Syariah

4 Perbedaan Haji dan Umrah

Jum, 5 Juli 2019 | 02:00 WIB

4 Perbedaan Haji dan Umrah

Haji dan umrah memang berkaitan, tapi juga memiliki persamaan dan perbedaan.

Haji adalah rukun kelima dari lima rukun Islam. Secara bahasa haji berarti menyengaja atau bermaksud melakukan sesuatu. Sedangkan secara istilah adalah menyengaja menuju Ka’bah untuk melaksanakan ibadah tertentu. Haji merupakan ibadah yang diserap dari syari’at para nabi terdahulu. Hal ini terbukti dari satu riwayat bahwa Nabi Adam ‘alaihissalam pernah melaksanakan haji dari India sebanyak 40 kali dengan berjalan kaki, bahkan menurut Ibnu Ishaq Allah subhanahu wata’ala tidak mengutus seorang Nabi setelah Nabi Ibrahim kecuali ia pernah melaksanakan haji.

 

Syekh Zainuddin al-Malibari berkata:

 

قال ابن إسحاق لم يبعث الله نبيا بعد إبراهيم عليه الصلاة والسلام إلا حج

 

“Ibnu Ishaq berkata Allah tidak mengutus seorang Nabi setelah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam kecuali ia melakukan haji, (Syekh Zainuddin Abdul Aziz al-Malibari, Fathul Mu’in Hamisy Hasyiyah I’anah al-Thalibin, Dar al-Fikr, juz 2, hal. 312).

 

Umrah secara bahasa dapat diartikan berziarah ke tempat ramai atau berpenghuni, sedangkan menurut istilah adalah menyengaja menuju Ka’bah untuk melaksanakan ibadah tertentu.

 

Haji dan umrah merupakan dua hal yang saling berkaitan satu sama lain. Keduanya memiliki banyak persamaan meliputi syarat wajib, syarat sah, kesunnahan, hal-hal yang membatalkan, dan perkara-perkara yang diharamkan saat melakukan dua ibadah tersebut. Meski demikian, keduanya juga memiliki beberapa titik perbedaan. Berikut ini penjelasannya.

 
  1. Hukum
 

Haji merupakan ibadah yang wajib bagi setiap muslim yang telah memenuhi syarat wajib haji, hal ini berdasarkan firman Alah subhanahu wata’ala:

 

ولِلهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ

 

“Dan bagi Allah subhanahu wata’ala, wajib bagi manusia untuk melaksanakan haji ke Baitullah. (QS Ali Imran 97).

 

Dan haditsnya Ibnu Umar:

 

بُني الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله، وإقام الصلاة، وإيتاء الزكاة، وحج البيت، وصوم رمضان

 

“Islam didirikan atas lima hal, bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah subhanahu wata’ala dan sesungguhnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam utusan Allah, mendirikan shalat, melaksanakan zakat, haji ke Baitullah dan puasa Ramadhan, (HR. al-Bukhari dan Muslim).

 

Dari ayat dan hadits di atas ulama merumuskan bahwa hukumnya haji adalah wajib dan tergolong persoalan al-mujma’ ‘alaihi al-ma’lum min al-din bi al-dlarurah (yang disepakati hukumnya oleh seluruh mazhab dan diketahui oleh semua kalangan, baik orang awam dan khusus). Oleh karenanya seseorang yang mengingkari kewajiban haji dihukumi murtad (keluar dari Islam), kecuali bagi orang yang sangat awam, jauh dari informasi keagamaan. Syekh Khathib al-Syarbini berkata:

 

وهو إجماع يكفر جاحده إن لم يخف عليه

 

“Kewajiban haji disepekati ulama, kufur orang yang mengingkarinya bila kewajiban haji tidak samar baginya.” (Syekh Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 2, hal. 206).

 

Sedangkan hukum umrah diperselisihkan ulama. Menurut pendapat al-Azhhar (yang kuat) hukumnya wajib, hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala:

 

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلهِ

 

“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah untuk Allah, (QS al-Baqarah: 196).

