Nasional

Amnesti: Hak Presiden, Minim Aturan Teknis

NU Online  ·  Rabu, 27 Agustus 2025 | 13:00 WIB

Amnesti: Hak Presiden, Minim Aturan Teknis

Ilustrasi amnesti hukum. (Foto: NU Online/Freepik)

Jakarta, NU Online

Mantan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer (Noel) berharap mendapatkan amnesti dari Presiden Prabowo Subianto. Peristiwa ini memunculkan sorotan baru terhadap lemahnya fondasi hukum terkait pengampunan di Indonesia. Noel menyampaikan permintaan tersebut secara langsung saat digiring ke mobil tahanan KPK.


"Semoga Pak Prabowo memberi saya amnesti," kata Noel di Gedung Merah Putih KPK, Jumat (22/8/2025).


Namun, yang terjadi kemudian justru sebaliknya. Presiden Prabowo tak menanggapi permintaan tersebut secara terbuka, dan malah mencopot Noel dari jabatannya sebagai Wamenaker.


Dosen Hukum Pidana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Setya Indra Arifin menyebutkan bahwa permintaan amnesti secara konstitusional memang menjadi hak Presiden. Namun, ia menyoroti adanya celah hukum yang belum terselesaikan.


“Di tengah situasi itu, ada ketidakpastian hukum terkait bagaimana sesungguhnya amnesti itu dapat diberikan, karena di aturan yang lama (1954), amnesti itu diberikan Presiden setelah mendapat nasihat dari Mahkamah Agung,” jelasnya.


Saat ini, menurutnya, Indonesia masih mengacu pada UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 yang belum pernah dicabut atau diperbarui. Padahal, sejak Reformasi, Pasal 14 UUD 1945 menegaskan bahwa pemberian amnesti oleh Presiden harus didahului dengan pertimbangan dari DPR, bukan Mahkamah Agung. Kondisi ini menimbulkan dualisme hukum dan ketidakpastian dalam praktiknya.


“Meskipun terdapat asas hukum Lex Posterior derogat Legi Priori (hukum baru mengesampingkan yang lama), namun tetap saja, sebaik apa pun konstitusi, secara teknis tetap membutuhkan aturan pelaksana agar dapat dilaksanakan,” lanjutnya.


Tanpa kejelasan aturan teknis, imbuh Setya, hak prerogatif Presiden dalam memberikan amnesti bisa menjadi kekuasaan absolut yang tak bisa diawasi. Bahkan pertimbangan dari DPR pun, menurutnya, hanya bersifat "diperhatikan”, bukan menjadi keputusan mengikat.


“Artinya boleh iya, boleh tidak untuk dijadikan dasar dalam pemberian amnesti itu,” tegasnya.


Ia pun mengingatkan, tanpa batasan teknis yang jelas, pemberian amnesti bisa sangat subjektif, bahkan kepada pihak-pihak yang sedang tersandung kasus berat seperti korupsi.


“Jika demikian halnya, apa saja syarat atau penyebab orang dapat diberikan amnesti, sepenuhnya menjadi wewenang dan hak Presiden untuk menentukannya,” ucap Setya.