Nasihat Imam Bakr al-Muzani untuk Orang yang Suka Berburuk Sangka
Jumat, 27 Desember 2019 | 11:15 WIB
Muhammad Afiq Zahara
Kolomnis
Dalam kitab Hilyah al-Auliyâ wa Thabaqat al-Ashfiyâ’, Imam Abu Na’im al-Ashbahânî (330-430 H) mencatat sebuah riwayat tentang nasihat Imam Bakr bin Abdullah al-Muzani. Berikut riwayatnya:
حدثنا أبو بكر بن مالك، قال: ثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل، حدثني أبي، حدثني حسين ابن محمد، قال: ثنا سهل بن أسلم، قال: كان بكر بن عبد الله إذا رأي شيخًا، قال: هذا خير منّي، عبد الله فبلي، وإذا رأي شابا، قال: هذا خير مني، ارتكبتُ من الذنوب أكثر مما ارتكب، وكان يقول: عليكم بأمر إن أصبتم أجرتم، وإن أخطأتم لم تأثموا، وإيّاكم وكل أمر، إن أصبتم لم تؤجروا، وإن أخطأتم أثمتم، قيل: ما هو؟ قال: سوء الظن بالناس، فإنكم لو أصبتم لم تؤجروا، وإن أخطأتم أثمتم.
Abu Bakar bin Malik bercerita kepada kami, ia berkata: Abdullah bin Ahmad bin Hanbal menceritakan, (ia berkata): ayahku menceritakan kepadaku, Husein bin Muhammad menceritakan, ia berkata: Sahl bin Aslam bercerita, ia berkata:
“Ketika Bakr bin Abdullah (al-Muzani) melihat orang (yang lebih) tua (darinya), ia berkata: “Orang ini lebih baik dariku. Ia telah menyembah (beribadah kepada) Allah lebih dulu dariku.” Ketika ia melihat orang (yang lebih) muda, ia berkata: “Orang ini lebih baik dariku. Aku telah berbuat dosa lebih banyak darinya.”
(Kemudian) Bakr bin Abdullah al-Muzani berkata: “Berpeganglah kalian pada perkara (amal) yang jika kalian benar, kalian mendapatkan pahala, dan jika kalian salah, kalian tidak mendapatkan dosa. Berhati-hatilah dengan setiap perkara yang jika kalian benar, kalian tidak mendapatkan pahala, dan jika kalian salah, kalian mendapatkan dosa.”
Seseorang bertanya (kepada Bakr al-Muzani): “Apa itu?”
Bakr al-Muzani menjawab: “Prasangka buruk (su’udhan) terhadap manusia. Karena sesungguhnya, meskipun kalian benar, kalian tidak akan mendapatkan pahala, dan jika kalian salah, kalian mendapatkan dosa.” (Imam Abu Na’îm al- al-Ashbahânî, Hilyah al-Auliyâ wa Thabaqat al-Ashfiyâ’, Kairo: Dar al-Hadits, 2009, juz 2, h. 120)
****
Imam Bakr al-Muzani menawarkan cara pandang yang menarik ketika bergaul dengan orang lain. Tidak melulu mulia-hina dan baik-buruk. Apalagi yang dihadapi adalah manusia. Makhluk hidup yang terus berkembang kejiwaannya. Bukan makhluk statis yang berpikir dan berpendapat sama sejak lahir sampai mati. Karenanya, menilai manusia harus menilai seluruhnya. Jikapun harus menilai kesalahannya, nilailah dengan maksud memperbaiki, bukan sekedar menghardik dan mengutuk.
Berprasangka buruk kepada seseorang, menurut Imam Bakr al-Muzani, ialah perbuatan yang harus dihindari. Karena tidak ada gunanya jika dilihat dari sudut pandang pahala, dan sangat dekat dengan dosa. Lebih lagi, ini hanyalah “prasangka” (dhan), bukan fakta yang benar-benar terjadi, sehingga mengandung dua kemungkinan, “benar” dan “salah.” Apalagi jika prasangka buruk itu sudah disebarkan kepada orang lain, tarafnya bisa naik menjadi fitnah jika prasangka itu salah.
Dengan nasihatnya, Imam Bakr al-Muzani hendak menjaga manusia dari merasa lebih baik dari lainnya. Hal ini terlihat dari kebiasaan Imam Bakr al-Muzani yang selalu memandang orang lain lebih baik darinya. Karena seberapa buruknya manusia, pasti mereka pernah berbuat baik.
Kemudian Imam Bakr al-Muzani menjelaskan kebiasannya, bahwa manusia harus menjauhkan dirinya dari berprasangka buruk. Karena prasangka buruk tidak ada gunanya. Benar tak mendapat pahala; salah mendapat dosa. Oleh karena itu, daripada menjadi hamba yang merugi, alangkah baiknya memandang orang lain dengan prasangka baik (husnudhan).
Apalagi, jika kita renungi dalam-dalam, kita tidak selalu bersama dengan orang yang kita nilai buruk tersebut. Bisa jadi dari 24 jam waktunya, ia melakukan sesuatu kebaikan yang kita tidak ketahui. Bisa saja kebaikannya itu lebih banyak dari satu keburukan yang kita nilai seketika, bahkan mungkin lebih banyak dari kebaikan kita. Daripada terjerumus dalam kesombongan diri, kita lebih baik berprasangka baik kepadanya, apalagi jika yang kita tuduh macam-macam adalah orang yang beriman.
Dalam kitab Shaid al-Khâthir, Imam Ibnu al-Jauzi menulis sebuah tema berjudul al-Mu’min wa al-Dzanb (orang beriman dan dosa). Fasal ini menjelaskan bahwa orang beriman tidak mungkin terus-menerus berada dalam dosa (al-mu’min lâ yubâlighu fîdz-dzunûb). (Imam Ibnu al-Jauzi, Shaid al-Khâthir, Kairo: Dar al-Hadits, 2005, h. 99). Artinya, iman akan selalu bersuara di sanubari manusia. Ia akan terus berbisik memulihkan manusia. Hanya saja kelalian dan besarnya syahwat seringkali melirihkan suaranya.
Dalam kitab tersebut, Imam Ibnu al-Jauzi sangat optimis bahwa iman akan mempengaruhi manusia dengan cara yang luar biasa, dan akan semakin membesar ketika perlahan-lahan didengarkan. Imam Ibnu al-Jauzi memberi contoh yang sangat menarik tentang pengaruh iman kepada manusia, yaitu kisah percobaan pembunuhan atas Nabi Yusuf oleh saudara-saudaranya. Ia menulis:
فلمّا خرجوا به إلي الصحراء هموا بقتله بمقتضي ما في القلوب من الحسد. فقال كبيرهم: لَا تَقْتُلُوا يُوسُفَ وَأَلْقُوهُ فِي غَيَابت الْجُبِّ. ولم يرد أن يموت بل يلتقطه بعض السيارة, فأجابوا إلي ذلك
“Ketika mereka keluar membawa Yusuf ke padang pasir, mereka berkeinginan membunuhnya karena kedengkian yang ada di hati mereka. Kemudian saudara tertua mereka berkata (QS. Yusuf: 10): “Janganlah kalian membunuh Yusuf, masukanlah saja dia ke dalam sumur.” Ia tidak ingin Yusuf mati, tapi (berharap) sebagian kelompok musafir yang melintas akan memungutnya, dan saudara-saudara lainnya setuju pada usulan saudara tertua mereka itu.” (Imam Ibnu al-Jauzi, Shaid al-Khâthir, Kairo: Dar al-Hadits, h. 99)
Dalam pandangan Imam Ibnu al-Jauzi, hal itu terjadi karena adanya iman yang muncul sesuai dengan kekuatan diri seseorang. Artinya, selama orang itu beriman (muslim) potensi berbuat baik dan menjadi baiknya sangat besar. Dalam melakukan dosa pun, hatinya terombang-ambing antara konsisten terhadap rencana awal atau tidak, seperti yang terjadi pada saudara-saudara Yusuf (baca QS. Yusuf: 9-11).
Di sinilah terjadi pertarungan antara kedengkian dan kekuatan iman. Meskipun mereka tetap melakukannya, paling tidak perbuatannya tidak sekejam yang direncanakan. Inilah salah satu contoh cara mengambil sisi baik dari perbuatan buruk orang lain. Perbuatan buruk yang sudah benar-benar terjadi (kisah saudara-saudara Yusuf), bukan sekedar prasangka yang kebenarannya masih belum pasti.
Wallahu a’lam bish-shawwab....
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Terpopuler
1
Arus Komunikasi di Indonesia Terdampak Badai Magnet Kuat yang Terjang Bumi
2
PBNU Nonaktifkan Pengurus di Semua Tingkatan yang Jadi Peserta Aktif Pilkada 2024
3
Pergunu: Literasi di Medsos Perlu Diimbangi Narasi Positif tentang Pesantren
4
Kopdarnas 7 AIS Nusantara Berdayakan Peran Santri di Era Digital
5
Cerita Muhammad, Santri Programmer yang Raih Beasiswa Global dari Oracle
6
BWI Kelola Wakaf untuk Bantu Realisasi Program Pemerintah
Terkini
Lihat Semua