Bisakah Indonesia Bebas Pekerja Anak?
NU Online ยท Rabu, 23 Juli 2025 | 11:30 WIB
Ajie Najmuddin
Kolomnis
Belum lama ini, penulis berkunjung ke salah satu Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DISSOSP3APPKB) di Wilayah Solo Raya. Dalam sebuah perbincangan, kami sempat membahas mengenai isu tingginya jumlah pekerja anak.
Hal tersebut patut untuk diangkat kembali dalam momen Hari Anak Nasional yang di Indonesia diperingati setiap tanggal 23 Juli. Salah satu persoalan yang masih menjadi pekerjaan rumah besar adalah keberadaan pekerja anak. Meskipun pemerintah dan berbagai elemen masyarakat telah melakukan berbagai langkah, kenyataannya jutaan anak Indonesia masih berada di luar ruang bermain dan ruang kelas, terjebak dalam lingkaran kerja yang merampas masa kecil mereka.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat persentase pekerja anak pada tahun 2024 meningkat menjadi 2,17%, naik dari 1,72% pada tahun 2023. Dari jumlah tersebut, sebagian besar terlibat dalam pekerjaan berbahaya, seperti di sektor pertanian, konstruksi, industri rumah tangga, hingga pertambangan. Pekerja anak sering kali bekerja dalam kondisi tanpa perlindungan hukum, tanpa asuransi, dan dengan risiko kesehatan yang tinggi.
Fenomena ini tidak hanya melanggar hak anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, tetapi juga menjadi hambatan dalam pembangunan sumber daya manusia yang unggul. Seorang anak yang seharusnya duduk di bangku sekolah, justru harus bekerja demi membantu ekonomi keluarga atau bahkan menjadi tulang punggungnya.
Akar Masalah: Kemiskinan dan Akses Pendidikan
Kemiskinan masih menjadi akar utama dari tingginya angka pekerja anak. Dalam keluarga dengan kondisi ekonomi rendah, keberadaan anak sering kali dianggap sebagai aset ekonomi. Anak-anak diarahkan untuk bekerja lebih awal demi menambah penghasilan, terlebih ketika orang tua mengalami pengangguran atau pendapatan yang tidak menentu.
Selain itu, terbatasnya akses pendidikan, baik karena biaya, jarak, atau minimnya fasilitas di daerah terpencil juga menjadi faktor pendorong. Banyak anak yang akhirnya putus sekolah karena tidak mampu membayar seragam, buku, atau transportasi ke sekolah. Ketika sekolah tidak lagi menjadi opsi yang terjangkau, maka dunia kerja menjadi satu-satunya alternatif.
Pemerintah Indonesia sebetulnya telah menunjukkan komitmen untuk menghapus pekerja anak melalui berbagai kebijakan dan program. Beberapa di antaranya melalui Program Penghapusan Pekerja Anak (PPA-PKH). Program ini merupakan kerja sama antara Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Sosial. Anak-anak dari keluarga penerima Program Keluarga Harapan (PKH) yang diketahui bekerja, diidentifikasi dan kemudian dikembalikan ke dunia pendidikan melalui pendekatan pembinaan, beasiswa, dan pelatihan.
Selain PPA-PKH, adapula program pendidikan dan pelatihan keterampilan untuk keluarga miskin. Program pelatihan kerja untuk orang tua atau anggota keluarga dewasa diarahkan agar mereka bisa memperoleh pekerjaan yang lebih baik dan stabil, sehingga tidak lagi bergantung pada penghasilan anak.
Kemudian, yang tidak kalah penting, yakni penerapan norma kerja anak dalam peraturan perundang-undangan. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan secara tegas melarang anak di bawah usia 18 tahun untuk bekerja, kecuali dalam kondisi tertentu dan pekerjaan yang ringan. Pengawasan oleh pengawas ketenagakerjaan terus ditingkatkan untuk memastikan implementasi norma ini.
Indonesia juga aktif dalam kerja sama internasional, seperti kemitraan dengan ILO melalui program International Programme on the Elimination of Child Labour (IPEC). Kerja sama ini memperkuat strategi nasional penghapusan pekerja anak dan mendorong pengumpulan data serta pelaporan yang lebih transparan.
