Syariah

Tas’ir Bai’ Murabahah ‘Adiyah di Lembaga Berbasis Syariah

Kam, 11 Januari 2018 | 09:15 WIB

Akad bai’ murabahah merupakan sebuah akad jual beli suatu barang dengan jalan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid: 2/229). Syariat tidak menetapkan bahwa apakah pembeli ini harus berupa seorang person atau yang diserupakan dengan person seperti badan usaha atau instansi, baik formal atau informal. Wilayah yang menjadi titik tekan syariat (wilayah ashliyyah) dalam kebolehan pihak pelaku jual beli, hanyalah pada aspek kepemilikan, yaitu apakah suatu barang merupakan milik langsung dari penjual atau tidak. 

Adapun yang menjadi pihak yang diberi kewenangan dalam jual beli, syariat membaginya sebagai kewenangan langsung dan tidak langsung. Untuk kewenangan langsung berarti yang melakukan akad adalah pihak penjual dan pembeli itu sendiri. Sementara pada kewenangan tidak langsung (al-wilayah al-niyabiyyah) merupakan pihak wakil dari pembeli atau wali atas pemilik barang/aset yang diperjualbelikan. 

(Baca: Kasus ‘Mark-Up’ Harga Jual Barang: Pembuka Memahami Tas’ir Bai’ Murabahah)
Terkait dengan aset yang diperjualbelikan (mutsman/mabi’) merupakan imbangan dari harga pertukaran dengan tsaman (uang). Hubungan antara penjual dengan aset yang diperjualbelikan ini adakalanya langsung dimiliki oleh penjual kemudian ditawarkan kepada calon pembelinya (bai’ al-murabahah al-‘adiyah), namun adakalanya masih berupa aset pesanan calon pembeli dengan janji pembeli akan membelinya setelah barang tersebut ada (bai’ al-murabahah li al-amiri bi al-syira’). Bai’ murabahah li al-amiri bi al-syira’, dicirikan sebagai transaksi jual beli di mana seorang nasabah datang kepada pihak bank untuk membelikan sebuah komoditas dengan kriteria tertentu, dan ia berjanji akan membeli komoditas/barang tersebut secara murabahah, yakni sesuai harga pokok pembelian (ra’su al-maal) ditambah dengan tingkat keuntungan yang disepakati kedua pihak, dan nasabah akan melakukan pembayaran secara cicilan berkala (taqshith) sesuai dengan kemampuan finansial yang dimiliki. 

Untuk transaksi yang kedua ini, para ulama’ berbeda pendapat mengenai kebolehannya. Ulama’ yang menyatakan kebolehannya, antara lain Sami Hamud, Yusuf Qardhawi, Ali Ahmad Salus, Shadiq Muhammad Amin, Ibrahim Fadhil, dan lainnya. Sementara ulama’ yang menyatakan keharamannya, antara lain: Muhammad Sulaiman al-Asyqar, Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Rafiq al-Mishri dan lainnya. Alasan utama dari ulama’ yang mengharamkan adalah karena pada dasarnya akad tersebut dianggap hanya sebagai hilahmuharramah untuk menghindari bunga. Adapun ulama’ yang membolehkan praktiknya, mensyaratkan adanya instrumen yang kelak akan di tulisan-tulisan berikutnya. 

Murabahah ‘adiyah, ia merupakan sejenis transaksi yang sudah ada sejak zaman Nabi (murabahah ashly) dan sudah banyak dibahas di berbagai kitab fiqih klasik. Murabahah inicukup populer dikenaldalam transaksi perdagangan (tijarah). Ia dilakukan dengan jalan penjual menyampaikan apa adanya soal harga pokok suatu aset kepada calon pembeli, menurut asal ia membeli, kemudian turut serta disampaikan besar keuntungan ma’lum yang diambil oleh penjual kepada pembeli. Ciri khas dari akad murabahah ‘adiyah ini adalah, penjual mengadakan aset (barang dagangan) dengan tanpa memperhatikan apakah nantinya ada yang akan membeli atau tidak. Dengan demikian, barang yang dijual lebih dahulu tersedia sebelum nasabah datang membeli asetnya. Aset yang disediakan disesuaikan dengan jenis barang yang banyak dibutuhkan oleh nasabah. Seperti misalnya, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang bergerak menyediakan kebutuhan bagi petani. 

Ciri lain yang nampak menonjol adalah apabila barang yang dijual sudah mulai menipis, maka penjual akan segera melakukan pengadaan kembali untuk mengisi kekosongan asetnya. Lembaga keuangan syariah yang memiliki skema murabahah seperti ini biasanya lebih menyerupai toko atau minimarket.

Melihat ciri akad murabahah ‘adiyah di atas, maka metode tas’ir (penentuan harga) adalah lebih banyak ditentukan oleh LKS itu sendiri. Mereka biasanya menyediakan barang dengan harga yang diambil dari harga pasaran (ra’su al-maal) ditambah laba (ribhun). Cara pembayaran bisa dilakukan dengan tunai (haalan) dan juga bisa dilakukan dengan jalan angsuran(muajjalan). Catatan yang perlu diperhatikan adalah, bahwa sebelum nasabah meninggalkan majelis akad, penjual dan pembeli harus sudah menentukan apakah barang dibeli secara tunai ataukahangsuran (ajil).

(Baca: Pelaksanaan Negosiasi Akad Bai’ Murabahah antara Nasabah dan Bank Syariah) 
Untuk jual beli yang dilakukan dengan angsuran, maka akad jual beli ini sering dinamakan dengan bai’ bi al-tsamani al-ajil (deferred payment sale), yaitu jual beli dengan harga barang dibayar tunda. Karena umumnya murabahah lebih sering digunakan untuk jenis pembiayaan jangka pendek (kurang dari satu tahun) atau pembiayaan modal kerja, maka pihak Lembaga Keuangan Syariah umumnya mengklasifikasikan pembiayaannya menjadi dua, yaitu: 

Pertama, untuk pembiayaan jangka pendek, LKS memberitahukan besarnya keuntungan (margin) yang harus dibayar oleh nasabah. 

Kedua, Untuk pembiayaan modal kerja dan pembiayaan jangka panjang (di atas satu tahun), biasanya LKS menerapkan kebijakan tidak memberitahukan berapa margin keuntungan LKS yang harus ditanggung oleh nasabah. Di sinilah kemudian terjadi perbedaan pendapat di kalangan para sarjana Islam modern. 

Terhadap pembiayaan model pertama, mayoritas ulama menyatakan sepakat kebolehannya. Karena ciri utama dari akad bai’ murabahah adalah “margin keuntungan yang diketahui.”Unsur mengetahuinya ini bisa dilakukan dengan jalan negosiasi atau memang pihak LKS memberitahukan kepada pelanggan, kemudian pelanggan ridla terhadap besarnya ribhun tersebut. Inilah yang menyebabkan pihak LKS tidak begitu kesulitan dalam melakukan transaksi murabahah jangka pendek ini, karena mudahnya penetapan harga aset (tas’ir) mudah ditentukan. 

Adapun terhadap pembiayaan model yang kedua, yakni pembiayaan jangka panjang yang umumnya dipakai untuk kredit rumah, mobil, modal kerja, dan lain sebagainya, letak akad murabahah yang diperselisihkan adalah “faktor ketidaktahuan margin keuntungan yang pasti” oleh nasabah. Perlu diketahui bahwa di beberapa negara untuk akad bai’ murabahahbi al-tsamani al-ajil (BBA) sering disebut sebagai bai’ muajjalan. Maka dari itu, untuk mengenalinya, apakah suatu akad ditetapkan dengan bai’ murabahah ‘adiyah atau bai’ murabahah bi al-tsamani al-ajil, seorang nasabah “harus” mengenalinya berdasarkan uraian yang disampaikan oleh perbankan terlebih dahulu, dan ini yang menjadi faktor tersulit dari seorang nasabah. 

Status hukum kebolehan terhadap bai’ murabahahbi al-tsamani al-ajil ini juga diperselisihkan oleh ulama’ kontemporer. Alasan penolakan utamanya adalah terdapat unsur hilah dari riba dan menyamakan bai’ bi al-tsamani al-ajil sebagai bai’ u al-inah.Penjelasan tentang konsep bai’ u al-inah bisa dilihat pada tulisan sebelumnya. Selain itu, pada praktik bai’ bi al-tsamani al-ajil terdapat akad ganda (hybrid transaction). Konsep akad ganda atau biasa disebut akad murakkabah adalah kerap menjadi sorotan di kalangan fuqaha’. 

Ulama yang membolehkan transaksi bai’ bi al-tsamani al-ajil, adalah dari kalangan Syafi’iyah dengan syarat adanya instrumen yang di setiap tahapannya harus berlangsung sah. Fatwa DSN MUI No. 111/DSN-MUI/IX/2017 juga menetapkan kebolehannya dengan catatan instrumen tersebut. Praktik dari bai’ bi al-tsamani al-ajil ini bisa diikuti pada contoh kasus transaksi antara pembeli dengan developer perumahan yang mana akad jual beli akan ditentukan kembali setelah rumah yang dipesan oleh pembeli selesai dibangun oleh pihak pengembang. 

Bagaimana liku-liku bai’ bi al-tsamani al-ajil ini dibolehkan oleh syara’ dan bagaimana metode tas’ir-nya serta dimana letak kontradiksinya di kalangan fuqaha’, insyaallah akan diuraikan dalam tulisan-tulisan berikutnya.


Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua