Nikah/Keluarga

4 Etika Cerai dalam Pandangan Islam

Sen, 13 September 2021 | 00:00 WIB

4 Etika Cerai dalam Pandangan Islam

4 etika cerai dalam pandangan Islam

Pernikahan seringkali dibayangkan sebagai kehidupan indah, bahagia dan menyenangkan. Apalagi jika menikah dengan orang yang kita cintai. Harapan kebahagiaan sempurna seakan sudah terpampang di depan mata. Namun kenyataannya tidak selalu demikian. Ada banyak masalah ataupun ketidakseimbangan dalam pernikahan yang bisa jadi menyebabkan suami istri terpaksa cerai. Lalu bagaimana etika bercerai dalam pandangan Islam?


Dalam kitab Adâbul Islâm fî Nidzâmil Usrah, Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki (wafat Jumat 15 Ramadhan 1425 H)  mengatakan, bila perceraian dapat memutuskan tali ikatan keluarga, melemahkan kesatuan umat dan memanaskan hati. Perceraian juga menampakkan aib yang seharusnya tertutup. Selain itu perceraian juga berdampak pada kebingungan anak-anak dalam memilih pengasuhan. Tidak jarang perceraian menjadikannya kekurangan kasih sayang karena perselisihan orangtua.

 


Perceraian memang dibolehkan dalam Islam. Perceraian dipandang sebagai satu solusi bagi pasangan suami istri yang merasa pernikahan tidak lagi memberikan kemaslahatan. Masih dalam kitab yang sama, Sayyid Muhammad memaparkan tentang pentingnya etika perceraian dalam pandangan Islam, agar dalam prosesnya tidak terjadi tindakan saling menyakiti satu sama lain. Karenanya sangat penting memperhatikan 4 etika cerai dalam pandangan Islam.

 

Pertama, mencerai istri dengan talak satu. Hak talak ada di tangan suami. Karena itu sebagai suami hendaknya bisa mengontrol emosi agar tidak sembrono mengucapkan talak tiga secara sekaligus. Karena dengan talak satu kedua belah pihak mempunyai waktu untuk instropeksi diri, saling mengingat kebaikan masing-masing dan bisa rujuk kembali jika memang menghendaki. Dengan begitu diharapkan perjalanan rumah tangga setelah terjadinya perceraian pertama akan lebih baik lagi. Inilah etika pertama dari 4 etika cerai dalam pandangan Islam. 


Kedua, hendaknya mengikuti langkah yang dianjurkan oleh Al-Qur’an: 


وَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا


Artinya: “Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kalian beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS an-Nisa’: 34)

 


Jika pasangan melakukan kesalahan, ingatkan terlebih dahulu. Komunikasi yang baik dengan pasangan merupakan salah satu kunci dari keharmonisan rumah tangga. Kalau tetap tidak berubah, pisah ranjang bisa menjadi alternatif berikutnya sebelum bercerai. Hal ini juga memberikan kesempatan bagi suami istri untuk mendinginkan hati dan pikiran. Memikirkan lebih jauh dampak yang akan ditanggung jika terjadi perceraian, sehingga cerai menjadi pilihan terakhir yang menjadi satu-satunya solusi dalam permasalahan rumah tangga. Demikian ini etika kedua dari 4 etika cerai dalam pandangan Islam.


Ketiga, suami menceraikan istri dalam keadaan suci dan tidak setelah melakukan persetubuhan. Karena jika cerai dilakukan pada saat istri sedang haid, akan menambah panjangnya masa iddah. Demikian pula jika cerai dijatuhkan saat suci namun setelah melakukan persetubuhan, dikhawatirkan terjadi kehamilan pada istri, yang juga akan memperpanjang masa iddahnya karena menunggu lahirnya si bayi. Mencerai istri dalam keadaan suci dan tidak setelah melakukan persetubuhan merupakan etika ketiga dari 4 etika cerai dalam pandangan Islam.

 


Keempat, hindari membuka aib masing-masing setelah berpisah. Sama seperti ketika masih dalam ikatan pernikahan, suami istri itu seperti pakaian. Saling melindungi dan memperindah. Begitu pula setelah berpisah. Membuka aib mantan pasangan, sama saja dengan membuka aib sendiri, seperti sabda Rasulullah saw:


إِنَّ أَعْظَمَ الخِيَانَةِ عِنْدَ اللهِ يَوْمَ القِيَامَةِ الرَّجُلُ يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِي إِلَيْهِ ثُمَّ يُفْشِي سِرَّهَا


Artinya, “Sesungguhnya pengkhianatan terbesar di hadapan Allah pada hari kiamat kelak ialah seorang lelaki yang bercampur dengan istrinya kemudian membeberkan rahasia istrinya.” (HR Muslim)

 

Tidak membuka aib masing-masing pasangan setelah bercerai merupakan etika keempat dari 4 etika cerai dalam pandangan Islam yang harus diperhatikan oleh pasangan suami istri yang terpaksa memilih jalan perceraian. 

 

 

Islam adalah agama cinta damai, agama yang menginginkan keselamatan bagi umatnya. Perceraianpun diatur sedemikian rupa agar tidak membawa dampak yang buruk bagi suami, istri, maupun anak. Dengan mengikuti 4 etika cerai dalam pandangan Islam yang sudah disyariatkan, kalau pun perceraian tidak bisa dihindari, diharapkan silaturrahim antarkeluarga tidak terputus karena perceraian dilakukan dengan cara yang baik. Walaupun berpisah, hubungan orangtua dengan anak juga tetap terjaga, sehingga kondisi psikologis sang anak tidak terganggu. Wallâhu a’lam.

 


Ning Ummy Atika, Pengajar di Pondok Pesantren Assa’idiyyah Kota Kediri dan Nara Sumber Fiqih Keluarga di Aswaja Muda.