Ilmu Tauhid

Pandangan Ulama terhadap Kedudukan Manusia dan Malaikat

Sen, 26 April 2021 | 05:30 WIB

Pandangan Ulama terhadap Kedudukan Manusia dan Malaikat

Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya' Ulumiddin menjelaskan bahwa level manusia itu berada di antara malaikat dan hewan. Lebih mulia dari hewan dan lebih rendah dari bangsa malaikat. (Foto: NU Online)

Secara potensial, Allah swt telah menciptakan tiga makhluk; malaikat, manusia dan hewan. Ketiganya memiliki persamaan sekaligus perbedaan. Persamaannya, ketiganya sama-sama sebagai makhluk Allah swt. Sementara perbedaannya terletak pada potensi yang dimiliki oleh masing-masing ketiganya.


Allah swt hanya memberikan potensi akal kepada malaikat, tidak punya nafsu. Sehingga wajar jika malaikat sangat patuh kepada Allah swt, karena memang tidak punya kepentingan terhadap dirinya. Sementara manusia, memiliki akal dan nafsu. Dengan begitu, nafsu lah yang menjadi tantangan ketaatan terhadap Tuhannya.


Sedangkan hewan, hanya memiliki nafsu, tanpa akal. Oleh karena itu, hewan tidak memiliki beban syari’at (taklif). Karena yang menjadi tolak ukur taklif adalah akal. Jika tidak memiliki akal, maka taklif tidak berlaku.


Berikutnya adalah, antara malaikat dan manusia, lebih mulia siapa? Apakah malaikat yang tidak memiliki nafsu dan mempunyai loyalitas ibadah total kepada Tuhannya. Atau sebaliknya? Manusia lebih mulia daripada malaikat, karena memiliki potensi nafsu dalam dirinya. Dengan nafsu itu, maka menjadi beban sekaligus tantangan untuk menjaga loyalitas ibadah kepada Allah swt. Apakah beban itu menjadi nilai plus bagi manusia?


Syekh Syihabuddin al-Qastalani (w. 923 H), ulama kebangsaan Mesir bermadzhab Syafi’i, dalam kitab Al-Mawahib al-Ladunniyah (juz 3, hal. 130-131) menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat, antara siapa yang lebih mulia. Apakah malaikat atau manusia. Sebagian ulama berpendapat bahwa malaikatlah yang lebih mulia, sebagian yang lain berpendapat sebaliknya.


Menurut al-Qastalani, kelompok yang berpendapat bahwa malaikat lebih mulia daripada manusia adalah dari kalangan Mu’tazilah, para Pakar Filsafat, dan sebagian ulama kalangan Asya’irah. Pendapat ini dipilih oleh AL-Qadli Abi Bakar al-Babqillani (w. 1013 M) dan Abu Abdillah al-Halimi (w. 403 H).


Ada beberapa dasar yang menjadi landasan argumen mereka. Berikut beberapa di antaranya.


Pertama, malaikat adalah makhluk yang hanya berupa ruh tanpa jasad. Sehingga terhindar dari nafsu (syahwat), amarah, dan keburukan-keburukan lainnya.


Tampaknya, Al-Ghazali sepakat dengan poin ini. Dalam magnum opusnya, kitab Ihya ‘Ulumiddin menjelaskan bahwa level manusia itu berada di antara malaikat dan hewan. Lebih mulia dari hewan dan lebih rendah dari bangsa malaikat. Berikut penjelasan Al-Ghazali,


والإنسان رتبته فوق رتبة البهائم لقدرته بنور العقل على كسر شهوته ودون رتبة الملائكة لاستيلاء الشهوات عليه وكونه مبتلى بمجاهدتها، فكلما انهمك في الشهوات انحط إلى أسفل السافلين والتحق بغمار البهائم، وكلما قمع الشهوات ارتفع إلى أعلى عليين والتحق بأفق الملائكة.


Artinya, “Level manusia itu berada di atas hewan karena dengan cahaya akal yang dimilikinya mampu menaklukan syahwat. Akan tetapi di bawah level malaikat karena memiliki syahwat dan diuji untuk menaklukannya.”


“Jika ia terbuai oleh syahwatnya, levelnya akan turun setara dengan hewan. Sebaliknya, jika mampu menghancurkan syahwatnya, makan levelnya akan naik setinggi-tingginya bersama golongan para malaikat.” (Ihya ‘Ulumiddin, juz , hal. 236)


Kedua, para nabi, sebagai level manusia tertinggi dalam strata manusia, mereka belajar kepada para malaikat. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah swt. berikut,


عَلَّمَهُۥ شَدِيدُ ٱلۡقُوَىٰ  


Artinya, “Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.” (QS. An-Najm [53]: 5)


Jelas, antara orang yang mengajar, dalam hal ini malaikat, dengan yang diajar, yaitu para nabi (manusia), lebih utama yang mengajar.


Ketiga, dalam al-Quran dan hadits, penyebutan malaikat selalu lebih dulu daripada manusia. Seperti pada pada hadits berikut,

 

خُلِقَتْ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُم

 

Artinya, “Malaikat itu diciptakan dari cahaya, sementara jin diciptakan dari nyala api, dan Adam diciptakan dari apa yang telah dijelaskan pada kalian semua.”


Dari sini dapat dipahami, bahwa yang didahulukan (malaikat) berarti lebih mulia daripada yang didahului (manusia).

 

Sementara pendapat yang mengatakan manusia lebih mulia dibanding malaikat memiliki beberapa argumen yang juga sekaligus menyanggah argumen pendapat pertama. Syekh Syihabuddin al-Qastalani dalam kitab Al-Mawahib al-Ladunniyah (juz 3, hal. 130-131) memilih pendapat ini. Berikut beberapa landasan argumennya.


Pertama, manusia memiliki dua potensi dalam dirinya, yaitu akal dan nafsu. Dengan nafsu yang dimilikinya, akan memiliki nilai perjuangan lebih dalam menjalani ketaatan kepada Allah swt. Karena nafsu adalah pintu utama masuk setan untuk menggoda manusia.


Lain lagi dengan malaikat yang hanya dikaruniai akal tanpa nafsu. Wajar saja jika malaikat ibadahnya lebih loyal dibanding manusia. Sederhananya, perjuangan ibadah manusia lebih berliku daripada malaikat. Ini menyanggah argumen poin pertama.


Kedua, meskipun malaikat mengajari para nabi, tetapi sejatinya bukan malaikat yang mengajari. Melainkan Allah swt. Ini menyanggah argumen poin kedua.


Ketiga, penyebutan malaikat lebih didahulukan daripada manusia, bukan karena prioritas; yang didahulukan lebih mulia. Tapi karena memang malaikat lebih dahulu diciptakan daripada manusia. Allah mendahulukan penyebutan makhluk yang lebih dahulu diciptakan-Nya. Ini menyanggah argumen poin ketiga.


Memperkuat pendapat kedua (manusia lebih mulia dibanding malaikat), Syekh Syihabuddin al-Qastalani mengutip pendapat Syekh Sa’dudin al-Taftazani (w. 1390 M). Menurutnya, dalam Al-Qur’an Allah swt memerintahkan malaikat untuk bersujud pada Adam sebagai bentuk penghormatan. Jelas, antara yang disujudi lebih mulia daripada yang bersujud. Berikut redaksinya,


بالإجماع, بل بالضرورة- و عوام بني أدم أفضل من عوام الملائكة. فالمسجود له أفضل من الساجد


Artinya, “Sudah menjadi kesepakatan, bahkan sebuah keniscayaan, kalangan awam dari manusia lebih mulia dari kalangan awam golongan malaikat. Manusia sebagai yang disujudi lebih mulia daripada malaikat yang mensujudinya.” (Al-Mawahib al-Ladunniyah, juz 3, hal. 129)


Muhammad Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon