Nikah/Keluarga

Wali Nikah bagi Anak Hasil Kawin Beda Agama

Rab, 29 Mei 2019 | 08:30 WIB

Wali Nikah bagi Anak Hasil Kawin Beda Agama

Ilustrasi (via Pinterest)

Salah satu permasalahan yang kerap terjadi dalam hal perkawinan adalah soal wali nikah. Di Kantor Urusan Agama (KUA) permasalahan seputar wali nikah yang sering terjadi di antaranya wali yang enggan menikahkan anaknya karena berbagai alasan, wali yang ternyata bukan orang tua kandungnya, berebut menjadi wali di antara beberapa orang yang sederajat dan berhak menjadi wali, wali muallaf bagi pengantin muallaf, wali nikah bagi anak yang lahir dari hasil perkawinan beda agama, dan lain sebagainya.

Tulisan singkat ini mencoba membahas tentang persoalan wali nikah yang disebut terakhir, yakni wali nikah bagi anak perempuan dari hasil perkawinan beda agama. Sebagai gambaran contoh kasus dalam hal ini; seorang perempuan Muslimah hendak melangsungkan perkawinan dengan lelaki calon suaminya. Saat pemeriksaan di KUA diketahui bahwa anak perempuan ini lahir dari hasil perkawinan orang tuanya yang beda agama di mana sang ayah beragama Islam dan sang ibu beragama selain Islam. Keduanya menikah dalam status memeluk agamanya masing-masing dan terus berlanjut sampai saat ini.

Pada kasus yang demikian dapatkah sang ayah yang notabene seorang Muslim menjadi wali nikah bagi anak perempuannya yang Muslimah? Untuk menjawab hal ini sebelumnya mesti dibahas terlebih dahulu bagaimana status keabsahan perkawinan beda agama dalam pandangan hukum Islam.

Imam Syafi’i di dalam kitabnya Al-Umm menuturkan:

وَيَحِلُّ نِكَاحُ حَرَائِرِ أَهْلِ الْكِتَابِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَحَلَّهُنَّ بِغَيْرِ اسْتِثْنَاءٍ

Artinya: “Halal bagi setiap Muslim laki-laki menikahi perempuan merdeka ahli kitab karena Allah ta’ala menghalalkan mereka tanpa adanya pengecualian.” (Muhammad bin Idris As-Syafi’i, Al-Umm, [Beirut: Darul Fikr, 2009], jil. III, juz V, hal. 7)

Dari tuturan Imam Syafi’i di atas bisa diambil satu kesimpulan bahwa pada dasarnya diperbolehkan seorang laki-laki Muslim menikah dengan seorang perempuan non-Muslim dengan catatan ia adalah seorang ahli kitab. Pernikahan keduanya dihukumi sah oleh agama.

Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah siapa yang dimaksud dengan ahli kitab? Apakah termasuk hali kitab semua orang yang beragama selain Islam tanpa terkecuali? Atau, apakah hanya pemeluk agama samawi—seperti Yahudi dan Nasrani—saja yang termasuk non-Muslim ahli kitab?

Menjawab pertanyaan ini Imam Syafi’i di dalam kitab yang sama menjelaskan:

وَأَهْلُ الْكِتَابِ الَّذِينَ يَحِلُّ نِكَاحُ حَرَائِرِهِمْ أَهْلُ الْكِتَابَيْنِ الْمَشْهُورَيْنِ التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَهُمْ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى دُونَ الْمَجُوسِ قَالَ وَالصَّابِئُونَ وَالسَّامِرَةُ مِنْ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى الَّذِينَ يَحِلُّ نِسَاؤُهُمْ وَذَبَائِحُهُمْ

Artinya: “Ahli kitab yang dihalalkan menikahi perempuan merdeka di anatara mereka adalah orang-orang yang memiliki dua kitab yang masyhur yakni Taurat dan Injil. Mereka adalah orang Yahudi dan Nasrani, bukan Majusi (penyembah api). Beliau berkata, Kaum Shabiun dan Samirah termasuk orang Yahudi dan Nasrani yang perempuannya halal dinikahi dan sembelihannya halal dimakan.” (Muhammad bin Idris As-Syafi’i, Al-Umm, hal. 7)

Dari sini kembali bisa diambil satu kesimpulan bahwa yang dimaksud ahli kitab adalah orang-orang yang beragama Yahudi dan Nasrani yang berkitab Taurat dan Injil. Perempuan-perempuan dari kedua agama ini halal dinikahi oleh seorang Muslim.

Namun demikian masih ada satu pertanyaan lagi yang mesti dijelaskan untuk bisa memastikan apakah pernikahan seorang laki-laki Muslim dan perempuan non-Muslim dari ahli kitab di atas dapat dipastikan keabsahannya. Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah apakah para pemeluk agama Yahudi dan Nasrani pada masa sekarang ini, termasuk yang ada di Indonesia, termasuk ahli kitab sebagaimana yang dimaksud di atas?

Tentang hal ini Ahmad Al-Mahamili dalam kitab Al-Lubâb fil Fiqhis Syâfi’i (Madinah: Darul Bukhari, 1416 H, hal. 307-108) menerangkan bahwa seorang Muslim boleh menikahi perempuan ahli kitab, kecuali dalam tiga hal; pertama, bila sang perempuan bukan dari kalangan Bani Israil; kedua, bila sang perempuan memeluk agama tersebut setelah adanya penggantian atau perubahan ajaran dalam kitab sucinya; dan ketiga, bila sang perempuan memeluk agama tersebut setelah diutusnya Rasulullah Muhammad shallallâhu ‘alai wa sallam.

Dari sini maka bisa dipahami bahwa perempuan ahli kitab yang boleh dinikahi oleh seorang Muslim dan pernikahannya dianggap sah adalah seorang perempuan keturunan asli Bani Israil yang memeluk agama Yahudi atau Nasrani dengan kitab suci yang masih asli sebagaimana diturunkan oleh Allah kepada rasul yang menerimanya dan ia memeluk agama tersebut sebelum diutusnya Rasulullah Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Bila salah satu dari ketiga kriteria tersebut luput dari sang perempuan maka ia bukanlah ahli kitab yang halal dinikahi oleh seorang Muslim.
Maka dengan demikian para perempuan non-Muslim yang ada pada masa sekarang ini, termasuk yang berada di Indonesia, bukan termasuk ahli kitab yang halal dinikahi oleh seorang laki-laki Muslim.

Dengan demikian pula, perkawinan beda agama antara seorang laki-laki Muslim dan seorang perempuan non-Muslim sebagaimana digambarkan di atas tidak bisa dihukumi sah dan perkawinannya menjadi batal.

Lalu bagaimana dengan wali nikah bagi anak perempuan hasil perkawinan beda agama yang hendak melangsungkan pernikahan sebagaimana contoh kasus di atas?

Permasalah tersebut dapat diambil satu simpulan bahwa karena ia lahir dalam sebuah perkawinan yang tidak sah menurut ajaran agama Islam maka ia tidak bisa dinasabkan kepada sang ayah dan karenanya sang ayah tidak bisa menjadi wali nikah bagi dirinya. Pada saat ijab kabul nanti anak perempuan tersebut menikah dengan wali kepala KUA yang bertindak sebagai wali hakim. Wallâhu a’lam.


Ustadz Yazid Muttaqin, santri alumni Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta, kini aktif sebagai Penghulu di lingkungan Kantor Kementerian Agama Kota Tegal.