Syariah

Hukum Batalkan Shalat Jumat karena Kehujanan

Sab, 17 November 2018 | 08:30 WIB

Hukum Batalkan Shalat Jumat karena Kehujanan

Shalat Jumat saat musim hujan memungkinkan seseorang menemui kendala di tengah-tengah shalat, salah satunya adalah kehujanan. (Ilustrasi: ibtimes.co.uk)

Musim kemarau telah lewat, pertanda sebagian besar bumi di Nusantara bakal sering diguyur hujan. Hujan sebagaimana difirmankan Allah adalah rahmat untuk sekalian alam. Dalam firman-Nya, Allah menegaskan bahwa turunnya hujan merupakan salah satu yang menunjukkan kasih sayang Allah kepada manusia.
 
Hujan bukan menjadi halangan untuk menjalankan ibadah. Namun problem terkadang muncul saat hujan melanda dengan begitu deras di tengah-tengah pelaksanaan shalat Jumat bagi jamaah yang shalat di luar masjid, mengingat daya tampung masjid yang tidak cukup memadai. Pertanyaannya adalah, saat kondisi kehujanan tersebut, bolehkah mereka membatalkan shalat Jumatnya? Jika tidak boleh, apa yang harus mereka lakukan?. 
 
Pada dasarnya, memutus ibadah wajib tanpa ada uzur, termasuk shalat Jumat hukumnya haram. Syekh Muhammad bin Salim bin Sa’id Babashil mengatakan:
 
ومنها (قطع الفرض) أداء كان أوقضاء ولو موسعا وصلاة كان أو غيرها كحج وصوم واعتكاف بأن يفعل ما ينافيه لأنه يجب إتمامه بالشروع فيه لقوله تعالى ولا تبطلوا أعمالكم ومن المنافي أن ينوي قطع الصلاة التي هو فيها ولو إلى صلاة مثلها 
“Di antara makshiat badan adalah memutus ibadah fardlu, baik ada’ atau qadla’, meski ibadah yang dilapangkan waktunya, baik ibadah shalat atau lainnya seperti haji, puasa dan i’tikaf. Memutus ibadah fardlu maksudnya dengan sekira melakukan perkara yang merusaknya, sebab ibadah fardlu wajib disempurnakan ketika sudah berlangsung pelaksanaannya, berdasarkan firman Allah Swt, dan janganlah kalian membatalkan amal-amal kalian. Termasuk perkara yang merusak shalat adalah niat memutus shalat yang tengah dilakukan, meski berpindah niatnya menuju shalat yang lain. (Syekh Muhammad bin Salim bin Sa’id Babashil, Is’ad al-Rafiq, hal. 121).
 
Begitu pentingnya menjaga diri untuk tetap bertahan di dalam shalat, syariat melarang membatalkan shalat saat di tengah shalat terdapat dlaruat seperti kebakaran, perang berkecamuk atau yang sejenis. Dalam kondisi yang demikian, kewajibannya adalah shalat dengan cara syiddah al-khauf, yaitu shalat dalam kondisi yang paling memungkinkan, sambil lari, membelakangi kiblat atau melakukan gerakan-gerakan berat sekalipun, sesuai dengan kebutuhannya.
 
Syekh Zainuddin al-Malibari mengatakan:
 
ـ (وخامسها استقبال ) عين ( القبلة ) أي الكعبة بالصدر فلا يكفي استقبال جهتها خلافا لأبي حنيفة رحمه الله تعالى ( إلا في ) حق العاجز عنه وفي صلاة ( شدة خوف ) ولو فرضا فيصلي كيف أمكنه ماشيا وراكبا مستقبلا أو مستدبرا كهارب من حريق وسيل وسبع وحية ومن دائن عند إعسار وخوف حبس
“Yang kelima adalah menghadap tepat ke kiblat, yaitu Ka’bah. Maka tidak cukup menghadap arahnya saja, berbeda menurut pendapat Abu Hanifah. Kecuali bagi orang yang tidak mampu menghadap kiblat dan dalam shalat syiddah al-khauf, meski shalat fardlu, maka cukup shalat dengan kondisi semampunya, berjalan dan menaiki kendaraan, menghadap atau membelakangi kiblat, seperti orang yang lari dari kebakaran, kebanjiran, binatang buas, ular, orang yang memiliki hak piutang ketika tidak mampu membayar dan khawatir dipenjara”. (Syekh Zainuddin al-Malibari, Fath al-Mu’in Hamisy I’anah al-Thalibin, juz 1, hal. 145).
 
