Nasional

Membatalkan Puasa Syawal karena Disuguhi Hidangan saat Bertamu, Bagaimana Hukumnya?

Sel, 16 April 2024 | 16:06 WIB

Membatalkan Puasa Syawal karena Disuguhi Hidangan saat Bertamu, Bagaimana Hukumnya?

Ilustrasi silaturahim Lebaran. (Foto: NU Online Jatim/Karomi)

Jakarta, NU Online

Suasana lebaran Idul Fitri kerap digunakan umat Islam bersilaturahim atau bertamu ke sanak famili, guru, dan sahabat-sahabatnya. Pada saat yang sama, Muslim juga dianjurkan untuk melaksanakan puasa Syawal selama enam hari. 


Puasa Syawal paling utama dilakukan secara berturut-turut, tetapi bisa juga dikerjakan secara terpisah sepanjang masih dalam bulan Syawal. 


Karena besarnya keutamaan puasa Syawal yakni setara dengan berpuasa setahun lamanya, umat Islam tak sedikit yang antusias melangsungkan puasa ini. Karena itu, bisa jadi, saat mereka sedang bertamu masih dalam keadaan berpuasa.


Pada situasi seperti ini, mungkin saja sebagian Muslim bimbang saat tuan rumah kemudian menyuguhkan makanan. Apakah lebih baik puasanya dibatalkan karena harus menghormati tuan rumah atau justru dilanjutkan saja?


Mengurai hal ini, Ustadz Ahmad Muntaha AM dalam artikelnya di NU Online menjelaskan, hendaknya ada komunikasi yang terbuka antara tamu dengan tuan rumah dengan memberi tahu bahwa sedang menjalankan puasa Syawal.


Bila tuan rumah tidak keberatan dengan puasa tamunya, puasa Syawal dapat dilanjutkan. Sebaliknya, kalau tuan rumah merasa keberatan, membatalkan puasa dengan menyantap hidangan yang sudah disiapkan tuan rumah justru lebih utama. 


"Kalau ia (tuan rumah) tidak berkeberatan, maka kita tetap berpuasa. Bila ia keberatan, maka lebih utama kita memakan hidangannya dan berpuasa di hari-hari bulan Syawal lainnya," tulis Ustadz Muntaha pada artikelnya, dikutip NU Online, Selasa (16/4/2024). 


Pendapat ini didasarakan pada teladan Nabi Muhammad ketika ada sebagian sahabat yang bersikukuh puasa sunnah di tengah jamuan makanan. Rasulullah kemudian menyuruhnya untuk membatalkan puasanya, kemudian mengganti di kemudian hari. 


 يَتَكَلَّفُ لَكَ أَخُوكَ الْمُسْلِمُ وَتَقُولُ إنِّي صَائِمٌ، أَفْطِرْ ثُمَّ اقْضِ يَوْمًا مَكَانَهُ


Artinya, “Saudara Muslimmu sudah repot-repot (menyediakan makanan) dan kamu berkata, ‘Saya sedang berpuasa?’ Batalkanlah puasamu dan qadha-lah pada hari lain sebagai gantinya,” (HR Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi).


Dari hadits ini menurut Ustadz Ahmad Muntaha para ulama kemudian merumuskan, ketika tuan rumah keberatan atas puasa sunnah tamunya, maka hukum membatalkan puasa sunnah baginya untuk menyenangkan hati (idkhalussurur) tuan rumah adalah sunnah karena perintah Nabi dalam hadits tersebut.


Bahkan, lanjut Ustadz Ahmad Muntaha menyebut, dalam kondisi seperti kasus itu, pahala membatalkan puasa lebih utama daripada pahala berpuasa. Pendapat ini sebagaimana dikemukakan Sayyid Abu Bakar bin Syatha Ad-Dimyathi dalam karyanya, I’anatut Thalibin