dari kalangan tersebut. Dalam al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, juz 4, dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan lafadh ijab oleh Hanafiyah adalah:
 
فألفاظ الإيجاب: هي لفظ المضاربة والمقارضة والمعاملة، وما يؤدي معاني هذه الألفاظ بأن يقول رب المال: (خذ هذا المال مضاربة على أن ما رزق الله عز وجل من ربح فهو بيننا على كذا من نصف أو ربع أو ثلث أو غير ذلك من الأجزاء المعلومة).
 
Artinya: "Yang dimaksud dengan lafadh ijab adalah lafadh yang menunjukkan makna mudharabah, muqâradlah, atau mu'amalah, atau segala bentuk pernyataan yang bisa mendatangkan pengertian pada akad, misalnya seperti pernyataan pemodal: ‘Ambil harta ini sebagai modal usaha dengan bagi hasil keuntungan yang direzekikan oleh Allah ﷻ kepada usaha kita dalam menjalankan modal ini, dengan rasio pembagian separuh (untuk aku atau kamu), seperempat (untuk aku atau kamu), atau sepertiga (untuk aku atau kamu) atau menurut nisbah tertentu lainnya yang kita ketahui bersama" (al-Kasâni, Badâi'u al-Shanâi' fi Tartîbi al-Syarâi', Damaskus: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1971: 8/5-6).
 
Sementara itu dalam lafadh qabul, kalangan Hanafiyah menyampaikan ta'rif sebagai berikut:
 
وألفاظ القبول: هي أن يقول العامل المضارب: أخذت، أو رضيت أو قبلت، ونحوها. وإذا توافر الإيجاب والقبول انعقد العقد
 
Artinya: "Lafadh qabul adalah lafadh yang diucapkan oleh seorang pengelola ('amil), seperti: Aku ambil, atau baiklah, aku terima, dan semacamnya. Bila lafadh ijab tersebut bersesuaian dengan ladah penerimaan (qabul), maka sahlah akad." (al-Kasâni, Badâi'u al-Shanâi' fi Tartîbi al-Syarâi', Damaskus: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1971: 8/5-6)
 
Melihat definisi lafadh ijab dan qabul dari kalangan Hanafiyah ini, secara tidak langsung di dalamnya juga terdapat penjelasan bahwa ijab dan qabul dalam akad mudharabah adalah dilakukan oleh:
 
1. Dua orang atau lebih yang bertransaksi
2. Lafadh ijab dan qabul memiliki bentuk shighat
3. Ada modal yang diserahkan
4. Ada nisbah pembagian keuntungan yang disepakati
5. Ada amal yang disepakati
 
Walhasil, meski tampaknya di awal menunjukkan rukun yang berbeda, namun dalam penjabarannya, para ulama ini bersepakat terhadap komponen yang dilibatkan dalam akad mudharabah. Wallahu a'lam bish shawab.
 
 
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur