Khutbah

Khutbah Jumat: Takutlah Kaya, Jangan Takut Miskin!

Kam, 11 Februari 2021 | 14:00 WIB

Khutbah Jumat: Takutlah Kaya, Jangan Takut Miskin!

Khutbah Jumat kali ini mengingatkan jamaah bahwa kekayaan atau kemiskinan sama-sama bisa menimbulkan maslahat dan mudarat, bagi diri sendiri atau orang lain.

Teks khutbah Jumat berikut ini berpesan bahwa fitnah dan malapetaka bagi manusia tak bersumber secara mutlak dari kekayaan, begitu juga dari kemiskinan. Semuanya kembali pada sikap mereka terhadap keduanya.

Dalam khutbah ini, jamaah juga diajak merenungi dan meneladani sikap ulama-ulama terdahulu dalam menghadapi kekayaan maupun kemiskinan. Mereka sadar tentang potensi positif dan potensi negatif di balik kekayaan dan kemiskinan, dan mereka memilih jalan yang maslahat di antara keduanya.

 

Teks khutbah Jumat ini berjudul "Takutlah Kaya, Jangan Takut Miskin!". Untuk mencetak naskah khutbah Jumat ini, silakan klik ikon print berwarna merah di atas atau bawah artikel ini (pada tampilan dekstop). Semoga bermanfaat! (Redaksi)

 


 

Khutbah I

 

اَلْحَمْدُ للهِ الْمَوْجُوْدِ أَزَلًا وَأَبَدًا بِلَا مَكَانٍ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ الْأَتَمَّانِ الْأَكْمَلَانِ، عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ سَيِّدِ وَلَدِ عَدْنَانَ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ، أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ.

أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْقَدِيْرِ الْقَائِلِ فِيْ مُحْكَمِ كِتَابِهِ: زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ * قُلْ أَؤُنَبِّئُكُم بِخَيْرٍ مِن ذَلِكُمْ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا عِندَ رَبِّهِمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَأَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللهِ وَاللهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ (ءال عمران: ١٤-١٥)

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Dari atas mimbar khatib berwasiat kepada kita semua, terutama kepada diri khatib pribadi, untuk senantiasa berusaha meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan cara melaksanakan semua kewajiban dan menjauhkan diri dari seluruh yang diharamkan.

 

Kaum Muslimin rahimakumullah,

Dalam kesempatan yang mulia pada siang hari ini, khatib akan menyampaikan khutbah dengan tema: “Takutlah Kaya, Jangan Takut Miskin!”.

 

Hadirin rahimakumullah,

Mengawali khutbah ini, khatib akan membacakan makna dari dua ayat yang kami baca dalam mukadimah khutbah di atas. Makna dua ayat tersebut adalah: “Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan bagi Allah-lah tempat kembali yang baik. Katakanlah, “Maukah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?” Bagi orang-orang yang bertakwa tersedia bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan pasangan-pasangan yang suci, serta ridla Allah. Dan Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya.” (QS Ali ‘Imran: 14-15)

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ للرَّجُلِ الصَّالِحِ (أوْرَدَهُ الْهَيْتَمِيُّ في زوائِدِ ابنِ حِبّانَ)

 

Maknanya: “Harta yang baik adalah milik seseorang yang shalih” (Disebutkan oleh al Haitsami dalam Zawa’id Ibn Hibban).

 

Artinya, harta yang halal yang digunakan dan dibelanjakan oleh seorang Muslim pada jalan yang diridlai oleh Allah ta’ala dan ditujukan untuk memenuhi hak-hak Allah adalah nikmat agung yang Ia anugerahkan kepada hambanya yang Mukmin.

