Hikmah

Kebingungan Imam Ibnu Wahb karena Hafal Banyak Hadits

Rab, 27 Maret 2019 | 09:30 WIB

Kebingungan Imam Ibnu Wahb karena Hafal Banyak Hadits

Ilustrasi (via wejdan.org)

Dalam kitab Tartîb al-Madârik wa Taqrîb al-Masâlik karya Qâdi ‘Iyâd (w. 544 H) tercatat pernyataan kebingungan Imam Abdullah bin Wahb (w. 197 H):

وكنت أنا آتي مالك وهو شاب قوي، يأخذ كتابي فيقرأ منه، وربما وجد فيه الخطأ فيأخذ خرقة بين يديه فيبلها في الماء فيمحوه، ويكتب لي الصواب. قال ابن وهب: لولا أن الله أنقذني بمالك والليث لضللت. فقيل له: كيف ذلك؟ قال: أكثرت من الحديث فحيرني. فكنت أعرض ذلك على مالك والليث، فيقولان لي: خذ هذا ودع هذا

Aku mendatangi Malik, seorang pemuda luar biasa. Dia mengambil bukuku dan membacanya. Ketika dia menemukan kesalahan di dalamnya, dia mengambil kain di antara tangannya lalu menyelubkannya ke dalam air dan menghapusnya. Dia pun mencatatkan untukku apa yang benar.

Ibnu Wahb berkata: “Jika saja Allah tidak menyelamatkanku melalui perantara Malik dan al-Laitsi, aku pasti telah sesat.”

Kemudian dikatakan kepadanya: “Kenapa bisa begitu?”

Ibnu Wahb menjawab: “Aku hafal banyak hadits hingga membuatku bingung. Lalu kusampaikan kebingunganku kepada Malik dan al-Laitsi. Keduanya berkata kepadaku: “Ambil ini dan tinggalkan yang ini.” (Abû al-Fadl al-Qâdi ‘Iyâd bin Mûsâ, Tartîb al-Madârik wa Taqrîb al-Masâlik, Mohammedia (Marokko): Mathba’ah Fadlalah, tt, juz 3, hlm 236)

****

Abdullah bin Wahb adalah ulama terkemuka. Murid dari ulama-ulama besar seperti Sufyan al-Tsauri (97-161 H), Sufyan bin ‘Uyainah (107-198 H), al-Laits bin Sa’d (94-175 H), Malik bin Anas (93-179 H) dan lain sebagainya. Ia juga menghasilkan banyak murid luar biasa seperti Sa’id bin Manshur (w. 227 H), Ali bin al-Madini (161-234 H), Qutaibah bin Sa’id (150-240 H), dan masih banyak murid lainnya.

Para ulama sangat menghormatinya. Ia dikenal sebagai ahli fiqih dan hadits yang mumpuni. Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan hadits darinya. Kejujuran dan keilmuannya tidak diragukan sehingga membuat hadits-hadits yang disampaikannya berkedudukan tinggi. Imam Yahya bin Ma’in (w. 233 H) dan Imam al-Nasa’i (w. 303 H) mengatakan, “Ibn Wahb tsiqqah—Ibnu Wahb terpercaya.” Imam Abu Hatim al-Razi (w. 277 H) memberinya predikat sangat terpercaya. Menurut Imam Ahmad bin Shalih, Ibnu Wahb hafal ratusan ribu hadits. ((Abû al-Fadl al-Qâdi ‘Iyâd bin Mûsâ, Tartîb al-Madârik wa Taqrîb al-Masâlik, juz 3, hlm 232)

Jika seorang Ibnu Wahb yang hafal ratusan ribu hadits dan belajar agama secara tradisional (berjenjang) masih terserang kebingungan dalam memahami agama, bagaimana dengan kita yang mempelajari agama sepotong-potong. Hanya bermodalkan satu hadits sudah berani menyalahkan dan menghakimi lainnya. Padahal, bangunan hukum tidak cukup hanya mengandalkan satu hadits saja.

Contohnya hadits, “lahm al-baqar dâ’un—daging sapi adalah penyakit.” Hadits ini dipandang bermasalah oleh banyak ulama meskipun dipandang shahih oleh Syekh al-Albani (w. 1999 M). Salah satu kritik datang dari Syekh Muhammad al-Ghazali (w. 1996 M) yang mengatakan:

وفي هذه الأيام صدر تصحيح من الشيخ الألباني لحديث "لحم البقر داء", وكل متدبر للقرآن الكريم يدرك أن الحديث لا قيمة له, مهما كان سنده. إن الله تعالي في موضعين من كتابه أباح لحم البقر, وامتنّ به علي الناس, فكيف يكون داءً؟

“Akhir-akhir ini telah muncul penshahihan dari Syekh al-Albani terhadap hadits “daging sapi adalah penyakit.’ Padahal, setiap orang yang mencermati Al-Qur’an akan tahu bahwa hadits tersebut tidak ada nilainya, bagaimanapun keadaan sanadnya. Sesungguhnya Allah, dalam dua tempat di kitabNya menghalalkan daging sapi dan mengaruniakannya kepada manusia, maka bagaimana mungkin daging sapi adalah penyakit?” (Syekh Muhammad al-Ghazali, al-Sunnah al-Nabawiyyah bain Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits, Kairo: Darul Kitab al-Mishr, 2011, hlm 22)

Dua tempat dalam kitabNya yang dimaksud Syekh Muhammad al-Ghazali adalah Surah Al-An’am ayat 142-144 dan Al-Hajj ayat 36. Surah Al-An’am 142-144 berisi keterangan bahwa binatang ternak itu ada dua macam; untuk pengangkutan dan disembelih. Kemudian Allah memerintahkan manusia agar memakan rizki halal yang dikaruniakan Allah kepada mereka termasuk di dalamnya domba, kambing, unta, sapi dan seterusnya. Surah berikutnya, Al-Hajj ayat 36 berisi tentang penjelasan bahwa Allah telah menjadikan hewan-hewan al-budn sebagai bagian dari syiarnya dan manusia memperoleh kebaikan darinya, serta perintah menyebut nama Allah ketika menyembelihnya. Maksud dari hewan-hewan al-budn adalah unta, sapi, dan kerbau.

Ini baru contoh kecil saja, belum memasuki aspek metodelogi yang lebih kompleks. Kita perlu hati-hati membaca terjemahan ayat atau hadits, karena teks asli dengan terjemahan itu tidak setara. Terjemahan Al-Qur’an tidak bisa lepas dari pemaknaan mufassir. Sedangkan satu mufassir dengan mufassir lainnya bisa berbeda dalam memaknainya, bahkan di kalangan sahabat nabi pun terjadi perbedaan itu.

Maka, seperti yang dilakukan Imam Abdullah bin Wahb, kita harus mendengar dan membaca pandangan para pakar yang benar-benar ahli di bidangnya. Seorang Ibnu Wahb saja kebingungan untuk memilih mana hadits yang harus diamalkan karena bermacam-macamnya tipe hadits. Terkadang, di hadits yang bertema sama, satunya bersifat ‘amm (umum), satunya bersifat khas (khusus). Belum lagi jika terjadi ta’ârudl bainal adillah (kontradiksi antar dalil), yang menurunkan sekian banyak konsep penyelesaiannya, dari mulai al-jam’u bainahumâ (dikompromikan antara keduanya) sampai nashul mutaqaddim bil muta’ahhir (menghapus yang lebih dulu dengan yang belakangan). Lalu ada al-nash wal mansûh dan seterusnya.

Karena itu, ia bertanya kepada Imam Malik dan Imam al-Laitsi, dua orang mujtahid besar tentang hadits-hadits yang dihafalnya. Dalam gambaran ringkas, Imam Malik dan Imam al-Laistsi menjawab: “ambil ini, dan tinggalkan yang ini.” Artinya, terjadi proses belajar-mengajarnya yang panjang. Apa yang dikemukakan di atas adalah gambaran sederhana dari proses panjang itu. Sebab, untuk bisa mengatakan, “ambil ini dan tinggalkan yang ini,” Imam Malik dan Imam al-Laitsi harus terlebih dahulu mendengarkan puluhan ribu hadits yang dihafal Ibnu Wahb, agar hadits-hadits itu dapat diukur dengan standar metodelogi yang dipakai keduanya. Sejak saat itu, ia menjadi murid Imam Malik yang sangat berpengaruh dalam penyebaran Mazhab Maliki. Ia tidak lagi sekedar ahli hadits, tapi juga ahli fiqih seperti gurunya.

Riwayat di atas menunjukkan pentingnya belajar agama secara berkala pada guru yang jelas sanad keilmuannya. Karena itu, kita harus tetap berpegang teguh pada tradisi beragama yang ditinggalkan para salafus shalih, yaitu beragama dengan ilmu, belajar secara berjenjang, serta selalu memohon petunjuk Allah agar dimudahkan mengamalkan ilmu yang telah dipelajari. Semoga kita bisa terus melestarikannya. Amin.

Semoga bermanfaat....


Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.