Mabadi Khaira Ummah: Kompas Moral NU untuk Membangun Bangsa
NU Online · Rabu, 20 Agustus 2025 | 13:00 WIB
Puji Raharjo Soekarno
Kolomnis
Delapan dekade kemerdekaan Indonesia bukan sekadar hitungan tahun, tetapi jejak panjang perjuangan, pengorbanan, dan pencarian jati diri bangsa. Sebagai bagian dari generasi yang tumbuh di lingkungan Nahdlatul Ulama dan mengabdi dalam birokrasi negara, saya memaknai peringatan HUT RI ke-80 ini sebagai kesempatan istimewa untuk merenung: sejauh mana bangsa ini telah melangkah, dan ke mana arah yang hendak dituju.
Tema nasional tahun ini—Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju—bukan sekadar slogan, tetapi panggilan moral bagi kita semua untuk menyatukan langkah, memperkuat nilai, dan memastikan bahwa kemajuan tidak kehilangan arah etik dan spiritualitas.
Di tengah dinamika global yang makin kompleks, derasnya arus informasi, dan cepatnya perubahan sosial, kita sebagai bangsa ditantang untuk tidak hanya bertumbuh secara fisik dan ekonomi, tapi juga matang secara akhlak dan karakter. Dalam situasi seperti ini, saya kembali merenungkan warisan luhur para ulama, khususnya nilai-nilai Mabadi Khaira Ummah yang telah lama diajarkan dalam tradisi NU. Lima prinsip utama—kejujuran, amanah, tolong-menolong, keadilan, dan istiqamah—adalah kompas yang relevan untuk membimbing langkah bangsa agar tetap berada dalam koridor etika dan tanggung jawab sosial.
Sebagai birokrat yang juga bagian dari jam’iyah Nahdlatul Ulama, saya percaya bahwa nilai-nilai ini tidak boleh berhenti sebagai ajaran kitab atau materi kaderisasi semata. Ia harus hidup dalam praktik sehari-hari—dalam penyusunan kebijakan, pelayanan publik, relasi antarwarga, hingga cara kita menyikapi perbedaan. Refleksi kemerdekaan kali ini adalah ajakan untuk meneguhkan kembali jati diri bangsa melalui nilai-nilai umat terbaik. Sebab hanya dengan menjadi khaira ummah, kita bisa mewujudkan cita-cita menjadi bangsa yang benar-benar paripurna.
Baca Juga
Mabadi Khaira Ummah
Mabadi Khaira Ummah: dari NU untuk Bangsa
Gagasan Mabadi Khaira Ummah merupakan kontribusi intelektual dan spiritual Nahdlatul Ulama yang masih relevan sampai saat ini. Cikal bakalnya dapat ditelusuri dalam Trisila Mabadi yang dirumuskan dalam Muktamar NU ke-11 di Magelang tahun 1939, yakni: ash-shidqu (jujur/benar), al-wafa bil ‘ahdi (menepati janji), dan at-ta’awun (tolong-menolong dalam kebaikan). Ketiganya lahir dalam konteks perjuangan sosial dan ekonomi warga nahdliyin yang kala itu menghadapi penjajahan dan ketimpangan struktural. NU meyakini bahwa perubahan sosial tidak hanya bergantung pada struktur kekuasaan, tetapi juga pada pembangunan karakter masyarakat.
Seiring perjalanan sejarah, ketiga prinsip dasar tersebut dikembangkan menjadi lima nilai utama dalam Musyawarah Nasional NU di Lampung tahun 1992. Kelima prinsip itu adalah: ash-shidqu (kejujuran), al-amanah wal wafa bil ‘ahd (amanah dan menepati janji), at-ta’awun (tolong-menolong dalam kebaikan), al-‘adalah (keadilan), dan al-istiqamah (konsistensi dalam kebaikan). Inilah yang kemudian dikenal sebagai Mabadi Khaira Ummah, atau prinsip-prinsip umat terbaik, sebagaimana diisyaratkan dalam QS. Ali ‘Imran: 110. NU tidak hanya memformulasikan prinsip ini untuk internal jam’iyah, melainkan untuk menjawab tantangan kebangsaan dan keumatan secara luas.
Nilai-nilai Mabadi Khaira Ummah mencerminkan dimensi etika personal sekaligus sosial yang sangat dibutuhkan bangsa ini: jujur dalam kepemimpinan, amanah dalam tanggung jawab publik, adil dalam kebijakan, tolong-menolong dalam keberagaman, serta istiqamah dalam pembangunan berkelanjutan.
Inilah sumbangsih NU yang bisa menjadi pedoman moral kolektif bangsa Indonesia. Dalam konteks HUT RI ke-80, nilai-nilai ini sangat relevan untuk membumikan tema besar “Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju”—yakni dengan memperkuat fondasi karakter dalam proses berbangsa dan bernegara.
Membumikan Mabadi Khaira Ummah dalam Tema HUT RI ke-80
Membincang kemajuan bangsa tak cukup hanya berbicara soal pembangunan fisik, teknologi, atau pertumbuhan ekonomi. Yang lebih mendasar adalah pembangunan karakter dan jati diri bangsa. Dalam konteks peringatan HUT RI ke-80 dengan tema “Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju”, prinsip-prinsip Mabadi Khaira Ummah dapat menjadi fondasi etis dan spiritual yang membumi. Lima nilai utama dari prinsip tersebut relevan untuk menjawab tantangan kekinian: dari krisis kepercayaan publik, fragmentasi sosial, hingga kecenderungan pragmatisme yang menggerus idealisme kebangsaan.
Nilai pertama, ash-shidqu (kejujuran), merupakan syarat mutlak tegaknya kedaulatan moral bangsa. Di era pascakebenaran (post-truth), di mana hoaks lebih cepat menyebar daripada fakta, kejujuran menjadi barang langka di ruang publik. Kepercayaan masyarakat terhadap institusi seringkali runtuh karena praktik manipulasi data, pencitraan semu, dan politisasi informasi. Dalam konteks ini, membudayakan kejujuran di setiap lini—baik pejabat publik, ASN, pendidik, maupun tokoh masyarakat—adalah bagian dari menegakkan kedaulatan bangsa yang sejati: kedaulatan nurani.
Nilai kedua, al-amanah wal wafa bil ‘ahd (amanah dan menepati janji), adalah prasyarat untuk mewujudkan Indonesia yang benar-benar maju. Di tengah euforia pembangunan infrastruktur dan digitalisasi, publik menuntut janji-janji politik yang ditepati dengan penuh tanggung jawab. Banyak program strategis nasional yang terbengkalai bukan karena kurangnya anggaran, tetapi karena lemahnya amanah dalam pelaksanaan. Seorang pemimpin yang amanah akan memikul tanggung jawab bukan hanya karena jabatan, tetapi karena kesadaran bahwa jabatan adalah titipan rakyat dan amanah dari Tuhan.
Nilai ketiga, at-ta’awun (tolong-menolong dalam kebaikan), menjadi fondasi utama dari persatuan nasional. Bangsa Indonesia yang majemuk secara etnis, agama, dan budaya hanya bisa bersatu jika dilandasi semangat saling membantu, saling menguatkan, dan tidak saling meniadakan. Dalam suasana pasca-pemilu yang masih menyisakan luka sosial dan dalam iklim media sosial yang sering penuh polarisasi, ta’awun menjadi energi moral untuk merajut kembali kohesi sosial bangsa. Contoh kecilnya adalah inisiatif kolaboratif masyarakat dalam menghadapi bencana alam yang melanda berbagai daerah—semangat gotong royong yang terus hidup.
Nilai keempat, al-‘adalah (keadilan), adalah jantung dari kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan tidak akan pernah merata jika distribusi sumber daya, akses pendidikan, layanan kesehatan, dan kesempatan ekonomi masih timpang. Ketimpangan digital antara kota dan desa, ketimpangan kualitas pendidikan antar wilayah, serta ketidakadilan dalam akses permodalan bagi UMKM adalah tantangan nyata hari ini. Prinsip al-‘adalah menuntut negara untuk hadir tidak hanya sebagai pengatur, tetapi sebagai pelindung dan penjamin keadilan sosial.
Nilai kelima, al-istiqamah (konsistensi dalam kebaikan), adalah pengikat utama dalam seluruh proses transformasi bangsa. Konsistensi ini sangat penting di tengah dunia yang cepat berubah dan penuh distraksi. Banyak kebijakan baik yang kandas bukan karena kesalahan substansi, tetapi karena tidak ada keteguhan untuk menjalankannya secara berkelanjutan. Dalam birokrasi, misalnya, reformasi pelayanan publik kerap terjebak dalam pendekatan seremonial, padahal dibutuhkan kesinambungan yang kuat antara kebijakan, komitmen, dan pengawasan. Istiqamah menjaga bangsa agar tidak mudah tergelincir oleh godaan sesaat dan kepentingan jangka pendek.
Mabadi Khaira Ummah bukan sekadar rumusan etika, melainkan warisan luhur para ulama yang lahir dari perenungan mendalam atas ajaran Islam dan realitas sosial. Ia bukan hanya untuk kalangan pesantren atau warga Nahdlatul Ulama, tetapi merupakan kontribusi intelektual dan spiritual umat Islam Indonesia untuk bangsa. Nilai-nilai kejujuran, amanah, tolong-menolong, keadilan, dan istiqamah yang terkandung di dalamnya adalah pondasi moral yang kokoh untuk menopang arah pembangunan nasional yang berkeadaban.
Peringatan 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia adalah saat yang tepat untuk meneguhkan kembali komitmen kebangsaan, bukan hanya dalam bentuk slogan atau seremonial, tetapi dalam kerja nyata yang dilandasi kesadaran nilai. Indonesia tidak akan benar-benar bersatu tanpa tolong-menolong; tidak akan berdaulat tanpa kejujuran dan amanah; tidak akan sejahtera tanpa keadilan; dan tidak akan maju tanpa istiqamah dalam kebaikan. Maka, nilai-nilai Mabadi Khaira Ummah dapat menjadi pilar utama dalam menuntun bangsa ini melangkah menuju masa depan yang lebih bermartabat.
Sebagai birokrat yang berangkat dari tradisi NU, saya percaya bahwa kemajuan bangsa tidak cukup hanya dengan visi besar dan cetak biru pembangunan, tetapi juga memerlukan karakter kolektif yang kokoh. Karakter itu dibangun dari nilai-nilai spiritual yang hidup dalam kesadaran rakyat dan pemimpinnya. Inilah saatnya kita menanamkan kembali ruh nilai dalam seluruh sendi kehidupan kebangsaan—dalam pendidikan, pelayanan publik, kebijakan ekonomi, hingga relasi antarwarga.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, serta beriman kepada Allah.” (QS. Ali ‘Imran: 110)
Ayat ini adalah pengingat dan pengarah bahwa menjadi umat terbaik bukanlah status yang diwarisi, melainkan amanah yang harus dijalani. Maka, mari kita warisi kemerdekaan ini dengan penuh tanggung jawab, menjadikannya ruang untuk berbuat baik, membangun keadilan, dan menumbuhkan harapan. Sebab hanya dengan menjadi Khaira Ummah, kita pantas menjadi bangsa yang paripurna.
Puji Raharjo Soekarno, Ketua PWNU Lampung
Terpopuler
1
KH Thoifur Mawardi Purworejo Meninggal Dunia dalam Usia 70 tahun
2
Targetkan 45 Ribu Sekolah, Kemendikdasmen Gandeng Mitra Pendidikan Implementasi Pembelajaran Mendalam dan AI
3
Taj Yasin Pimpin Upacara di Pati Gantikan Bupati Sudewo yang Sakit, Singgung Hak Angket DPRD
4
Kuasa Hukum Rakyat Pati Mengaku Dianiaya hingga Disekap Berjam-jam di Kantor Bupati
5
Amalan Mengisi Rebo Wekasan, Mulai Mandi, Shalat, hingga Yasinan
6
Ramai Kritik Joget Pejabat, Ketua MPR Anggap Hal Normal
Terkini
Lihat Semua