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Diriwayatkan dari sahabat ‘Amr bin ‘Auf al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus sahabat Abu ‘Ubaidah bin Jarrah radhiyallahu ‘anhu ke negeri Bahrain untuk mengambil harta jizyah. Lalu Abu ‘Ubaidah kembali ke Madinah dengan membawa harta dari negeri Bahrain. Kedatangan Abu ‘Ubaidah ini didengar oleh Kaum Anshar bertepatan dengan saat shalat Shubuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Usai shalat, beliau segera pergi namun mereka berkerumun menghampirinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersenyum melihat mereka seraya berkata: “Aku kira kalian telah mendengar bahwa Abu ‘Ubaidah telah tiba dengan membawa sesuatu.” Mereka berkata: “Benar wahai Rasulullah.” Beliau lantas bersabda: “Bergembiralah dan bercita-citalah dengan apa yang dapat membuat kalian berbahagia.” Beliau melanjutkan sabdanya:

 

فَوَ اللهِ مَا الفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلكِنِّي أَخْشَى أن تُبْسَطَ الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوْهَا كَمَا تَنَافَسُوْهَا فتُهْلِكَكُمْ كما أهلَكَتْهُمْ (مُتّفَقٌ عَلَيْهِ)

 

“Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan dari kalian. Akan tetapi yang aku khawatirkan atas kalian adalah bila kalian telah dilapangkan harta dunia sebagaimana telah dilapangkan kepada orang-orang sebelum kalian. Lalu kalian bersaing memperebutkannya sebagaimana mereka bersaing memperebutkannya sehingga harta dunia itu membinasakan kalian sebagaimana telah membinasakan mereka.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

 

Hadirin rahimakumullah,

Pada umumnya, seorang ayah di akhir hayatnya akan sangat mengkhawatirkan kemiskinan pada anak-anaknya. Tapi tidak dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibarat ayah bagi umatnya, beliau sama sekali tidak mengkhawatirkan kemiskinan dan kefakiran pada umatnya. Padahal beliau sangat mencintai umatnya. Yang beliau khawatirkan justru sebaliknya. Rasulullah mengkhawatirkan kekayaan dan kelapangan harta pada umatnya.

 

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bari menjelaskan bahwa hal itu disebabkan mudarat kefakiran lebih ringan daripada mudarat kekayaan. Bahaya yang ditimbulkan kefakiran pada umumnya berkaitan dengan keduniaan. Sedangkan bahaya yang diakibatkan kekayaan biasanya berkaitan dengan agama. Mudarat dalam agama jelas lebih berat daripada mudarat keduniaan.

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Harta adalah sesuatu yang menggiurkan bagi banyak orang. Lebih-lebih bagi pemiliknya. Dengan sebab harta yang melimpah, seseorang kemungkinan besar akan tergoda untuk melakukan berbagai hal yang disenangi hawa nafsunya. Dan yang disenangi hawa nafsu pada umumnya adalah perkara yang dilarang oleh agama.

 

Harta juga memicu persaingan untuk memperebutkannya. Akibat persaingan memperebutkan harta, antarkerabat atau antarteman bisa saling membunuh. Perebutan harta juga seringkali menjadikan seorang anak kalap lalu mengusir orang tua kandungnya, menuntutnya di pengadilan dan memenjarakannya. Akibat perebutan harta, seringkali orang lupa diri dan tidak menyadari bahwa sebenarnya harta tidak dibawa mati.

 

Hadirin rahimakumullah,

Jika kita cermati dengan seksama, baik kemiskinan ataupun kekayaan, keduanya bisa jadi sumber fitnah dan bencana. Namun di sisi yang lain juga bisa menjadi sumber kemaslahatan serta ladang pahala. Tergantung bagaimana seseorang menyikapi dan menghadapinya.

 

Sebagian orang kaya, kekayaan adalah sumber bencana dan fitnah yang mengalirkan dosa bagi mereka. Dengan kekayaan yang mereka miliki, mereka menyombongkan diri di hadapan orang lain. Dan sebagian orang kaya menggunakan kekayaan mereka untuk berbuat baik dan mengumpulkan bekal untuk kehidupan abadi di akhirat.

