Syariah

Pelajaran Fiqih Transaksi dari Kisah Budak yang Dimerdekakan Siti Aisyah

Sen, 5 Agustus 2019 | 13:45 WIB

Suatu ketika ada seorang hamba sahaya bernama Barîrah radliyallâhu 'anha menginginkan dirinya bisa merdeka. Lalu ia mengambil akad kitâbah (tebus cicil) dengan tuannya dengan sanggup membayar 9 awaq yang akan dibayar setiap tahunnya sebesar 1 waqiyah. Sang majikan menyetujuinya.

 

Keinginannya ini kemudian disampaikan kepada Siti Aisyah radliyallâhu 'anha dan ia meminta tolong kepadanya agar sudi membantu. Lalu 'Aisyah berkata kepadanya:

 

إن أحب أهلك أن أعد لهم ويكون ولاؤك لي فعلت

 

Artinya: "Jika tuanmu bersedia, aku akan membayarnya kepada mereka (secara kontan) sehingga ahli waris wala'-mu adalah aku, maka lakukanlah!"

 

Demi mendapati kesanggupan dari Siti 'Âisyah radliyallâhu 'anha ini, pulanglah Barîrah kepada majikannya dan melaporkan kesanggupan Aisyah, istri Nabi itu. Mendengar penjelasan Barîrah soal wala' (hak waris yang diterima seseorang karena memerdekakan budak), sang majikan menolak. Ia mengatakan bahwa Siti Aisyah radliyallahu 'anha bisa membelinya lalu memerdekakannya, akan tetapi disyaratkan bahwa hak waris wala' adalah tetap milik sang majikan. Lalu laporlah ia kepada 'Aisyah radliyallahu 'anha dan berkata:

 

إني قد عرضت ذلك عليهم فأبوا إلا أن يكون الولاء لهم

 

Artinya: "Aku sudah menyampaikan kepada Bani Hilal. Mereka menolak, kecuali jika wala' tetap menjadi hak mereka."

 

Gelisahlah keduanya, sehingga kegelisahan itu sampai ke telinga Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam. Siti Aisyah radliyallahu 'anha pun menjelaskan hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu beliau bersabda:

 

خذيها واشترطي لهم الولاء فإنما الولاء لمن أعتق

 

Artinya: "Ambil dia dan syaratkan ke mereka (Bani Hilal) akan hak wala' itu. Sesungguhnya wala' adalah hak bagi orang yang memerdekakan."

 

Demi mendengar hal itu, Aisyah radliyallahu anha bersegera bersedia melakukannya. Lalu Rasulillah berdiri di hadapan para sahabat yang lain, lantas memuji Allah, menyanjung-Nya, lalu beliau bersabda:

 

أما بعد ما بال رجال يشترطون شروطا ليست في كتاب الله، ما كان من شرط ليس في كتاب الله فهو باطل وإن كان مائة شرط، قضاء الله أحق وشرط الله أوثق، وإنما الولاء لمن أعتق

 

Artinya: "Amma ba'du. Tertolak bagi seseorang menetapkan syarat yang tiada dibenarkan oleh kitab Allah. Karena syarat apa pun yang tiada ditentukan dalam Kitabullah maka syarat itu adalah bathil (tidak sah). Kendati syarat itu sebanyak 100, akan tetapi ketetapan Allah subhanahu wata’ala adalah yang lebih haq dan syarat Allah adalah lebih teguh. Sesungguhnya hak wala’ adalah bagi orang yang memerdekakan."

 

Hadits di atas merupakan Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan dimuat di dalam Bab Idza Isytaratha Syurûthan fi al-Bai' Lâ Tahillu (bab ketika ditetapkan beberapa syarat dalam satu akad jual beli, maka syarat tersebut tidak halal).

 

Wajah dilâlah (hikmah) dari hadits ini, menurut al-Imrâny sebenarnya ada beberapa macam. Akan tetapi, inti utama dari yang dikehendaki oleh Rasulullah, menurut al-Imrâny adalah sebagai berikut:

 

أن النبي صلى الله عليه وسلم أبطل الشرط الفاسد ولم يبطل العقد حيث حكم بصحة العقد وامضائه مع وجود الشرط الفاسد، مما يدل على عدم التأثير الشرط الفاسد في صحة العقد

 

Artinya: "Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah membatalkan keberadaan syarat fasid (syarat rusak) tapi tidak membatalkan kontrak yang telah terjadi. Sekira beliau telah menyatakan hukum sahnya akad dan terus berjalannya kontrak kendati terdapat syarat fasid, karena keberadaannya tidak berpengaruh sama sekali terhadap sahnya akad." (Al-'Imrâny, al-'Uqûdu al-Mâliyah al-Murakkabah, Riyadl: Dâr al-Kunûz Isybiliya li al-Nasyr wa al-Tawzî', 2010: 138).

 

Kasus di atas, jika kita contohkan dalam praktik sehari-hari, misalnya adalah ada orang meminjami orang lain sejumlah uang, lalu disyaratkan bagi pihak yang dipinjami harus menikahi putrinya. Syarat "harus menikahi" ini adalah termasuk syarat yang fasid (syarat yang rusak). Pihak yang dipinjami boleh untuk tidak menunaikan. Tapi akad kontrak utang piutangnya tetap berjalan dan tidak batal. Bahkan, kendati dia menunaikan benar apa yang disyaratkan tersebut, yaitu menikahi putri pihak yang memberinya utang. Kontrak utang piutangnya tetap berlangsung, dan tidak menjadi sebab batalnya utang.

 

Dalam kasus budak di atas, pihak Bani Hilal menetapkan syarat hak waris wala harus jatuh ke dirinya. Ini adalah termasuk syarat yang fasid. Mengapa? Karena wala’ itu adalah hak orang yang memerdekakan budak, dan bukan hak mantan majikan, sebagaimana hal ini sudah ditetapkan oleh nash. Jadi, bila majikan kemudian mengubah ketentuan, maka ketentuannya itu tidak perlu diikuti. Tidak mengikuti ketentuan mantan majikan ini, bukan berarti batalnya Barirah untuk merdeka dan bolehnya ia dibantu cicilannya, atau tebusannya sama Aisyah radliyallahu 'anha. Tebusan itu tetap sah, dengan mengabaikan syarat wala’ dari majikan. Apalagi bila dipenuhi. Tapi hal itu tidak boleh sebab melanggar nash. Wallahu a'lam bish shawab.

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jawa Timur