Dan haditsnya Sayyidah ‘Aisyah radliyallahu ‘anh:

 

عن عائشة قالت قلت يا رسول الله هل على النساء جهاد؟ قال: نعم، جهادٌ لا قتال فيه؛ الحج والعمرة

 

“Dari ‘Aisyah radliyallahu ‘anh, beliau berkata wahai Rasulullah apakah wajib bagi para perempuan untuk berjihad? Rasulullah menjawab; Ya, yaitu jihad yang tanpa adanya peperangan yakni haji dan umrah,” (HR. Ibnu Majah dan al-Bihaqi dan selainya dengan sanad-sanad yang shahih).

 

Sementara menurut pendapat muqabil al-Azhhar (yang lemah), hukum umrah adalah sunnah. Syekh Muhammad al-Zuhri al-Ghamrawi menegaskan:

 

وكذا العمرة فرض في الأظهر ومقابله أنها سنة

 

“Demikian pula umrah, hukumnya fardlu menurut qaul al-Azzhar. Sedangkan menurut pendapat pembandingnya, umrah adalah sunnah.” (Syekh Muhammad al-Zuhri al-Ghamrawi, al-Siraj al-Wahhaj, hal.151).

 

Pendapat ini berlandaskan kepada beberapa dalil, di antaranya hadits:

 

سئل النبي صلى الله عليه وسلم عن العمرة أواجبة هي قال لا، وأن تعتمر خير لك

 

“Nabi pernah ditanya mengenai umrah, Apakah umrah wajib? Beliau menjawab tidak, dan ketika kau umrah maka itu lebih baik bagimu.” (HR. al-Turmudzi).

 

Al-Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ menyatakan bahwa para pakar hadits sepakat bahwa hadits al-Tirmidzi di atas adalah lemah (dha’if), bahkan Ibnu Hazm menyatakan hadits tersebut adalah bathil. Syekh Abdul Hamid al-Syarwani berkata:

 

عبارة الأسنى والمغني وأما خبر الترمذي عن جابر «سئل النبي - صلى الله عليه وسلم - عن العمرة أواجبة هي قال لا وأن تعتمر خير لك» فضعيف قال في المجموع اتفق الحفاظ على ضعفه ولا يغتر بقول الترمذي فيه حسن صحيح وقال ابن حزم إنه باطل قال أصحابنا ولو صح لم يلزم منه عدم وجوبها مطلقا لاحتمال أن المراد ليست واجبة على السائل لعدم استطاعته

 

“Dan ungkapan kitab al-Nihayah dan al-Mughni 'Sedangkan haditsnya al-Turmudzi dari Jabir bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya mengenai umrah, apakah umrah wajib? Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab tidak, dan kalau kamu umrah maka lebih baik bagimu.” Hadits at-Turmudzi adalah hadits yang lemah (dhaif). Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ berkata bahwa para hafidh hadits sepakat akan status lemah hadits tersebut dan janganlah sampai terbujuk oleh ungkapan al-Turmudzi bahwa hadits itu adalah hasan shahih. Syekh Ibnu Hazm berkata bahwa hadits itu adalah salah (bathil). Beberapa pengikut Imam al-Syafi’i berkata andai saja hadits itu shahih, maka tidak lantas memastikan ketidakwajiban umrah secara mutlak, sebab kemungkinan yang dikehendaki adalah tidak wajib bagi si penanya karena tidak adanya kemampuan berangkat umrah.” (Syekh Abdul Hamid al-Syarwani, Hawasyi al-Syarwani, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, juz 5, hal. 6).

 

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kewajiban haji adalah disepakati oleh seluruh ulama, sementara umrah masih diperselisihkan.

 
  1. Rukun
 

Dalam bab manasik, rukun adalah ritual tertentu yang menjadi penentu keabsahan haji atau umrah (batal bila tidak dilakukan), dan tidak bisa diganti dengan dam (denda). Rukun haji ada lima yaitu niat ihram, wuquf di Arafah, tawaf, sa’i, dan memotong rambut. Sedangkan rukun umrah ada empat, niat ihram, tawaf, sa’i dan memotong rambut.

 

Syekh Abdullah Abdurrahman Bafadhal al-Hadlrami berkata:

 

أركان الحج خمسة: الإحرام، والوقوف بعرفة، والطواف، والسعي، والحلق. وأركان العمرة أربعة وهي: الإحرام، والطواف، والسعي، والحلق

 

“Rukun-rukun haji ada lima, yaitu niat ihram, wuquf di Arafah, tawaf, sa’i dan memotong rambut. Dan rukun-rukun umrah ada empat yaitu ihram, tawaf, sa’i dan memotong rambut, (Syeh Abdullah Abdurrahman Bafadhol al-Hadlrami, Busyra al-Karim Bi Syarhi Masa-il at-Ta’lim Ala al-Muqaddimah al-Hadlrasmiyah, Dar al-Fikr, juz 2, hal. 55).

 

Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa haji dan umrah berbeda pada satu rukun yaitu wuquf di Arafah yang hanya menjadi rukun haji, bukan umrah.

 
  1. Waktu Pelaksanaan
 

Haji memiliki waktu pelaksanaan yang lebih sempit dari umrah. Waktu pelaksanaan haji terbatas pada rentang waktu mulai dari awal bulan Syawal sampai subuhnya hari raya Idul Adha (10 Dzulhijjah). Sedangkan umrah bebas untuk dilaksanakan kapan saja.

 

Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani berkata:

 

والوقت وهو في الحج من ابتداء شوال إلى فجر يوم النحر وفي العمرة جميع السنة

 

“Dan waktu, waktu dalam haji adalah mulai dari permulaan bulan Syawal sampai fajar hari raya Idul adha (Yaumu al-nahr) dan umrah bisa dilakukan di sepanjang tahun. (Abu Abdil Mu’ti Muhammad Nawawi Bin Umar al-Jawi al-Bantani, Nihayah al-Zain, al-Haromain, hal. 201).

 
  1. Kewajiban
 

Kewajiban haji dan umrah merupakan rangkaian ritual manasik yang apabila ditinggalkan tidak dapat membatalkan haji atau umrah, namun wajib diganti dengan dam (denda). Kewajiban haji ada lima, yaitu niat ihram dari miqat (batas area yang telah ditentukan menyesuaikan daerah asal jamaah haji/ umrah), menginap di Muzdalifah, menginap di Mina, tawaf wada’ (perpisahan) serta melempar jumrah. Sedangkan kewajiban umrah ada dua, niat ihram dari miqat dan menjauhi larangan-larangan ihram.

 

Syekh Zainuddin Abdul Aziz al-Malibari berkata:

 

وواجباته: ١- إحرام من ميقات، ٢- ومبيت بمزدلفة، ٣- وبمنى، ٤- وطواف الوداع، ٥- ورمي بحجر

 

“Kewajiban-kewajiban haji yaitu ihram dari miqat, menginap di Muzdalifah dan Mina, tawaf wada’ dan melempar batu, (Syekh Zainuddin Abdul Aziz al-Malibari, Qurrah al-Aini, al-Haramain, hal. 210).

 

Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani berkata:

 

وأما واجبات العمرة فشيئان الإحرام من الميقات واجتناب محرمات الإحرام

 

“Sedangkan kewajiban-kewajiban umrah ada dua yaitu ihram dari miqat dan menjauhi larangan-larangan ihram” (Syekh Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi Bin Umar al-Jawi al-Bantaniy, Tausyikh ‘Ala Ibni Qosim, al-Haramain, hal. 239).

 

Simpulannya, haji dan umrah memiliki perbedaan dalam hukum, rukun, waktu pelaksanaan dan kewajibannya. Secara hukum, haji hukumnya wajib dan tidak ada perbedaan ulama, sedangkan umrah kewajibannya diperselisihkan. Di lihat dari rukun, haji dan umrah berbeda dalam rukun wuquf di Arafah. Dari segi waktu pelaksanaan, haji lebih sempit dari pada umrah. Dan untuk kewajiban, haji mempunyai lebih banyak kewajiban dari pada umrah yang hanya terdapat dua saja. Sekian semoga bermanfaat.

 

Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat.