Syariah

Cara Bersuci bagi Penyandang Disabilitas Netra

Sel, 17 Desember 2019 | 04:30 WIB

Cara Bersuci bagi Penyandang Disabilitas Netra

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS al-Baqarah: 286).

Kemudahan (taysir) merupakan salah satu prinsip penting dalam Islam. Ia merupakan anugerah Allah subhanahu wata'ala yang diberikan agar manusia tetap bersemangat dan tekun dalam menjalankan ajaran agama, terutama dalam situasi sulit. Artinya, setiap kesulitan menuntut adanya kemudahan (al-masyaqqah tajlīb al-taysir). Allah subhanahu wata'ala berfirman:

 

يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖ

 

Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah/2: 185)

 

Berbagai kemudahan itu diberikan oleh Allah subhanahu wata’ala untuk tujuan dan maksud yang mulia. Pertama, memastikan agar manusia dapat menjalankan agama tanpa susah payah dalam dimensi ruang dan waktu. Kedua, mendorong dan memotivasi manusia agar rajin dan semangat menjalankan agama, lantaran bisa dilakukan dengan mudah dan tanpa kesulitan.

 

Ini menjadi bagian dari prinsip Islam, menghilangkan segala bentuk kesulitan. Jika kita perhatikan dalam Al-Quran, banyak sekali ayat yang menyebutkan bahwa Allah sama sekali tidak menghendaki kesulitan bagi para hamba-Nya. Misalnya, Allah berfirman:

 

مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

 

Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur(QS al-Maidah: 6).

 

Allah subhanahu wata’ala juga berfirman:

 

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ

 

Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim” (QS al-Hajj:78). 

 

Dalam masalah thaharah (bersuci), baik mandi atau wudhu, sebenarnya tata caranya sama. Tetapi terdapat beberapa tuntunan bagi penyandang disabilitas netra, mengingat mereka tak bisa mengetahui dengan pasti tentang najis tidaknya air yang bisa digunakan untuk bersuci, antara lain:

 

  1. Apabila penyandang disabilitas netra akan menggunakan air lalu ada yang memberitahukannya bahwa air itu sudah najis, maka ia harus menerima pemberitahuan tersebut dengan syarat ada penjelasan sebab najisnya dan tidak berijtihad sendiri. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.

 

  1. Apabila ada dua bejana (wadah air), salah satunya najis dan yang lainnya suci, lalu orang penyandang disabilitas netra tersebut bingung menentukan mana yang najis, padahal dia akan salat. Jika demikian, maka ia diperbolehkan berijtihad dan bersuci berdasarkan dugaan kuatnya (ghalabatudh-dhan) dengan cara memaksimalkan indra lain yang masih berfungsi. Inilah pendapat yang rajih dari tiga pendapat para ulama. Pendapat ini adalah pendapat mazhab Hanafiyah dan Syâfiiyah
     
  2. Apabila orang disabilitas netra bingung memilih pakaian yang akan dikenakannya antara yang suci dan yang najis, maka ia berijtihad dan berusaha semampunya untuk memilih lalu salat dengan pakaian yang dianggapnya suci. Inilah pendapat mayoritas ulama. Ini boleh dilakukan karena ia telah berbuat sesuai kemampuannya. Allah berfirman:
 
 

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

 

Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS al-Baqarah: 286).

 

===

Artikel ini dinukil dari buku "Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas" yang disusun dan diterbitkan oleh tim Lembaga Bahtsul Masail PBNU, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), serta Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Unibraw. Unduh buku (PDF) ini di kanal Download NU Online.