Dalam kenyataannya, jarang sekali suami-istri yang menjalani rumah tangga tanpa permasalahan dan perselisihan. Karenanya, tak berlebihan bila masalah dan perselisihan dalam rumah tangga dianggap hal yang wajar karena sulit dihindarkan. Namun, bukan berarti mereka harus pasrah dengan keadaan dan membiarkan masalah dan percekcokan menggerogoti fondasi rumah tangga dan menghapus kebahagiaan keluarga.
Janganlah mereka mengira bahwa perselisihan adalah bencana besar yang tak bisa ditolak dan tak bisa diatasi. Justru dengan segala cara, mereka harus mencari solusi agar keluarga tetap terjaga dan tali pernikahan bisa dipertahankan. Mereka harus yakin setiap masalah ada solusinya. Mereka jangan putus asa dan terus berjuang mencari solusi demi keutuhan keluarga dan melanggengkan pernikahan.
Lantas seperti apakah Islam menawarkan solusi permasalahan dan perselisihan rumah tangga? Dalam kaitan ini, Syekh ‘Abdurrahman ibn ‘Abdul Khalik al-Yusuf dalam al-Zawâj fî Zhill al-Islâm (Kuwait: Daru al-Salafiyyah, 1988, cetakan ketiga, hal. 166), mengemukakan, ada beberapa solusi yang ditawarkan kepada pasangan suami istri sebelum atau sewaktu menyelesaikan permasalahan dan perselisihan keluarga yang terjadi di tengah mereka.
Pertama, jika suami atau istri ingin mencari solusi masalah dan perselisihan, hendaknya ia memposisikan diri sebagai orang yang berselisih dengan dirinya. Dengan begitu, ia akan mengetahui bagaimana seharusnya ia bersikap terhadap orang yang berselisih dengannya. Selain itu, ia juga harus mengetahui pangkal masalah atau sebab-sebab terjadinya. Barulah ia memutuskan jalan keluarnya.
Kedua, suami harus mengetahui secara pasti bahwa pada diri istrinya ada tabiat untuk menyimpang. Ini merupakan tabiat penciptaan dan fitrah yang diberikan Allah kepadanya. Wanita tak mungkin mengubah penciptaan dan tabiat itu kecuali dengan kelapangan hati menerima koreksi dari pemimpinnya, yaitu laki-laki. Inilah yang dimaksud hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ لَنْ تَسْتَقِيمَ لَكَ عَلَى طَرِيقَةٍ، فَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَبِهَا عِوَجٌ، وَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهَا، كَسَرْتَهَا وَكَسْرُهَا طَلَاقُهَا
Artinya, “Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Ia tidak akan pernah lurus untukmu di atas sebuah jalan. Jika engkau ingin bersenang-senang dengannya, maka bersenang-senanglah. Namun, padanya tetap ada kebengkokan. Jika engkau berusaha meluruskannya, engkau akan memecahnya. Dan pecahnya adalah talaknya,” (HR Muslim).
Suami mana pun yang telah memahami hakikat ini, tentu akan bersabar menyikapi kekurangan dan sikap menyimpang istrinya. Begitu pula sang istri akan menerima koreksi dan pandangan suaminya atas kekurangan dirinya.
Ketiga, betapa banyak laki-laki yang dikaruniai istri yang lebih hebat, lebih cerdas, lebih sabar, dan lebih bijak pandangannya. Namun, ini tidak boleh mengubah kodrat dan kaidah umum tentang laki-laki dan perempuan. Ini tidak boleh dimaknai perempuan boleh dieksploitasi untuk kepentingan laki-laki. Bukan pula laki-laki harus menempati posisi istrinya, sebab ini akan merusak fitrah keduanya dan menghancurkan kebahagiaan rumah tangga.
Selanjutnya, cara terbaik bagi istri untuk mengoreksi sikap membangkang atau menyimpang suaminya adalah memberi nasihat melalui kerabat atau orang terdekatnya, sebagaimana firman Allah, Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik, (QS al-Nisa’ [4]: 128).
Pasalnya, jika istri meluruskan sikap menyimpang dan membangkang suami secara langsung, boleh jadi hanya akan menambah kerusakan rumah tangga kecuali jika keduanya menyadari kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Keempat, laki-laki memang diberi hak kepemimpinan. Sehingga ia adalah orang pertama yang menjadi pengayom dan pemimpin, baik bagi dirinya maupun bagi istrinya.
Ini pula yang dimaksud dalam firman Allah, Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara (mereka), (QS al-Nisa’ [4]: 34).
Namun, kepemimpinan di sini bukan berarti ia boleh otoriter, keras, dan luhur. Kepeminmpinan dimaksud adalah menaungi, melindungi, mendidik, menyayangi, menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, baik dengan cara tegas maupun cara lembut. Tak diragukan lagi bahwa kelalaian suami memenuhi hak dan kewajiban ini akan berakibat buruk pada sikap sang istri kepadanya.
Kelima, pergunakan cara-cara yang telah diberikan Allah dalam meluruskan kekurangan perempuan, yaitu: (1) menasihati dengan lemah lembut dan menggugah hati. Dilakukan pada waktu yang tepat dan kadar yang tepat pula. Sebab, jika dilakukan terus-menerus siang dan malam hanya akan menambah kebal orang yang dinasihati. Nasihat itu ibarat dosis obat. Dosis yang tepat bisa mengobati, dosisi yang berlebihan bisa merusak bahkan mematikan; (2) menjauhi tempat tidur istri bilamana cara pertama sudah tidak mampu.
Selanjutnya, (3) memukulnya dengan pukulan yang tidak membahayakan. Artinya, hanya pukulan yang dapat melunakkan kerasnya hati sang istri, bukan menyakitinya, dan diyakini dapat mengubahnya menjadi lebih baik. Jika diperkirakan malah destruktif, cara ini mesti ditinggalkan; (4) meminta bantuan kepada juru damai dari kedua belah pihak (suami-istri). Ini merupakan jalan terakhir ketika cara-cara sebelumnya tidak mampu. Kedua juru damai itu tentunya harus mampu memahami duduk permasalahan suami-istri dan juga mumpuni untuk memecahkannya.
Keempat cara itu dilansir dalam firman Allah, Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu, (QS al-Nisa’ [4]: 34-35).
Demikian solusi Islam dalam menyikapi permasalahan dan perselisihan keluarga, sebagaimana yang dikemukakan Syekh ‘Abdurrahman ibn ‘Abdul Khalik al-Yusuf dalam al-Zawâj fî Zhill al-Islâm. Semoga bermanfaat. Wallahu ‘alam.
Ustadz M. Tatam Wijaya, Alumni Pesantren Raudhatul Hafizhiyyah Sukaraja, Sukabumi; Pengasuh Majelis Taklim “Syubbanul Muttaqin” Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.
Terpopuler
1
PBNU Tunjuk Ali Masykur Musa Jadi Ketua Pelaksana Kongres JATMAN 2024
2
Ulama Sufi Dunia Syekh Muhammad Hisham Kabbani Wafat dalam Usia 79 Tahun
3
GP Ansor DIY Angkat Penjual Es Teh Sunhaji Jadi Anggota Kehormatan Banser
4
Ricuh Aksi Free West Papua, PWNU DIY Imbau Nahdliyin Tetap Tenang dan Tak Terprovokasi
5
Khutbah Jumat: Meraih Keselamatan Akhirat dengan Meninggalkan 6 Perkara
6
GP Ansor Jatim Ingin Berangkatkan Umrah Bapak Penjual Es Teh yang Viral dalam Pengajian Gus Miftah
Terkini
Lihat Semua