 

Begitu pula dengan kefakiran. Sebagian orang ketika ditimpa kefakiran, mereka mencuri dan melakukan perbuatan-perbuatan dosa lainnya. Bagi mereka, kefakiran menjadi sebab kesengsaraannya di akhirat. Sebaliknya sebagian orang fakir menghadapi kefakirannya dengan penuh kesabaran. Sifat sabar inilah yang mengekang nafsu mereka untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan. Bagi mereka inilah, kefakiran yang menimpa bermanfaat di akhirat dan menjadi ladang pahala.

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Sebagian besar nabi dan wali adalah orang-orang fakir. Sangat sedikit di antara mereka yang dianugerahi kekayaan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Bahkan Rasulullah mengabarkan kepada kita bahwa sebagian besar penduduk surga adalah orang-orang fakir dalam sabdanya:

 

اطَّلَعْتُ فِي الجَنَّةِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا الفُقَرَاءَ (رَوَاهُ الْبُخَارِيّ وَمُسْلِمٌ)

 

Maknanya: “Aku melihat di surga, dan aku lihat kebanyakan penduduknya adalah orang-orang fakir” (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

 

يَدْخُلُ فُقَرَاءُ الْمُهَاجِرِينَ الْجَنَّةَ قَبْلَ أَغْنِيَائِهِمْ بِسَبْعِينَ خَرِيفًا (رَوَاهُ أَبُو نُعَيْمٍ فِي حِلْيَةِ الْأَوْلِيَاءِ)

 

Maknanya: “Orang-orang fakir di kalangan Muhajirin akan memasuki surga terlebih dahulu sebelum orang-orang kaya di kalangan mereka dengan selisih waktu 70 tahun” (HR Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’).

 

Hadirin rahimakumullah,

Jika seseorang dijadikan fakir, hendaklah ia meneladani sahabat Abu Hurairah yang kemiskinannya tidak menjadikannya lemah semangat dalam menimba ilmu kepada Rasulullah dan menghadiri majelis-majelis ilmu. Bahkan beliau adalah sahabat Nabi yang paling banyak meriwayatkan hadits. Begitu fakirnya Abu Hurairah, sampai-sampai pernah pingsan karena kelaparan. Begitu juga Uwais bin ‘Amir al-Qarani yang merupakan sebaik-baik tabiin. Begitu miskinnya hingga keinginannya bertemu dan menimba ilmu langsung dari Rasulullah tidak terpenuhi. Padahal beliau hidup semasa dengan Rasulullah. Beliau di Yaman dan Rasulullah di Madinah. Karena baktinya kepada ibu kandungnya dan cinta serta rindunya yang begitu mendalam kepada Rasulullah, melalui wahyu dari Allah, Baginda Nabi bersabda:

 

إِنَّ خَيْرَ التَّابِعِيْنَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ مِنْ مُرادٍ ثُمّ منْ قَرَنٍ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)

 

Maknanya: “Sesungguhnya sebaik-baik tabiin adalah seorang laki-laki yang bernama Uwais bin ‘Amir dari kabilah Murad kemudian kabilah Qaran” (HR Muslim)

 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Jika seseorang dijadikan kaya, hendaklah ia meneladani para sahabat Nabi yang melimpah hartanya seperti sahabat Abu Bakr dan sahabat ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhuma. Harta keduanya diinfakkan di jalan Allah untuk menopang perkembangan dakwah Islam.

 

Terakhir, kami tegaskan bahwa Islam sama sekali tidak melarang seseorang menjadi kaya. Yang dilarang adalah menggunakan kekayaan dalam hal-hal yang dilarang oleh agama.

 

Hadirin jama’ah shalat Jum’at rahimakumullah,

Demikian khutbah singkat pada siang hari yang penuh keberkahan ini. Semoga bermanfaat dan membawa barakah bagi kita semua. Amin.

 

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي القُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِالْحَكِيْمِ، وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

 

Khutbah II

 

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

          أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.

 

Ustadz Nur Rohmad, Pemateri/Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur dan Ketua Bidang Peribadatan & Hukum, Pengurus Daerah Dewan Masjid Indonesia Kab. Mojokerto


Baca naskah Khutbah Jumat lainnya: