Hikmah

Imam Bakr al-Muzani dan Teladannya dalam Memandang Orang Lain

Ahad, 14 Februari 2021 | 15:30 WIB

Imam Bakr al-Muzani dan Teladannya dalam Memandang Orang Lain

Imam Bakr bin Abdullah al-Muzanni (w. 106/108 H) adalah seorang ulama besar dari kalangan tabi’in. Ia banyak meriwayatkan hadits dari para sahabat nabi. (Ilustrasi: IlmFeed.com)

Dalam kitab al-Zuhd, Imam Ahmad bin Hanbal mencatat sebuah riwayat tentang nasihat atau ucapan Imam Bakr al-Muzani. Berikut riwayatnya:


حدثنا عبد الله، قال: أخبرت عن سيار حدثنا يوسف بن عطية حدثنا إبرهيم بن عيسي اليشكري، قال: سمعت بكر بن عبد الله المزني يقول: إني لأخرج من بيتي فما ألقى أحداً إلا رأيت له عليّ الفضل لأني من نفسي على يقين. أما من الناس في شك


Abdullah menceritakan kepada kami, ia berkata: aku menceritakan dari Sayyar, Yusuf bin ‘Athiyyah bercerita, Ibrahim bin ‘Isa al-Yasykuriy bercerita kepada kami, ia berkata: Aku mendengar Bakr bin Abdullah al-Muzanni mengatakan:


“Sesungguhnya aku (saat) keluar rumah, tidak bertemu seorang pun kecuali aku menganggap (kedudukan)nya (lebih) utama dariku. Sebab aku sangat yakin (tahu betul) tentang (siapa) diriku. Adapun (pengetahuanku tentang) orang (lain dipenuhi dengan) keragu-raguan.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats, 1992, h. 218)


****


Imam Bakr bin Abdullah al-Muzanni (w. 106/108 H) adalah seorang ulama besar dari kalangan tabi’in. Ia banyak meriwayatkan hadits dari para sahabat nabi, sebut saja Mughirah bin Syu’bah (w. 50 H), Abdullah bin ‘Abbas (w. 68 H), Abdullah bin ‘Umar (w. 73 H), Anas bin Malik (w. 93 H), dan lain sebagainya. Ia juga memiliki banyak murid, di antaranya adalah Sulaiman at-Taimi (w. 143 H), Habib al-‘Ajami (w. 120an H), Hamid at-Thawil (w. 142/143 H), Qatadah (w. 118 H), Ghalib al-Qathhan, ‘Ashim al-Ahwal (w. 142 H) dan lain sebagainya (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, Beirut: Muassasah al-Risalah, 2001, juz 4, h. 533).


Menurut para ulama, Imam Bakr al-Muzanni adalah ahli fiqih dan ahli hadits yang mumpuni. Imam an-Nasai (w. 303 H), Ibnu Ma’in (w. 233 H) dan Abu Zur’ah (w. 264 H) tidak meragukan ke-tsiqqah-annya. Imam Ibnu Sa’d (w. 230 H) menggambarkan kepakarannya dengan mengatakan:


كان ثقة ثبتا كثير الحديث حجة فقيها


“Bakr al-Muzanni adalah (seorang yang) tsiqqah (terpercaya), tsabit (terbukti kepakaran/ketsiqahannya), banyak (menghafal dan meriwayatkan) hadits, ahli argumentasi, (dan) ahli fiqih” (Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Tahdzîb al-Tahdzîb, Kairo: Dar al-Kitab al-Islamiy, 1993, juz 1, h. 484)


Dalam riwayat di atas, Imam Bakr al-Muzanni mengambil jarak penilaian antara dirinya dan orang selainnya. Ia melatih dirinya untuk selalu memandang orang lain dengan rasa hormat. Siapa pun yang ia temui, ia akan menganggapnya lebih mulia dan utama. Ia memberikan dua argumentasi untuk hal ini. Pertama, karena ia tahu betul siapa dirinya, dan kedua, karena pengetahuannya terhadap orang lain dipenuhi dengan keragu-raguan.


Penjelasan sederhananya begini. Untuk yang pertama, semua manusia tentu tahu kualitas dirinya sendiri. Misalnya ia pernah berbuat dosa, memiliki banyak aib yang disembunyikan, atau sering melakukan kebohongan. Di lubuk hatinya, manusia tahu semua keburukan itu. Persoalannya, manusia jarang menjadikan pengetahuannya ini, atau “min nafsî ‘alâ yaqîn” (yakin siapa diriku sebenarnya) dalam bahasa Imam Bakr al-Muzanni, sebagai pencegah untuk menghakimi orang lain. Padahal, itu adalah modal besar untuk belajar merendahkan hati agar tidak mudah menghardik dan menghakimi.


Kedua, apa pun yang kita ketahui tentang orang lain, meskipun akrab atau kenal baik, tidak bisa mencapai derajat keyakinan seperti terhadap diri sendiri. Pasti ada ruang keraguan karena kita bukan mereka. Apalagi terhadap orang yang tidak kita kenal sama sekali. Ruang keraguan semakin besar. Artinya, menilai buruk orang lain memiliki resiko yang besar. Karena bagaimanapun juga, kita tidak benar-benar tahu tentang mereka. Bisa jadi di balik citra pelitnya ia gemar bersedekah; bisa jadi di balik kesan tamaknya ia gemar berpuasa.


Salah satu contoh paling terkenal adalah Sayyidina Ali Zainal Abidin. Ketika ia wafat, tidak banyak kerabatnya yang turut berduka karena ia dianggap kikir, meski sebenarnya ia sangat gemar membagi-bagikan hartanya. Kedermawanannya baru terungkap setelah kewafatannya. Penduduk Madinah berkata:


ما فقدنا صدقة السر حتى مات علي بن الحسين


“Kami tidak kehilangan sedekah rahasia (sembunyi-sembunyi) hingga Ali bin al-Husain wafat.” (Imam Ibnu Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Beirut: Dar al-Ihya’ li al-Turats, 1988, juz 2, h. 133)


Sebelumnya banyak orang yang salah paham pada Sayyidina Ali Zainal Abidin, bahkan keluarganya sendiri. Ia dianggap kikir dan gemar mengumpulkan harta. Padahal harta-hartanya digunakan untuk bersedekah di setiap malam secara sembunyi-sembunyi. Untuk lebih jelas tentang kisah ini, bisa dibaca di artikel NU Online lainnya, yang berjudul “Bekas Hitam di Punggung Sayyidina Ali Zainal Abidin”.


Karena itu, Imam Bakr al-Muzanni sangat berhati-hati dalam menilai orang lain. Ia takut terjerumus pada prasangka buruk dan fitnah. Apalagi hal tersebut tidak berdasarkan pengetahuan yang hakiki, hanya sebatas pengetahuan yang ruang keraguannya sangat besar. Dengan alasan ini, setiap kali berpergian, ia tidak pernah memandang buruk orang lain. Semua orang yang ditemuinya, ia pandang sebagai orang yang kedudukannya lebih mulia darinya.


Pertanyaannya, bisakah kita meneladaninya?


Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen