Syariah

Ragam Pendapat Ulama soal Berjabat Tangan Setelah Shalat

Jum, 4 Oktober 2019 | 15:00 WIB

Ragam Pendapat Ulama soal Berjabat Tangan Setelah Shalat

Menurut pendapat para ulama yang kredibel, berjabat tangan setelah shalat itu disyariatkan, bukan bid’ah, meskipun mereka berbeda pendapat.

Berjabat tangan setelah shalat berjamaah merupakan tradisi mayoritas umat Islam Indonesia. Setelah shalat selesai, makmum menoleh ke arah kanan dan kiri, sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan makmum yang ada di sampingnya. Tradisi ini merupakan kebiasaan yang berlaku turun-temurun, dan sudah mendarah daging di lingkungan mayoritas umat Islam Indonesia. 
 
Hanya saja, sebagian umat Islam tidak melaksanakannya, karena berasumsi bahwa hal tersebut merupakan bid’ah, sebab tidak pernah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad shallallahu a’laihi wasallam dan para sahabat radhiyallahu anhum. Benarkah demikian?
 
Para ulama berbeda pendapat soal hukum berjabat tangan sesudah shalat. Pertama, sebagian ulama mazhab Hanafi, seperti Syekh Ath-Thahawi dan An-Nablisi, menyatakan bahwa berjabat tangan setelah shalat adalah sunnah. Syekh Ath-Thahawi menyebutkan:
 
وَكَذَا تُطْلَبُ الْمُصَافَحَةُ، فَهِيَ سُنَّةٌ عَقِبَ الصَّلَاةِ كُلِّهَا
 
“Dan begitu juga dianjurkan berjabat tangan. Hukumnya sunnah setelah shalat apa pun” (Ahmad bin Muhammad Ath-Thahawi, Hasyiyatut Thahawi Ala Maraqil Falah, juz 1, h. 345).
 
Senada dengan Syekh Ath-Thahawi, Syekh An-Nablisi menuturkan:
 
إِنَّهَا دَاخِلَةٌ تَحْتَ عُمُوْمِ سُنَّةِ الْمُصَافَحَةِ مُطْلَقًا
 
“Berjabat tangan setelah shalat masuk dalam generalitas (keumuman) kesunnahan berjabat tangan secara mutlak” (Abdul Ghani An-Nablisi, Syarhut Thariqah Al-Muhammadiyyah, juz 2, h. 150).
 
Kedua, sebagian ulama mazhab Hanafi mengatakan, hukum berjabat tangan dimaksud adalah makruh, sebab dikhawatirkan adanya asumsi bahwa berjabat tangan setelah shalat hukumnya sunnah karena dilaksanakan terus-menerus. Syekh Ibnu Abidin menerangkan:
 
وَقَدْ صَرَحَ بَعْضُ عُلَمَائِنَا وَغَيْرُهُمْ بِكَرَاهَةِ الْمُصَافَحَةِ الْمُعْتَادَةِ عَقِبَ الصَّلَوَاتِ مَعَ أَنَّ الْمُصَافَحَةَ سُنَّةٌ وَمَا ذَاكَ إِلَّا لِكَوْنِهَا لَمْ تُؤَثِّرْ فِي خُصُوْصِ هَذَا الْمَوْضِعِ فَالْمُوَاظَبَةُ عَلَيْهَا فِيْهِ تُوْهِمُ الْعَوَامَ بِأَنَّهَا سُنَّةٌ
 
“Sebagian ulama kita dan ulama lain menerangkan kemakruhan berjabat tangan setelah shalat, padahal hukum berjabat tangan (pada umumnya) adalah sunnah. Hal itu tidak lain karena tidak adanya riwayat tentang berjabat tangan pada waktu ini (setelah shalat), sehingga mentradisikannya dapat menimbulkan prasangka bagi orang awam bahwa hal itu merupakan kesunnahan” (Muhammad Amin Ibnu Abidin, Raddul Muhtar Alad Durril Mukhtar, juz 2, h. 235).
 
Walaupun demikian, ulama yang memakruhkan berjabat tangan sesudah shalat menerangkan, jika ada seorang Muslim mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan maka sebaiknya kita tidak menolaknya. Syekh Al-Qari menulis:
 
وَمَعَ هَذَا إِذَا مَدَّ مُسْلِمٌ يَدَهُ لِلْمُصَافَحَةِ فَلَا يَنْبَغِي الْإِعْرَاضُ عَنْهُ بِجَذْبِ الْيَدِ لِمَا يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ مِنْ أَذًى
 
“Meskipun demikian, jika seorang muslim mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan maka tidak layak berpaling darinya (menolaknya) dengan menarik tangan, sebab hal itu bisa menyakiti perasaannya” (Ali bin Muhammad Al-Qari, Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih, juz 8, h. 494).
 
Ketiga, ulama mazhab Syafi’i menegaskan, hukum berjabat tangan setelah shalat adalah mubah. Imam Nawawi menjelaskan dalam kitab Al-Adzkar an-Nawawiyyah
 
وَأَمَّا مَا اعْتَادَهُ النَّاسُ مِنَ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ صَلَاتَيِ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ، فَلَا أَصْلَ لَهُ فِي الشَّرْعِ عَلَى هَذَا الْوَجْهِ، وَلَكِنْ لَا بَأْسَ بِهِ.
 
“Adapun apa yang menjadi kebiasaan masyarakat berupa jabat tangan setelah shalat Subuh dan shalat Ashar, tidak ada dasarnya dalam syariat Islam, sesuai cara ini, tetapi tidak apa-apa dilaksanakan” (Yahya bin Syaraf Annawawi, Al-Adzkar An-Nawawiyyah, juz 1, h. 337).
 
Syekh Izzuddin bin Abdissalam juga menjelaskan:
 
وَالْبِدَعُ الْمُبَاحَةُ أَمْثِلَةٌ. مِنْهَا: الْمُصَافَحَةُ عَقِيْبَ الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ
 
“Dan contoh bid’ah yang mubah antara lain: berjabat tangan setelah shalat Subuh dan shalat Ashar” (Izzuddin bin Abdissalam, Qawaidul Ahkam fi Mashalihil Anam, juz 2, h. 173).
 
Senada dengan kedua ulama di atas, Syekh Ramli menerangkan:
 
(سُئِلَ) عَمَّا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنْ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ هَلْ هُوَ سُنَّةٌ أَوْ لَا؟ (فَأَجَابَ) بِأَنَّ مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنْ الْمُصَافَحَةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ لَا أَصْلَ لَهَا، وَلَكِنْ لَا بَأْسَ بِهَا.
 
“Syekh Ramli ditanya soal apa yang dilakukan oleh orang-orang berupa jabat tangan setelah shalat, apakah hukumya sunnah atau tidak? Beliau menjawab: Apa yang dilakukan oleh orang-orang berupa jabat tangan setelah shalat tidak ada dasarnya, tetapi tidak apa-apa dikerjakan” (Ahmad bin Hamzah al-Ramli, Fatawa al-Ramli, juz 1, h. 386).
 
Dari paparan di atas dapat disimpulkan, ulama berbeda pendapat tentang hukum berjabat tangan setelah shalat. Sebagian ulama mazhab Hanafi menyatakan kesunnahannya. Sebagian ulama mazhab Hanafi yang lain menganggapnya makruh. Sedangkan ulama mazhab Syafi’i menghukuminya mubah. 
 
 
Dengan demikian, menurut pendapat para ulama yang kredibel, berjabat tangan setelah shalat itu disyariatkan, bukan bid’ah. Hanya saja, mereka berbeda pendapat tentang status hukumnya; antara sunnah, makruh, atau mubah. Adapun orang yang menganggapnya bid’ah karena berasumsi tidak ada contoh dari Rasulullah shallallahu a’laihi wasallam barangkali bisa mencermati hadits riwayat Imam Bukhari dari Abu Juhaifah radhiyallahu anhu
 
سَمِعْتُ أَبَا جُحَيْفَةَ قَالَ: "خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْهَاجِرَةِ إِلَى الْبَطْحَاءِ، فَتَوَضَّأَ، ثُمَّ صَلَّى الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ وَالْعَصْرَ رَكْعَتَيْنِ وَبَيْنَ يَدَيْهِ عَنَزَةٌ،" قَالَ شُعْبَةُ: وَزَادَ فِيهِ عَوْنٌ عَنْ أَبِيهِ أَبِي جُحَيْفَةَ قَالَ: "كَانَ يَمُرُّ مِنْ وَرَائِهَا الْمَرْأَةُ وَقَامَ النَّاسُ فَجَعَلُوا يَأْخُذُونَ يَدَيْهِ فَيَمْسَحُونَ بِهَا وُجُوهَهُمْ." قَالَ: "فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ فَوَضَعْتُهَا عَلَى وَجْهِي فَإِذَا هِيَ أَبْرَدُ مِنْ الثَّلْجِ وَأَطْيَبُ رَائِحَةً مِنْ الْمِسْكِ."
 
Saya mendengar Abu Juhaifah radhiyallahu anhu berkata: "Ketika tengah hari, Rasulullah shallallahu a’laihi wasallam pergi ke Bathha’. Beliau lalu berwudhu. Setelah itu, beliau melakukan shalat Zhuhur dan Ashar masing-masing dua rakaat. Dan di hadapan beliau diletakkan tombak.” Syu'bah berkata: “Dan 'Aun menambahkan dalam riwayat hadits ini dari bapaknya, Abu Juhaifah, berkata; "Saat itu lewat dari belakang tombak tersebut seorang wanita, maka orang-orang pada berdiri lalu memegang tangan beliau, kemudian mengusapkannya pada wajah-wajah mereka". Dan di hadapannya ada seekor kambing betina. Lalu orang-orang memegang tangan beliau (menyalaminya), kemudian mengusapkannya ke wajah mereka.” Abu Juhaifah berkata: “Maka, saya pun ikut memegang tangan beliau, lalu meletakkannya di wajah saya. Ternyata tangan beliau lebih dingin dari salju dan lebih harum dari minyak kasturi."
 
Terkait hadits tersebut, Syekh Muhibbuddin Ath-Thabari berkomentar, “Hadits ini dapat dijadikan isti’nas (penguat) bagi kebiasaan orang-orang yang berjabat tangan setelah melakukan shalat jamaah, terutama shalat Ashar dan Maghrib, jika dilakukan dengan niat baik, seperti mencari keberkahan (tabaruk), menambah keakraban, atau hal-hal sejenisnya” (Muhibbuddin Ath-Thabari, Ghayatul Ihkam fi Ahaditsil Ahkam, juz 2, h. 224).
 
Semoga tulisan ini mampu memberikan pencerahan, baik bagi orang yang biasa berjabat tangan setelah shalat, maupun bagi orang yang tidak biasa melakukannya, sehingga kerukunan dan persatuan antarwarga senantiasa terjaga. Amin. 
 
 
Ustadz Husnul Haq, Pengasuh Pesantren Mahasiswa Mamba’ul Ma’arif Tulungagung, dan Dosen IAIN Tulungagung.