Nikah/Keluarga

Kedewasaan Mental sebagai Standar Ideal Pernikahan Muslim

NU Online  ·  Rabu, 13 Agustus 2025 | 07:00 WIB

Kedewasaan Mental sebagai Standar Ideal Pernikahan Muslim

Ilustrasi menikah. (Foto: NU Online/Freepik)

Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 15 ayat (1) mencatat usia minimal calon mempelai boleh melaksanakan pernikahan adalah 19 tahun bagi pria, dan 18 tahun bagi wanita. Hal ini berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Namun, setelah revisi melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, ketentuan usia tersebut diseragamkan menjadi minimal 19 tahun bagi calon mempelai pria maupun wanita.

 

Pembatasan usia ini sebenarnya bertujuan untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga sebagaimana disebutkan dalam KHI. Tujuan itu diterjemahkan secara jelas dalam UU Nomor 16 Tahun 2019, bahwa pembatasan usia pernikahan bertujuan sebagai bentuk perlindungan anak terhadap hal-hal negatif yang ditimbulkan dari pernikahan dini seperti gangguan pertumbuhan anak, dan tidak terpenuhinya hak-hak dasar anak seperti perlindungan dari kekerasan, hak pendidikan, dan hak sosial anak.

 

Pada dasarnya, pembatasan usia hanyalah sebagai tolok ukur kedewasaan seseorang secara definitif. Penyeragaman usia perkawinan dilakukan karena definisi anak dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun, sehingga usia 16 tahun bagi wanita masih tergolong anak yang berpotensi terjadinya perkawinan usia anak bagi wanita.

 

Sedangkan tujuan utama pembatasan usia ini, sebagaimana penjelasan dalam UU Nomor 16 Tahun 2019 adalah agar seorang pria mampu mencapai kedewasaan mental dan kematangan jiwa raga demi terwujudnya perkawinan yang maslahat dan tidak berakhir dengan perceraian, juga untuk mewujudkan kelahiran yang lebih randah risiko bagi ibu dan anak, serta optimalisasi tumbuh kembang anak di bawah pola asuh orang tua yang dewasa secara fisik dan mental.

 

Namun usia 19 tahun bagi masyarakat kekinian, khususnya kalangan pria, masih terhitung sebagai usia belum siap atau belum pantas menikah. Pada umumnya, usia 19 tahun masih dihabiskan untuk mencari jati diri di bilik-bilik kampus bagi yang melanjutkan pendidikan, dan tempat kerja bagi yang memilih berkarir. Mereka masih mencoba untuk mulai bertanggung jawab dengan dirinya sendiri, dan belum bisa dikatakan siap untuk membina rumah tangga.

 

Masyarakat menilai, usia ideal untuk membina rumah tangga pada saat ini, dengan segala problematikanya, adalah usia 25 tahun ke atas. Usia 25 merupakan fase matang seseorang mulai sadar akan tanggung jawab kepada orang lain selain dirinya sendiri, umumnya usia 25 sudah menyelesaikan pendidikan magister dan sudah berkarir, dan setidaknya sudah memiliki pengalaman kerja bagi yang memulai kerja sejak lulus SMA.

 

Kedewasaan mental dan kematangan emosional sangat diperlukan oleh seseorang yang ingin melangkah menuju pelaminan, baik pria atau wanita, terutama kebijaksanaan ketika menghadapi konflik dalam rumah tangga. 

 

Banyak kasus perceraian yang disebabkan karena egois dan tidak saling mengalah, bahkan tidak bisa menerjemahkan kondisi pasangan, seperti sindrom baby blues dari seorang istri sehingga suami merasa direndahkan dan tidak dihormati, dan berujung kepada tindak kekerasan fisik, yang pada dasarnya peran suami justru diperlukan untuk mengimbangi letupan emosi istri dengan kesabaran dan perhatian penuh.

 

Islam sendiri memang tidak menentukan batas umur bagi keabsahan pernikahan, dalam arti pernikahan dini, bahkan pernikahan di bawah umur tetap sah untuk dilaksanakan, sebagaimana catatan Syekh Wahbah Az-Zuhaili berikut:

 

ولم يشترط جمهور الفقهاء لانعقاد الزواج: البلوغ والعقل، وقالوا بصحة ‌زواج ‌الصغير والمجنون

 

Artinya: “Mayoritas fuqaha tidak mensyaratkan baligh, dan berakal untuk keabsahan nikah, mereka mengatakan sah pernikahan anak kecil dan orang hilang akal.” (Wahbah Az-Zuhaili, Fiqhul Islami wa Adillatuhu, [Beirut: Darul Fikr, 2020], vol. 7, hal. 183.).

 

Kenyataan hukum ini memang terasa pahit jika melihat fakta yang terjadi di masyarakat terkait pernikahan dini. Akan tetapi, ketentuan ini hanya sebatas hukum “boleh”, dan tentunya boleh untuk tidak dilakukan, sebagaimana hukum “kebolehan poligami” yang tidak dianjurkan untuk dilakukan bagi yang tidak punya nyali dan ekonomi yang stabil.

 

Az-Zuhaili mencantumkan UU Pernikahan Pemerintah Suriah yang bertolak belakang dengan keputusan mayoritas ulama (hal. 188). Pemerintah Suriah melarang pernikahan di bawah umur dan pernikahan orang gila atas dasar pendekatan kemaslahatan, dan condong kepada pendapat Ibnu Syabramah yang tidak mensahkan kedua pernikahan itu, juga demi menjaga stabilitas masyarakat, dan tindakan preventif dari risiko kedua pernikahan tersebut.

 

Pemerintah Suriah juga membatasi usia pernikahan dengan minimal 18 tahun bagi pria dan wanita atas dasar kematangan emosional dan kesiapan untuk berumah tangga, sebagaimana pemerintah Indonesia hanya saja selisih 1 tahun lebih tua yakni 19 tahun bagi pria dan wanita.

 

Ibnu Syabramah berpendapat bahwa baligh merupakan batas minimal usia menikah berdasarkan Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 6. Ia menegaskan, seandainya pernikahan sebelum baligh diperbolehkan, maka ayat di bawah ini seakan tidak memiliki fungsi:

 

وَابْتَلُوا الْيَتٰمٰى حَتّٰىٓ اِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَۚ فَاِنْ اٰنَسْتُمْ مِّنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوْٓا اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْ ۚ 

 

Artinya: “Ujilah anak-anak yatim itu (dalam hal mengatur harta) sampai ketika mereka cukup umur untuk menikah. Lalu, jika menurut penilaianmu mereka telah pandai (mengatur harta), serahkanlah kepada mereka hartanya.”

 

Terlepas dari pro-kontra pernikahan di bawah umur baligh, sebenarnya ayat tersebut sudah memberikan petunjuk yang terang bahwa keseimbangan emosional dan kedewasaan mental menjadi prasyarat untuk membina rumah tangga, yakni kedewasaan fisik dengan mencapai usia baligh, dan kedewasaan mental serta kemampuan manajemen yang baik dengan menyandang predikat rusyd.

 

Syekh Muhammad Tahir bin Asyur mengartikan makna rusyd dalam ayat tersebut sebagai kedewasaan finansial. Berikut catatannya:

 

وهو انتظام تصرف العقل، وصدور الأفعال عن ذلك بانتظام، وأريد به هنا حفظ المال وحسن التدبير

 

Artinya: “Rusyd adalah tersistemnya kerangka berpikir, dan implementasinya dalam tindakan yang terorganisir, dan yang dimaksud dari ayat ini adalah menjaga harta dan manajemen yang baik.” (Muhammad Tahir bin Asyur, At-Tahrir wat Tanwir, [Tunisia: Maktabah Tunisia1984], vol. 4, hal. 242.).

 

Ketika kedewasaan fisik, finansial, mental, dan emosional sudah bertengger dalam diri seseorang, khususnya pria, maka siapa pun dan dari kalangan manapun tidak akan membantah bahwa itu adalah standar yang ideal sebagai modal sosial untuk membangun hubungan rumah tangga yang baik.

 

Tidak ada pernikahan yang tidak diwarnai dengan ketidakcocokan, atau pertengkaran antar pasangan suami-istri. Dinamika tersebut diumpamakan seperti bumbu dalam rumah tangga yang justru bisa menjadi sarana memperkuat cinta dan mengevaluasi keharmonisan.

 

Akan tetapi, menjadikan konflik rumah tangga sebagai sarana pembelajaran dan penguat keharmonisan membutuhkan keseimbangan emosional, dan kedewasaan mental dalam menghadapinya. Termasuk di dalamnya adalah berani meminta maaf terlebih dahulu, tidak egois, tidak merasa paling terhormat, tidak merasa paling harus dihormati, dan terutama sadar diri akan kesalahan yang dilakukan.

 

Bagaimanapun juga perceraian sangat tidak dianjurkan, baik menurut sosial maupun agama. Terlalu banyak yang dikorbankan ketika hubungan rumah tangga harus berakhir dengan perceraian, terutama kondisi mental anak dan hubungan dua keluarga yang berpotensi akan merenggang.

 

Ustadz Muh Fiqih Shofiyul Am, Tim LBM MWCNU Tanggulangin dan Tim Aswaja Center PCNU Sidoarjo.