Dalam komentarnya atas referensi di atas, Syekh Abu Bakr bin Syatha mengatakan:
 
ـ (قوله: وفي صلاة شدة خوف) أي في قتال مباح، كقتال المسلمين للكفار، وقتال أهل العدل للبغاة، وما ألحق به، كهرب من حريق وسيل وسبع وحية.
“Ucapan Syekh Zainuddin, dan dalam shalat syiddah al-Khauf, maksudnya di dalam peperangan yang mubah, seperti perang menghadapi pasukan non muslim, perang melawan para pemberontak dan yang disamakan dengan hal-hal tersebut, seperti lari dari kebakaran, kebanjiran, binatag buas dan ular. (Syekh Abu Bakr bin Syatha, I’anah al-Thalibin, juz 1, hal. 145).
 
Berkaitan dengan hujan yang melanda di tengah shalat, menurut Syekh Abdul Hamid al-Syarwani, bila hujan dikhawatirkan dapat merusak harta, misalkan seperti peci, smartphone, maka diperbolehkan melakukan shalat syiddah al-khauf, shalat sambil lari mencari tempat berteduh, setelah menemukan tempat yang teduh, kemudian menjalankan shalat dengan normal.
 
Syekh Abdul Hamid al-Syarwani mengatakan:
 
أقول ويؤخذ من قولهم المذكور أيضا أنه لو جاء نحو المطر في الصلاة على نحو كتابه جازت له صلاة شدة الخوف إذا خاف ضياعه حتى على مرضى الشارح فيمن أخذ ماله الخ لأنه خائف هنا كما مر
“Aku berkata, diambil dari ucapan para ulama yang telah disebutkan, bahwa bila datang semisal hujan di tengah shalat mengenai kitabnya, boleh melakukan shalat syiddah al-khauf bila khawatir tersia-sia, meski mengikuti pola yang diterima sang pensyarah dalam kasus orang yang diambil hartanya, karena dalam kondisi hujan yang mengenai kitab ini, seseorang disebut orang yang khawatir seperti keterangan yang telah lewat”. (Syekh Abdul Hamid al-Syarwani, Hasyiyah al-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, juz 3, hal. 16).
 
Dalam pandangan yang lain, sebagian ulama membolehkan untuk memutus shalat ketika kekhusyukan seseorang hilang dikarenakan menahan kencing di tengah shalat. Bila dikontekstualisasikan dalam masalah ini, hujan deras yang menghujam, besar kemungkinan dapat membuyarkan konsentrasi jamaah dalam pelaksanaan shalat Jumat. Persoalan kehujanan di tengah shalat bisa kita analogikan dengan permasalahan shalat menahan kencing dengan titik temu keduanya dapat menyebabkan buyarnya ketenangan.
 
Syekh Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan:
 
ـ (والصلاة حاقنا) بالنون أي بالبول (أو حاقبا) بالباء أي بالغائط أو حاذقا أي بالريح للخبر الآتي ولأنه يخل بالخشوع بل قال جمع إن ذهب به بطلت الى أن قال وجوز بعضهم قطعه لمجرد فوت الخشوع به وفيه نظر 
“Dan makruh shalat menahan kencing dan buang air besar atau menahan kentut, karena hadits yang telah lewat dan dapat merusak kekhusyukan, bahkan sekelompok ulama berpendapat, bila hilang kekhusyukan, maka batal shalatnya.  Sebagian ulama membolehkan memutus halat karena hilangnya kekhusyukan, dan pendapat ini perlu dikaji ulang. (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, Juz 1, hal. 238)
 
Simpulannya, bila mengikuti pendapat yang kuat, membatalkan shalat Jumat saat kehujanan di tengah shalat hukumnya haram. Dan apabila khawatir rusaknya harta yang dipakai atau yang dibawa, kewajibannya adalah shalat dengan cara yang paling memungkinkan, bisa sambil berjalan untuk mencari tempat yang teduh, kemudian melanjutkan shalat secara normal. Hanya, bila cara tersebut tidak memungkinkan, bisa mengikuti pendapat sebagian ulama yang membolehkan untuk membatalkan shalat saat kondisi kehujanan dapat menghilangkan kekhusyukan, untuk kemudian mencari tempat yang memungkinkan untuk menyusul mengikuti Jumatan. Wallahu a’lam.
 
(M. Mubasysyarum Bih)