Opini

NU: Diplomasi sebagai Jihad Moral

NU Online  ·  Sabtu, 28 Juni 2025 | 08:16 WIB

NU: Diplomasi sebagai Jihad Moral

Ilustrasi Nahdlatul Ulama (Foto: NU Online)

Gencatan senjata akhirnya tercapai antara Iran dan Israel setelah rentetan serangan saling balas yang menegangkan kawasan Timur Tengah. Menariknya, salah satu poin utama yang sejak awal direkomendasikan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) adalah seruan untuk menghentikan kekerasan dan memulai gencatan senjata. 


Kini, ketika gencatan itu benar-benar terjadi, posisi NU terbukti relevan dan presisi dalam membaca dinamika konflik. Seruan tersebut bukan sekadar retorika damai, melainkan bagian dari strategi defleksi diplomasi untuk mencegah eskalasi lebih lanjut dan membuka ruang diplomasi bermartabat.


Iran, yang merasa kedaulatannya dilanggar oleh serangan terhadap fasilitas nuklirnya, merespons dengan menembakkan ratusan rudal ke berbagai titik strategis Israel dan bahkan ke pangkalan militer Amerika Serikat di Qatar. Reaksi dari dunia Muslim pun mengalir deras: media sosial dipenuhi sorak-sorai, ulama-ulama populer menyebutnya sebagai 'fajar kemenangan', dan sebagian publik Muslim menganggapnya sebagai momen kebangkitan harga diri Islam yang lama terpendam. 


Namun di tengah atmosfer emosional ini, Nahdlatul Ulama (NU) mengambil posisi dengan menyerukan gencatan senjata, menolak glorifikasi kekerasan, dan mendorong diplomasi sebagai jalan penyelesaian.


Langkah ini tidak sekadar simbolis. Ia merepresentasikan warisan panjang pemikiran Islam Nusantara yang menempatkan akal sehat, etika, dan kemaslahatan umat di atas euforia perlawanan. Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf, menyampaikan pernyataan yang tegas namun tenang: kekerasan bukan jawaban. 


Dalam narasi yang lebih dalam, sikap NU adalah bentuk "defleksi diplomasi"—yakni upaya sadar untuk mengalihkan fokus umat dari glorifikasi kekuatan destruktif menuju kesadaran atas pentingnya perubahan struktural melalui cara-cara yang bermartabat dan rasional. NU tidak sekadar menjadi penonton, tetapi berperan sebagai aktor moral yang menginterupsi narasi dominan tentang kekuatan dan kemenangan.


Dalam kerangka itu, jihad tidak semata-mata bermakna konfrontasi fisik. Para filsuf dan pemikir Islam klasik, seperti Al-Ghazali dan Ibn Khaldun, menegaskan bahwa jihad sejati adalah perjuangan melawan hawa nafsu, kebodohan, dan dorongan destruktif dalam diri. Al-Ghazali dalam Ihya' Ulum al-Din menyebutkan bahwa jihad terbesar (al-jihad al-akbar) adalah jihad melawan diri sendiri. Ini adalah perjuangan panjang dan sunyi untuk menjaga keseimbangan nalar dan spiritualitas di tengah godaan kekuasaan dan amarah.


Ibn Khaldun dalam Muqaddimah bahkan menyoroti bahaya ketika kekuasaan agama dijadikan kendaraan kekuatan politik yang agresif. Menurutnya, stabilitas dan keadilan adalah fondasi peradaban Islam yang sejati, bukan ekspansi militer tanpa arah moral. Maka dari itu, jihad yang tidak diarahkan oleh ilmu, adab, dan pertimbangan maslahat, hanya akan menggandakan kerusakan.


Dalam konteks modern, pernyataan ini menjadi sangat relevan. Ketika sebagian besar dunia Islam (terutama di kawasan Timur Tengah) terjebak dalam glorifikasi militer, NU menawarkan jalan ketiga: jalan diplomasi berbasis nilai. Jalan ini mungkin tidak menawarkan kemenangan instan, tetapi ia menawarkan kesinambungan dan pengaruh jangka panjang. 


