Dosen Sosiologi Unusia: Bendera One Piece Ekspresi Budaya Populer
NU Online · Rabu, 6 Agustus 2025 | 21:00 WIB
Suci Amaliyah
Kontributor
Jakarta, NU Online
Maraknya pengibaran bendera One Piece di berbagai daerah memicu kontroversi, bahkan sempat dinilai berpotensi memecah belah bangsa oleh sejumlah anggota DPR RI.
Dosen Sosiologi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Moh Faiz Maulana menilai fenomena ini menunjukkan identitas populer bernegosiasi dengan simbol-simbol nasional.
"Menurut saya, ini adalah ekspresi budaya generasi muda yang mengadopsi simbol global dalam ruang publik Indonesia, termasuk dalam isu sekarang," kata Faiz kepada NU Online, Rabu (6/8/2025).
Faiz menjelaskan secara sosio-antropologis, penggunaan simbol budaya populer di ruang publik lahir dari kebutuhan akan identitas dan pengakuan sosial. Di era digital saat ini, identitas tidak lagi hanya ditentukan oleh asal-usul atau simbol resmi negara, melainkan juga oleh keterikatan pada komunitas global.
Simbol seperti bendera One Piece menjadi penanda identitas kolektif yang menunjukkan keanggotaan dalam subkultur anime.
"Fenomena ini menunjukkan pergeseran representasi identitas—dari yang berbasis institusi seperti negara dan agama, ke identitas berbasis gaya hidup dan fandom," ujarnya.
Menurut Faiz, popularitas One Piece merupakan bagian dari dampak globalisasi budaya populer Jepang yang telah mengakar sejak 1980-an melalui anime, manga, dan J-pop.
Globalisasi tidak hanya membawa produk, tetapi juga membentuk imajinasi dan nilai seperti kebebasan, persahabatan, dan petualangan, yang diinternalisasi oleh para penggemarnya.
"Dalam perspektif antropologi budaya, ini bisa dibaca sebagai bentuk cultural hybridization, yaitu pertemuan antara nilai lokal seperti nasionalisme Indonesia dan nilai global dari budaya anime Jepang. Ruang publik pun menjadi arena kontestasi simbol antara identitas resmi dan identitas lintas negara,”jelasnya.
Ia menambahkan, simbol bajak laut dalam One Piece memiliki unsur mitologi perlawanan terhadap kekuasaan yang menindas. Hal ini memberi resonansi emosional bagi generasi muda.
Dalam pandangan sosio-antropologi, tindakan ini merupakan bentuk resistensi simbolik—bukan pemberontakan nyata, tetapi cara mengekspresikan ketidaknyamanan terhadap aturan negara yang dianggap terlalu formal dan kaku.
"Generasi muda akhirnya memilih kanal yang aman untuk menegosiasikan ruang kebebasan. Budaya populer menjadi sarana legal untuk melawan hegemoni makna resmi tanpa harus menanggung risiko sosial besar," ujarnya.
Faiz juga menyebut fenomena ini sebagai bentuk displacement of meaning, yaitu ketika simbol dari dunia fiksi dipindahkan ke dunia nyata untuk memenuhi kebutuhan identitas dan ekspresi sosial.
Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat saat ini tidak lagi membatasi identitas pada simbol formal seperti bendera negara, melainkan menciptakan makna baru melalui media populer.
"Dalam antropologi, ini disebut ritualisasi simbol hiburan di mana objek hiburan dijadikan tanda kesetiaan, kebanggaan, dan solidaritas dalam komunitas," jelasnya.
Terkait perbedaan respons masyarakat terhadap fenomena ini, Faiz menilai hal tersebut mencerminkan adanya benturan dua rezim makna. Kelompok yang pro melihat ini sebagai bentuk kebebasan berekspresi dan kreativitas yang tidak mengancam nasionalisme.
Sementara itu, kelompok yang kontra menilainya sebagai pelanggaran terhadap kesakralan simbol negara. Dalam sosiologi, ini disebut konflik interpretatif yakni satu objek seperti bendera bajak laut One Piece memunculkan tafsir yang berbeda karena latar nilai yang berbeda.
"Antropologi budaya melihatnya sebagai proses boundary-making—kelompok nasionalis mencoba mempertahankan batas identitas, sedangkan kelompok fandom ingin membuat batas itu menjadi lebih cair," tandasnya.
Respons Istana
Presiden Prabowo Subianto tidak mempermasalahkan pengibaran bendera One Piece oleh komunitas-komunitas tertentu selama hal itu dilakukan sebagai ekspresi kreativitas.
"Kalau itu sebagai bentuk ekspresi, ya tidak apa-apa, enggak ada masalah. Tapi jangan disandingkan atau dipertentangkan dengan bendera Merah Putih. Tidak seharusnya seperti itu. Kita sebagai anak bangsa, bendera Merah Putih itu satu-satunya," ujar Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, dikutip dari Antara.
Ia mengajak masyarakat khususnya generasi muda, untuk mencintai tanah air dengan cara menghormati simbol-simbol negara seperti bendera Merah Putih.
"Kita harus cintai bangsa kita, cintai Merah Putih, baik lahir maupun batin. Apa pun kondisinya, kita harus mencintai negara ini, salah satunya dengan mencintai lambang negara kita: Merah Putih," tegas Prasetyo.
Terpopuler
1
Jadwal Puasa Sunnah Sepanjang Agustus 2025, Senin-Kamis dan Ayyamul Bidh
2
Upah Guru Ngaji menurut Tafsir Ayat, Hadits, dan Pandangan Ulama
3
Pakar Linguistik: One Piece Dianggap Representasi Keberanian, Kebebasan, dan Kebersamaan
4
IPK Tinggi, Mutu Runtuh: Darurat Inflasi Nilai Akademik
5
PBNU Minta PPATK Tak Ambil Kebijakan Serampangan soal Pemblokiran Rekening Menganggur
6
2 Alasan LPBINU Bandung Sosialisasikan Literasi Bencana untuk Penyandang Disabilitas
Terkini
Lihat Semua