Peran Semua Pihak
Penghapusan pekerja anak sejatinya bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata. Perlu ada keterlibatan masyarakat, dunia usaha, dan organisasi masyarakat sipil memiliki peran krusial. Masyarakat perlu terus diedukasi mengenai pentingnya membiarkan anak-anak menikmati masa kecil mereka tanpa tekanan ekonomi. Media dan sekolah dapat menjadi agen kampanye yang efektif.
Kemudian perusahaan, terutama yang beroperasi di sektor padat karya seperti pertanian dan manufaktur, harus menerapkan prinsip rantai pasok yang bebas pekerja anak. Audit internal dan kerja sama dengan LSM bisa menjadi langkah pengawasan yang efektif.
Tokoh masyarakat dan pemuka agama memiliki pengaruh besar dalam mengubah cara pandang masyarakat terhadap pekerja anak. Dengan narasi yang sesuai nilai budaya dan agama, mereka bisa mendorong keluarga untuk lebih mengutamakan pendidikan anak.
Inovasi Baru: Digitalisasi dan Data Terpadu
Dalam era digital, pendekatan baru mulai diterapkan untuk menangani isu pekerja anak. Penggunaan sistem data terpadu seperti Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial โ Next Generation (SIKS-NG) memudahkan pelacakan anak-anak yang berisiko terlibat dalam pekerjaan. Selain itu, aplikasi pelaporan berbasis masyarakat memungkinkan pendeteksian dini di lapangan.
Digitalisasi juga digunakan untuk meningkatkan akses pendidikan melalui platform pembelajaran jarak jauh. Jika dikembangkan secara merata dan inklusif, teknologi bisa menjadi jembatan bagi anak-anak di daerah tertinggal agar tetap bisa belajar tanpa harus meninggalkan desanya.
Meski banyak upaya telah dilakukan, tantangan besar masih mengintai. Pandemi COVID-19 yang melanda beberapa tahun lalu menyebabkan lonjakan angka kemiskinan dan memperbesar risiko anak-anak kembali bekerja. Selain itu, lemahnya penegakan hukum di sektor informal membuat anak-anak rentan dipekerjakan secara ilegal.
Namun, dengan sinergi antarlembaga, pendekatan berbasis data, dan partisipasi masyarakat, Indonesia memiliki peluang besar untuk menurunkan angka pekerja anak secara signifikan. Investasi pada anak-anak bukan hanya bentuk kasih sayang, tapi juga strategi pembangunan jangka panjang.
Hari Anak Nasional bukan sekadar seremoni tahunan, tetapi panggilan moral untuk menegakkan hak-hak anak, termasuk hak untuk bermain, belajar, dan hidup dengan layak. Pekerja anak bukan hanya angka statistik, mereka adalah wajah dari kegagalan sistemik yang harus segera diatasi.
Dengan memperkuat perlindungan sosial, memperluas akses pendidikan, dan membangun budaya yang menghargai masa depan anak-anak, Indonesia dapat membalikkan keadaan. Mari jadikan Hari Anak Nasional sebagai tonggak untuk mempercepat penghapusan pekerja anak, karena setiap anak berhak atas masa depan yang lebih cerah.
Ajie Najmuddin, Penggerak Komunitas Gusdurian Solo
ย
Terpopuler
1
Gus Yahya Sampaikan Selamat kepada Juara Kaligrafi Internasional Asal Indonesia
2
LBH Ansor Terima Laporan PMI Terlantar Korban TPPO di Kamboja, Butuh Perlindungan dari Negara
3
Dukung Program Ketahanan Pangan, PWNU-HKTI Jabar Perkenalkan Teknologi Padi Empat Kali Panen
4
Menbud Fadli Zon Klaim Penulisan Ulang Sejarah Nasional Sedang Uji Publik
5
Guru Didenda Rp25 Juta, Ketum PBNU Soroti Minimnya Apresiasi dari Wali Murid
6
Kurangi Ketergantungan Gadget, Menteri PPPA Ajak Anak Hidupkan Permainan Tradisional
Terkini
Lihat Semua