Dalam istilah strategi perang klasik, Sun Tzu dalam The Art of War menulis bahwa kemenangan terbaik adalah yang diraih tanpa pertempuran. Pandangan ini sejalan dengan strategi NU: menghindari konfrontasi frontal, tetapi menekan melalui pengaruh moral, jaringan internasional, dan tekanan diplomatik yang cerdas.


Sikap ini bukan baru kali ini ditunjukkan NU. Sejak Resolusi Jihad 1945 yang diprakarsai KH Hasyim Asy'ari, NU telah menunjukkan bahwa jihad bukanlah ledakan kemarahan, melainkan keputusan strategis yang didasarkan pada maslahat dan pertimbangan etik. 


Dalam berbagai konflik kontemporer seperti Suriah, Yaman, atau Afghanistan, NU tidak terpancing pada retorika sektarian. NU menolak terlibat dalam adu kekuatan antarmazhab yang kerap membajak perjuangan umat untuk kepentingan geopolitik pihak tertentu.


Namun tentu, jalan diplomasi ini tidak bebas dari kritik. Banyak yang menilai NU terlalu lembut, tidak cukup vokal dalam membela Palestina, atau bahkan dianggap bersikap ambigu terhadap Iran. Kritik ini muncul karena banyak yang melihat konflik hanya dalam dimensi hitam-putih: siapa membela Palestina dianggap benar, siapa menyerukan damai dianggap lemah. Di sinilah justru NU menempati posisi penting sebagai penjaga nalar. Tanpa nalar, perjuangan mudah tergelincir menjadi balas dendam. Tanpa arah moral, perlawanan menjadi tiruan dari kekerasan yang kita kutuk.


Tantangan terbesar hari ini bukan hanya agresi Israel atau dominasi geopolitik AS, tetapi ketidakmampuan dunia Islam membangun narasi alternatif yang rasional, adil, dan bermartabat. NU, dengan modal historis dan jaringan globalnya, berada dalam posisi strategis untuk membangun diplomasi warga (citizen diplomacy) yang bisa menjadi corong suara Islam moderat. NU bisa menjembatani dialog antara komunitas Syiah dan Sunni, menggalang kekuatan masyarakat sipil lintas negara, dan menjadi pionir dalam mengusulkan forum perdamaian berbasis nilai Islam.


Indonesia pun memiliki peran vital. Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia dapat dan seharusnya menjadi pelopor diplomasi etis yang mengedepankan kemanusiaan dan keadilan, bukan sekadar kepentingan strategis. Dalam konteks ini, kekuatan moral NU menjadi sumber daya diplomatik yang langka dan sangat berharga.


Yang perlu ditegaskan adalah bahwa sikap NU bukan anti-perlawanan. Justru NU ingin menghindari perlawanan yang kehilangan jiwa. Sebab jihad, dalam makna terdalamnya, bukan soal menang atau kalah di medan perang, tetapi soal menjaga agar nilai-nilai keadilan, kasih sayang, dan kemaslahatan tetap menjadi kompas perjuangan. Ketika umat Islam mulai menyamakan balas dendam dengan kemenangan, NU hadir mengingatkan bahwa tidak semua dentuman bom adalah pertanda kemuliaan.


Inilah jihad moral yang ditawarkan NU. Bukan jihad yang bising, tetapi yang bernas. Bukan jihad yang viral, tetapi yang visioner. Di tengah dunia yang makin gaduh oleh slogan dan peluru, NU mengajarkan bahwa kekuatan Islam sejati terletak pada kejernihan berpikir, keteguhan sikap, dan keberanian untuk tidak ikut arus. Sebab dalam kebisingan pertempuran, suara yang jernih sering kali paling sulit terdengar—tetapi justru paling perlu dipertahankan.


NU mungkin tidak memegang senjata, tapi ia memegang prinsip. Dan dalam sejarah peradaban, prinsip yang dijaga teguh lebih berumur panjang daripada kemenangan yang diraih lewat kebencian. Dengan diplomasi sebagai jihad moral, NU menapaki jalan sunyi yang tidak populer, tapi sangat diperlukan. Sebuah jihad yang bukan sekadar menaklukkan lawan, tetapi menyelamatkan kemanusiaan.


Eko Ernada, dosen dan peneliti Kajian Timur Tengah, Universitas Jember, pengurus Badan Pengembangan Jaringan Internasional (BPJI) PBNU