Hikmah

Gus Baha’ soal Jebakan Silat Lidah Setan Jenis Manusia (1)

Jum, 19 April 2019 | 12:30 WIB

Baginda Rasulullah Muhammad ﷺ pernah kedatangan tamu orang Yahudi yang cerdas. Ia bertanya, “Hai Muhammad, kalau ada kambing yang mati, siapa yang membunuhnya?” 

“Allah,” jawab Baginda Nabi. 

Rasul lalu dibantah, “Agama kamu ini aneh. Masak kambing yang dibunuh Allah sendiri hukumnya haram, sedangkan kambing yang disembelih manusia lalu mati malah kau katakan halal. Kamu ini bagaimana? Seharusnya yang dibunuh oleh Allah sendiri itu yang orisinil, halal.”

Dialog di atas adalah salah satu metode silat lidah menggunakan dasar logika saja. Tidak lain, peletak metodologi kepatuhan beragama harus berdasar akal saja adalah setan.

أول من قاس الدين برأيه الشيطان 

Artinya: “Makhluk yang pertama kali mengukur agama dengan logika adalah setan.” 

Dalam satu kesempatan, Sayyidina Ali juga pernah dipermainkan logikanya. Padahal Ali adalah orang yang diakui kecerdasannya.

“Hai Ali, coba angkatkan kakimu yang satu,” pinta salah seorang.

Sayyidina Ali menurut. 

“Sekarang angkat yang satunya lagi!” suruhnya. 

Ali mengangkat kaki satunya seraya menurunkan kaki sebelah yang sebelumnya telah diangkat. 

“Tidak begitu, angkat bersama-sama!” pinta seseorang tersebut. 

“Ya tentu tidak bisa. Saya pasti akan terjatuh.”

“Nah, kalau kamu mengangkat dua kaki secara bersama-sama dalam satu waktu dan jarak yang pendek saja tidak bisa, masak teman kamu Muhammad itu bisa naik ke langit (mi’raj).” Bantah orang tersebut yang hanya mengukur kemungkinan Isra’ Mi’raj melalui ukuran akal semata. 

Hal tersebut menunjukkan permainan kata-kata dari setan jenis manusia yang licik. Mereka mengandalkan silat lidah untuk tujuan supaya agama ini kacau. Tercatat, di antara sejarah tragedi terbesar dalam Islam adalah tragedi permainan kata-kata yang dilancarkan oleh orang Yahudi terhadap Nabi Muhammad perihal nasakh-mansukh sehingga banyak sahabat yang kemudian kembali murtad berawal dari perkataan orang-orang Yahudi tersebut. 

KH Bahaudin Nur Salim, Rembang mengatakan, nasakh-mansukh adalah sebuah ketetapan hukum yang dianulir dengan hukum lain di kemudian hari. Orang yahudi sangat bergembira mendapatkan berita ini sebab mereka mempunyai amunisi kata-kata untuk menyerang. Mereka mendatangi sahabat yang tidak terpelajar lalu diprovokasi, “Lihat, Muhammad itu sedang bingung menetapkan hukum. Satu saat ia menyatakan ini halal, satu saat yang lain ia menyatakan menjadi haram.” 

Tidak ada tragedi terbesar melebihi peristiwa nasakh-mansukh ini. Orang yang khusyu’ tidak bisa berpikir ilmiah, sedangkan penyerangnya bermain logika. Dengan demikian, yang paling tepat menurut para ulama dalam mendefinisikan nasakh-mansukh dengan istilah:

انقضاء مدة العبادة 

Artinya: “Habisnya durasi waktu ibadah.”

Apabila masa ibadah selesai, maka tidak lagi ada masalah. Orang puasa Ramadhan waktu pelaksanaannya adalah selama sebulan Ramadhan. Setelah bulan Ramadhan selesai, tidak lagi wajib berpuasa. Orang shalat menghadap Baitul Maqdis, setelah durasi waktunya selesai, Allah kembali lagi memerintahkan kembali menghadap ke Ka’bah. Ibaratnya, ada anak kecil yang minumnya air susu ibu (ASI), saat ia sudah berumur 15 tahun, anak yang sudah beranjak remaja ini minum kopi. Hal tersebut dinamakan selesai durasi minum susu, berganti durasi waktunya minum kopi. 

Contoh demikian tidak bisa diistilahkan orang tua menganulir kebijakan atau orang tuanya mengevaluasi kebijakan kepada anaknya. Apakah karena perbedaan sikap ibu kepada anaknya tersebut menunjukkan bahwa ibu tidak lagi konsisten? Tidak. Ibunya memeperlakukan anaknya sesuai masa perkembangan anak. Begitu pula nasakh-mansukh. Nabi saat masih di Makkah dilarang perang. Saat di Madinah diperintahkan Allah untuk perang, tidak berarti Allah mengevaluasi kebijakannya sendiri, namun Allah mensyariatkan sesuatu mempunyai durasi yang telah ditentukan sendiri. 

Oleh karena itu, pesan Gus Baha’, seseorang jangan sekali-kali salah dalam mendefinisikan sesuatu. Kalau salah definisi, akibatnya bisa berbahaya. Misalnya mendefinisikan nasakh mansukh dengan arti ibadah yang diubah Allah berdasarkan alasan maslahat, hal ini mempunyai kesan bahwa pertimbangan Allah adalah evaluasi. Padahal Allah tidak mungkin mengevaluasi. Allah sudah mengetahui semuanya pada zaman azali, yaitu pada masa dunia dan seisinya ini belum diciptakan sama sekali. Ini tidak nasakh-mansukh, tapi normal atau biasa-biasa saja. 

Siapa yang berinisiatif mengajak permainan logika sebagaimana dalam cerita Nabi Muhammad dan Ali di atas? Jawabnya tidak ada lain kecuali hanya setan. Tidak dari unsur setan berjenis jin yang bisa melaksanakan misi itu, tapi setan dari unsur manusia lah yang bisa bersilat lidah dengan lincah. (Ahmad Mundzir) 


Bersambung…