Opini

Makna Saleh dan Macam-macamnya

Ahad, 17 Juli 2016 | 00:41 WIB

Oleh Cecep Zakarias El Bilad

Setiap manusia senang berbuat baik. Secara naluri, dorongan untuk beramal saleh atau berbagi kebaikan ini ada pada diri setiap insan, bahkan pada orang yang jahat sekalipun. Di samping, karena memang amal saleh juga dapat memberikan manfaat balik bagi pelakunya.

Dalam Islam, amal saleh adalah perintah agama. Allah menjanjikan balasan yang berlipat-lipat bagi setiap perbuatan baik. Nabi SAW bersabda, “Setiap kebaikan yang dilakukan manusia akan dilipatgandakan sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat...” (HR. Bukhari-Muslim).

Makna Saleh

Orang yang gemar beramal saleh disebut orang saleh. Di kalangan umat Islam, predikat saleh adalah idaman bagi setiap orang. Ketika ada seorang bayi lahir, doa yang selalu terucap dari lisan orangtua maupun karib-kerabat adalah “semoga menjadi anak yang saleh/salehah.” Apa dan siapa sebenarnya orang saleh itu?

Secara etimologis, kata saleh berasal dari bahasa Arab shāliḥ yang berarti terhindar dari kerusakan atau keburukan. Amal saleh berarti amal/perbuatan yang tidak merusak atau mengandung unsur kerusakan. Maka orang saleh berarti orang yang terhindar dari kerusakan atau hal-hal yang bersifat buruk. Yang dimaksud di sini tentu saja perilaku dan kepribadiannya, yang mencakup kata, sikap, perbuatan, bahkan pikiran dan perasaannya.

Tak hanya itu, dalam kamus al-Mu’jam al-Wasīth kata shaluḥa sebagai akar kata shāliḥ juga berarti bermanfaat. Dengan menggabungkan dua makna ini, maka orang saleh berarti orang yang perilaku dan kepribadiannya terhindar dari hal-hal yang merusak, dan di sisi lain membawa manfaat bagi lingkungan sekitarnya. Dengan kualitas tersebut, ia menjadi sosok harapan dan teladan bagi orang-orang di sekitarnya.

Macam Kesalehan

Dalam Al-Qur’an kata shāliḥ disebutkan sebanyak 124 kali dalam berbagai variasi makna, termasuk bentuk jamaknya shāliḥūn/ shāliḥāt. Satu di antaranya adalah Surat al-Anbiya (105), yang mengabarkan tentang keberadaan dan peran penting orang-orang saleh bagi kehidupan di muka bumi, “Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur bahwa bumi ini dititipkan kepada hamba-hamba-Ku yang saleh.

Tentang ayat ini, Syekh Mutawalli Sya’rawi dalam Tafsīr asy-Sya’rāwī menjelaskan, bahwa di setiap tempat di muka bumi ini terdapat orang saleh. Ia ditugaskan Allah untuk mengatur dan mengelola lingkungannya. Ia bisa siapapun, tidak harus seorang Muslim.

Menurut Syekh Sya’rawi, orang saleh itu ada dua macam, saleh duniawi dan saleh ukhrawi. Pertama, saleh duniawi adalah saleh dalam arti asal, yakni orang yang berkepribadian baik sehingga di manapun berada ia tidak merugikan tapi justru banyak memberi manfaat bagi orang-orang di sekitarnya. Namun kesalehan semacam ini hanya berdimensi etis, bahwa apa yang dilakukannya itu baik atau benar berdasarkan pertimbangan akal sehat. Kesalehan tersebut bersifat universal dan dapat diakui secara rasional oleh semua manusia.

Orang saleh jenis ini bisa kita temukan di tempat mana pun di muka bumi ini. Ia bisa seorang muslim, non-muslim bahkan ateis sekalipun; apapun profesi, jenis kelamin dan status sosialnya. Di lingkungannya, ia menciptakan keadilan, keteraturan, kedamaian, kemajuan dan kemakmuran. Namun ibarat bangunan, kesalehan tersebut berdiri tanpa fondasi relijius-spiritual sehingga hanya berdimensi duniawi.

Kedua, saleh ukhrawi, yakni kesalehan yang lahir dari keimanan. Kebaikan yang dilakukan sebagai ekspresi dari ketaatan kepada Tuhan. Artinya, seseorang berkepribadian atau melakukan kebaikan tidak sekedar karena tuntutan etika, tapi juga atas kesadaran penuh sebagai seorang hamba Allah untuk berbuat baik kepada sesama hamba dan ciptaan-Nya. Untuk itu dalam setiap tindakannya, ia juga selalu memperhatikan aturan-aturan dan hukum agama, seperti halal dan haram, atau wajib dan sunnah.

Garis pembeda antara saleh duniawi dan ukhrawi ini ialah keimanan, sehingga saleh ukhrawi ini hanya bisa dimiliki oleh seorang Muslim. Kebaikan yang dilakukan bisa saja serupa, namun berbeda nilainya. Kesalehan ukhrawi bernilai dunia sekaligus akherat. Contohnya ketika seorang Muslim menyingkirkan paku di jalan. Ia melakukannya bukan sekedar karena dorongan etis untuk berbuat baik pada sesama manusia, tapi juga karena tuntunan agama untuk mencegah keburukan menimpa orang lain.

Seorang Muslim yang saleh menyadari bahwa dirinya bukan hanya sebagai manusia, tapi juga sebagai hamba Allah. Ia sadar, sebagai manusia tentu memiliki kekurangan. Namun ia berusaha agar kekurangannya itu bisa diminimalisir dan tidak merugikan orang lain. Sebaliknya, dengan kemampuan dan kelebihan yang dimilikinya, ia berupaya memberi manfaat sebanyak-banyaknya bagi orang lain dan lingkungannya.

Ia pun sadar bahwa hidup ini hanya sementara. Baik-buruk perilakunya selama hidup di dunia akan dipertanggungjawabkannya di hadapan Allah SWT kelak di hari kiamat. Inilah orang saleh yang barangkali dimaksudkan Allah dalam firman-Nya, “Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka akan ditempatkan bersama dengan orang-orang yang Allah anugerahi nikmat, yaitu para Nabi, para shiddīqīn, para syuhada, dan orang-orang saleh. Mereka adalah sebaik-baik teman.” (QS. An-Nisa: 69).

Berdasarkan ayat ini, orang saleh adalah satu di antara empat golongan manusia yang dimuliakan Allah. Di dunia ia memiliki banyak teman, dan di akherat ia akan mendapat nikmat. Wajarlah, bila anak saleh/hah menjadi dambaan setiap orangtua kepada anak-anaknya. Di samping karena, seperti menurut Syekh asy-Sya’rawi, anak yang saleh dapat memberikan kedamaian batin serta dapat menjadi kebanggaan tersendiri bagi kedua orangtuanya.

Jadi, sejatinya menjadi saleh adalah pilihan bagi siapa saja orang beriman. Sebagai manusia, setiap kita tentu mempunyai kelemahan dan kekurangan, namun itu semua adalah sisi manusiawi untuk disadari dan dikoreksi. Selain itu, manusia juga dibekali Allah dengan berbagai kemampuan dan kelebihan. Semua itulah yang menjadi modal baginya untuk berbagi kebaikan sebanyak-banyaknya kepada orang lain dan lingkungan.

Akhirnya kembali kepada diri masing-masing, kapan mau menjadi saleh. Wallāhu a’lam.


Penulis adalah Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan – IAIN Palangka Raya