Nikah/Keluarga

Hukum Menikahi Mahram dari Perempuan yang Pernah Dizinai 

Jum, 6 Januari 2023 | 16:00 WIB

Hukum Menikahi Mahram dari Perempuan yang Pernah Dizinai 

Perkawinan seorang laki-laki dengan mahram atau kerabat perempuan yang pernah dizinai, apa mungkin? (Ilustrasi: NU Online/Freepik)

Mencuatnya kasus perselingkuhan menantu dengan mertua, kiranya menarik perhatian untuk dikaji dari berbagai aspek yang berhubungan dengan keduanya. Seperti yang telah dikemukakan, seorang laki-laki tidak boleh menikah dengan mertuanya sebab sudah pernah terikat pernikahan yang sah dengan anaknya. 


Pertanyaannya berikutnya, bagaimana jika misalnya ada laki-laki berzina dengan seorang perempuan dan tidak pernah terikat pernikahan yang sah, apakah ia boleh menikah dengan ibu perempuan tersebut?        


Hal itu pernah ditanyakan langsung oleh seorang sahabat kepada Rasulullah saw sebagaimana riwayat Siti Aisyah. Diceritakan, suatu ketika Nabi saw pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan, apakah boleh ia menikah dengan putri dari si perempuan tersebut? Begitu pula sebaliknya, jika seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan, bolehkah ia menikah dengan ibu dari si perempuan tersebut? Rasulullah saw menjawab:


لَا يُحَرِّمُ الْحَرَامُ الْحَلَالَ، إِنَّمَا يُحَرِّمُ مَا كَانَ بِنِكَاحٍ حَلَالٍ  


Artinya: “Perkara haram tidak mengharamkan yang halal. Sesungguhnya, hubungan yang mengharamkan itu adalah hubungan yang disebabkan pernikahan yang halal.”  (HR Ath-Thabrani).


Ini artinya, perzinaan seorang laki-laki dengan seorang perempuan, tidak kemudian mengharamkan pernikahan dengan ibu dari si perempuan tersebut. Begitu pula, perzinaan seorang laki-laki dengan seorang perempuan tidak mengharamkan pernikahan dengan anak perempuan dari perempuan tersebut. Demikian halnya perzinaan seorang laki-laki dengan seorang perempuan tidak sampai mengharamkan pernikahan anak atau ayah dari laki-laki itu dengan perempuan tersebut. 


Dalil yang sama juga dipergunakan untuk menghukumi halalnya pernikahan seorang laki-laki dengan perempuan yang telah dizinainya meskipun si perempuan yang dinikahinya sedang hamil. Sebab, kehamilan dari perzinaan tidak melahirkan iddah. Pun tidak melahirkan nasab, termasuk kepada laki-laki yang menzinai ibunya.


ويجوز نكاح الحامل من الزنا لأن حملها لا يلحق بأحد فكان وجوده كعدمه


Artinya: “Diperbolehkan menikahi perempuan hamil dari zina. Sebab, kehamilannya tidak bisa dinasabkan kepada seseorang, sehingga keberadaannya dianggap tidak ada.” (Lihat: Syekh Abu Ishaq asy-Syairazi, al-Muhadzab, [Surabaya: al-Hidayah] juz II/46).


Alasan halalnya pernikahan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang dizinainya atau dengan anak atau ibu perempuannya yang dizinainya adalah tidak adanya hubungan mushaharah atau pernikahan. 


Demikian seperti yang diungkap oleh Syekh Abu Ishaq asy-Syairazi dalam kitabnya.


وإن زنى بامرأة لم يحرم عليه نكاحها... ولا تحرم بالزنا أمها أو ابنتها ولا تحرم هي على ابنه ولا على أبيه ... فلم يتعلق به تحريم المصاهرة ...وإن زنى بامرأة فأتت منه ببينة فقد قال الشافعي رحمه الله: أكره أن يتزوجها فإن تزوجها لم أفسخ لأنها ولادة لا يتعلق بها ثبوت النسب 


Artinya: “Jika ada laki-laki berzina dengan seorang perempuan, maka tidak haram  bagi laki-laki itu menikahinya. Juga karena perzinaan tidak haram menikahi ibunya atau menikahi putrinya. Begitu pula tidak haram perempuan itu bagi anak atau ayah dari si laki-laki tadi. Sebab, karena perzinaan tidak ada hubungannya dengan pengharaman akibat perkawinan. Bahkan, jika seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan, kemudian darinya lahir seorang anak perempuan, menurut Imam Syafi’i, hanya  dihukumi makruh menikahinya. Sehingga jika sudah terlanjur dinikah, tidak pernah ada fasakh atau pembatalan nikah. Sebab, kelahiran anak itu tidak berhubungan dengan tetapnya nasab.” (Lihat: Syekh Abu Ishaq asy-Syairazi, al-Muhadzab, [Surabaya: al-Hidayah], juz II/46).


Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan: 


1. Jika ada laki-laki berzina dengan seorang perempuan, maka tidak haram bagi laki-laki tersebut untuk kemudian menikahinya.


2. Jika ada laki-laki berzina dengan seorang perempuan, kemudian hamil, maka tidak haram bagi laki-laki itu untuk menikahinya tanpa menunggu kelahiran. 


3. Kehamilan akibat perzinaan tidak melahirkan masa iddah layaknya kehamilan perempuan yang dicerai atau ditinggal wafat. 


4. Seorang laki-laki yang hendak menikahi perempuan hamil dari perzinaan, tidak perlu menunggu kelahiran dan tidak perlu mengulangi akad pernikahan pasca kelahiran. 


5. Jika seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan, maka tidak haram bagi kaki-laki itu menikahi anak atau ibu dari si perempuan tersebut.  


6. Jika seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan, maka si perempuan boleh menikah dengan anak atau ayah dari laki-laki tersebut. 


7. Jika ada laki-laki berzina dengan seorang perempuan kemudian lahir seorang anak perempuan, maka jika si anak sudah dewasa boleh dinikah oleh si laki-laki yang menzinai ibunya. Hanya saja dihukumi makruh oleh Imam Syafi’i dan diharamkan oleh Imam Abu Hanifah.   


8. Perzinaan tidak ada hubungannya dengan mahram perkawinan. Dengan kata lain, perzinaan tidak mendatangkan ikatan mahram, baik mahram permanen maupun mahram sementara. Wallahu a’lam.


Ustadz Tatam Wijaya, alumnus Pondok Pesantren Raudhatul Hafizhiyyah Sukaraja-Sukabumi, Pengasuh Majelis Taklim “Syubbanul Muttaqin” Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.