Hikmah PARENTING ISLAMI

Bagaimana agar Anak Menghormati Teman yang Berbeda Agama?

Ahad, 31 Oktober 2021 | 02:00 WIB

Bagaimana agar Anak Menghormati Teman yang Berbeda Agama?

Bagaimana agar Anak Menghormati Teman yang Berbeda Agama? (Foto: Ilustrasi)

Isu mengenai keragaman bukan lagi hal yang asing bagi masyarakat Indonesia saat ini. Dengan adanya media sosial seperti WhatsApp, Instagram, Facebook, Twitter, Youtube dan Tiktok, banjirnya informasi tidak dapat dihindari setiap orang, berapa pun usianya, baik orang dewasa yang telah mengerti banyak hal, maupun anak-anak yang masih berproses menangkap segala informasi di sekitarnya, salah satunya dari gawai di rumah mereka.

 

Dengan maraknya informasi yang beragam, anak-anak jadi menyerap banyak hal, mulai ragam jenis manusia, sikap, gaya, isu kekinian, hingga persoalan agama. Bagi anak-anak, informasi yang baru mereka dapatkan melalui indra akan menjadi sesuatu unik yang baru, sehingga terkadang dengan mudah memori mereka menyerap apa yang dilihat, bahkan ada usaha untuk menirunya. Di sinilah perlunya orang tua untuk membatasi anak dalam penggunaan gawai sehari-hari.

 

Terkait banjirnya informasi yang tak dapat dibendung, isu kerenggangan antarpenganut agama merupakan hal yang perlu diwaspadai. Dewasa ini banyak kita lihat isu-isu relasi antaragama ramai muncul di media sosial. Kita perlu mendidik anak sejak dini, agar dapat menghormati semua orang, apa pun agama, suku dan rasnya.

 

Mendidik anak untuk menghormati perbedaan agama dapat kita contohkan, sebagai orang tua, dengan berbuat baik dan santun kepada tetangga yang nonmuslim. Misalnya, dengan berolahraga dengan mereka, mengobrol santai, bertukar pengalaman keseharian di sekolah, membincangkan hobi dan hal-hal ringan lainnya yang sekiranya anak dapat diajak dan dilibatkan. Semisal kita sedang membicarakan perihal hobi anak kita dengan anak tetangga yang nonmuslim, kita libatkan dialog di antara keduanya.

 

“Nak, kamu kan juga suka menggambar, besok menggambarnya bareng sama dia ya...” (sambil mengisyaratkan kepada anak tetangga yang nonmuslim)

 

“Okay, Mah. Eh, kamu mau kan menggambar bareng besok di rumahku... banyak peralatan menggambar, lho…”

 

“Wih, boleh...” jawab anak tetangga kita yang nonmuslim tersebut.

 

Di atas adalah salah satu misal percakapan yang merekatkan hubungan antarpenganut agama yang bisa dimulai sejak dini, agar tidak ada kerenggangan dan stereotip yang terjadi di antara anak-anak. Tujuan utamanya adalah menghilangkan dalam diri si anak akan kecanggungan yang memungkinkan terjadi akibat perbedaan.

 

Hal ini kita praktikkan di luar rumah. Adapun di dalam rumah, kita kenalkan dan ajarkan anak-anak kita pada akidah yang benar, agar mereka mengenal Allah dan Rasul-Nya sejak dini, sehingga fondasi keimanan tumbuh dan menguat dalam diri si anak.

 

Apabila, misalnya, terjadi perkelahian dan saling ejek satu sama lain antara anak-anak kita dengan anak-anak tetangga yang berbeda agama, sehingga hal tersebut berimplikasi kepada mengejek dan mengolok-olok agama temannya, maka sudah semestinya orang tua melerai dan mendamaikan keduanya. Ajaklah mereka berdialog dengan baik dan lembut.

 

“Nak, kamu kenapa berantem sama dia?”

 

“Itu mah, mainan aku diambil..”

 

“Oh.. Itu cuma dipinjam sebentar doang kok, nanti dibalikin lagi. Pinjamkan dulu ya sebentar, nanti di rumah kamu bisa main sepuasnya pakai mainan itu.. Sekarang saling bermaafan ya...”

 

Di sini, jangan sampai orang tua memihak kepada siapa pun, baik kepada anak sendiri ataupun tetangga, sebab hal tersebut menghilangkan kemandirian anak untuk menyelesaikan konflik kecil yang ada di sekitarnya.

 

Sesampainya di rumah, ajarkan anak untuk lebih menghormati dan tidak mengolok-olok agama lain seperti kejadian tadi. Tentunya dengan bahasa yang halus dan perumpamaan yang mudah ditangkap oleh anak seusianya. Biasanya mereka mengolok-olok tidak dengan serius sebagaimana konflik dan perdebatan yang terjadi antara orang dewasa. Hal tersebut terjadi karena ketidaktahuan si anak dan informasi yang baru ia tangkap hanyalah soal perbedaan saja, sehingga hal tersebut dapat dijadikan dalih untuk menyebut temannya ketika sedang berkonflik bahkan mengolok-olok sisi perbedaan tersebut.

 

“Nak, jangan mengejek teman kamu lagi ya, dia kan yang tiap hari main sama kamu. Nanti, kalau dia nggak mau main lagi sama kamu, kamu nggak ada teman main dong... Apalagi mengejek agama orang, jangan ya, nanti kalau kamu mengejek agama lain, maka mereka juga akan mengejek agama kamu, Nak.”

 

Ajaklah anak berdialog. Jangan mudah menghakimi mereka. Akan tetapi, ajarkan dan bimbing mereka, bahwa setiap sesuatu yang mereka lakukan pasti memiliki konsekuensi yang didapat. Konsekuensi dari mengejek adalah permusuhan dan hilangnya pertemanan, juga konsekuensi dari mengejek agama lain adalah akan mendapat ejekan yang sama.

 

Dibandingkan dengan hukuman, lebih baik kita kenalkan anak tentang konsekuensi perbuatan. Sebab, sesuatu yang diwarisi dan ditangkap anak dari sebuah hukuman adalah ketakutan serta kepatuhan sementara. Sementara pengetahuan akan membentuk kepekaan mereka terhadap berbagai manfaat dan risiko dari pilihan sikap mereka sendiri.

 

Mengenai larangan mengejek agama lain, Allah subhânahu wa ta’âla berfirman dalam surah Al-An'am Ayat 108:

 

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

 

Artinya: Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.

 

Amien Nurhakim, Alumnus UIN Jakarta dan Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah, Ciputat.


Konten ini hasil kerja sama NU Online dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI