Pustaka

Buku Ilan Pappé: Membongkar Skenario Penjajahan Israel atas Palestina 

NU Online  ·  Rabu, 27 Agustus 2025 | 16:00 WIB

Buku Ilan Pappé: Membongkar Skenario Penjajahan Israel atas Palestina 

Jilid buku tentang penjajahan Israel atas Palestina (kiri) dan pengarangnya Ilan Pappé (kanan) (Foto: Abi. S. Nugroho)

Di tengah simpang siur arus informasi dan penuh disinformasi mengenai Palestina, buku ringkas sering dianggap “menyederhanakan yang kompleks.” Namun Ilan Pappé, sejarawan Israel yang sejak lama dikenal bagian dari New Historians, dan kelompok sayap kiri yang kritis terhadap Benjamin Netanyahu membuktikan, ringkas tidak berarti dangkal. 


Buku ini, edisi Inggrisnya terbit pada 2024, menyajikan peta panjang persoalan Israel–Palestina dengan kejelasan analitis yang jarang kita temui. Alih-alih memulai dari perang 1967 atau deklarasi negara Israel pada 1948, Pappé memilih memulainya dari tahun 1882, ketika gelombang pertama pendudukan Zionis tiba di Palestina yang kala itu berada di bawah kekuasaan Ottoman. 


Dari sini terlihat jelas tesis Pappé. Akar persoalan bukanlah hanya “pertikaian dua pihak,” melainkan proyek kolonialisasi yang sejak awal bertujuan merombak demografi, hukum, dan ruang hidup Palestina (Pappé, 2024).


Edisi Indonesia yang diterbitkan GDN Press dengan terjemahan Mirza Jaka Suryana mengambil langkah editorial berani. Kata “conflict” yang digunakan dalam judul edisi Inggris diganti dengan istilah “penjajahan,” sehingga menjadi Sejarah Ringkas Penjajahan Israel atas Palestina. 


Perubahan diksi ini bukan soal terjemahan, tetapi sebuah keputusan politik bahasa. Dengan istilah “penjajahan,” pembaca langsung diajak melihat realitas hubungan asimetris, penjajah dan terjajah. Alih-alih bingkai samar “konflik” yang sering menutupi fakta kolonialisme. Konteks Indonesia, yang akrab dengan memori anti-penjajahan, membuat pilihan istilah ini terasa tepat, membumi lebih dekat dengan kenyataan.


Isi buku menawarkan narasi yang padat tapi jelas. Pappé menelusuri perkembangan dari Deklarasi Balfour, mandat Inggris, tragedi Nakba 1948, pendudukan 1967, hingga kebuntuan proses perdamaian Oslo. Semua peristiwa itu ia rangkai sebagai bagian dari satu kontinum kolonial, bukan deretan krisis terpisah. 


Dengan cara ini, pembaca didorong memahami bahwa kekerasan, pengusiran, dan kebijakan diskriminatif bukan anomali, melainkan konsekuensi logis dari struktur kolonialisme yang sudah dibangun sejak akhir abad ke-19. Bahkan, peristiwa-peristiwa mutakhir, termasuk tragedi pasca 7 Oktober 2023, ditempatkan sebagai kelanjutan dari struktur yang sama, bukan sebagai “penyimpangan sejarah.”


Tesis utama Pappé adalah bahwa relasi Israel–Palestina tidak dapat dijelaskan dengan istilah simetris “dua pihak berkonflik.” Ada ketimpangan kekuasaan yang beroperasi, di mana proyek kolonial Zionis sejak awal didukung kekuatan imperialis dan diarahkan menciptakan mayoritas koloni Yahudi di tanah Palestina.

 

Dalam karya sebelumnya, The Ethnic Cleansing of Palestine (2006), Pappé menunjukkan bahwa pengusiran massal warga Palestina pada 1948 bukanlah akibat sampingan perang, tapi rencana sistematis etnis cleansing (Pappé, 2006/2007). Gagasan itu kini ia padatkan kembali dalam bentuk yang lebih mudah diakses bagi khalayak luas.


Menariknya, kerangka Pappé sejalan dengan laporan-laporan organisasi HAM terkemuka dan otoritatif. Pada 2021, B’Tselem tegas menyatakan bahwa Israel menerapkan rezim apartheid dari Sungai Yordan sampai Laut Tengah. Human Rights Watch pada tahun yang sama menyebut bahwa otoritas Israel telah melampaui ambang batas kejahatan apartheid dan persekusi.

 

Amnesty International pada 2022 memperkuat temuan serupa, menyebut adanya sistem dominasi kejam yang harus dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (B’Tselem, 2021; Human Rights Watch, 2021; Amnesty International, 2022). 


Dengan menyandarkan analisis pada struktur ketidakadilan ini. Pappé menolak kerangka negosiasi “dua negara” yang sering dianggap sebagai solusi teknis tanpa menyentuh akar masalah. Baginya, tanpa membongkar sistem kolonial, tidak ada perdamaian yang benar-benar bersumber pada upaya menghadirkan keadilan.


Dalam konteks edisi Indonesia, penekanan pada istilah “penjajahan” jadi lebih penting lagi. Ia mengingatkan publik bahwa persoalan Palestina tidak bisa dipandang sebagai perkelahian dua pihak dengan tanggung jawab moral setara dan seimbang. Satu pihak berupaya menduduki, menguasai, dan merampas, sementara pihak lain menjadi korban dari relasi struktur tersebut. 


Dengan demikian, penggunaan istilah “penjajahan” membuka jalan bagi publik Indonesia untuk lebih kritis membaca ulang relasi tersebut, sekaligus mengaitkan dengan pengalaman sejarah bangsa sendiri yang pernah merasakan imperialisme dan kolonialisme.


Kekuatan buku ini terletak pada kerangka naratif yang konsisten, penalaran normatif yang terang, dan kegunaannya untuk belajar sejarah. Dimulai dari tahun 1882, riwayat penindasan yang dibangun Pappé membuat pembaca bisa menghubungkan titik-titik besar dalam sejarah Palestina secara utuh. Ia tidak menyamarkan posisi etisnya, apartheid dan penjajahan tidak bisa dinaturalisasi sebagai “konflik.” 


Keberanian menegaskan posisi moral inilah yang membuat buku ini berbeda dari banyak pengantar populer yang memilih berlindung di balik klaim “netralitas.” Dalam hal kegunaan praktis, buku ini amat cocok sebagai bacaan pengantar, baik untuk kelas, ruang redaksi, maupun forum diskusi kebijakan.

 

Dengan panjang sekitar 150 halaman, ia dapat menjadi pintu masuk sebelum pembaca melangkah ke karya yang lebih tebal dan kutipan arsip seperti Rashid Khalidi dengan The Hundred Years’ War on Palestine (2020) atau Nur Masalha dengan studi tentang konsep “transfer” dalam wacana Zionis.


Namun, ringkas tentu berarti ada trade-off. Beberapa aspek tidak mendapat porsi detail, misalnya dinamika internal Palestina, fragmentasi politik, benturan ideologis, atau transformasi taktik perlawanan yang hanya disinggung sepintas. Begitu pula dimensi teknokratis pendudukan, zoning, izin, sistem identitas, hingga infrastruktur pemisahan yang jadi tulang punggung apartheid. Organisasi HAM internasional sudah membongkar detail itu, tapi Pappé memilih menyajikannya pada level sintesis. 


Keterbatasan lain, buku ini tidak banyak berdialog dengan kritik metodologis yang diarahkan kepadanya, misalnya dari Benny Morris atau kalangan akademisi pro-Israel. Kritik tersebut sering menuduh Pappé terlalu ideologis dalam membaca arsip. Walau ia sudah menjawab sebagian dalam karya-karya sebelumnya, edisi ringkas ini tidak menyediakan ruang untuk pembelaan metodologis.


Meski demikian, keterbatasan tersebut justru menunjukkan pilihan sadar. Buku ini memang diniatkan bukan sebagai kompendium teknis, melainkan manifesto historis ringkas. Ia hendak menggeser kerangka berpikir publik, bukan mengulang detail data-data arsip. Justru di situlah kekuatan utamanya, sebab ia lugas menjelaskan dan berpihak, tanpa jatuh pada simplifikasi dangkal.


Di Indonesia, buku ini berpotensi mengoreksi dua jebakan diskursif. Pertama, jebakan simetri palsu, di mana publik sering digiring menganggap Israel dan Palestina sama-sama bertanggung jawab atas kekerasan. Padahal, dalam bingkai kolonial, tanggung jawab tidak mungkin didistribusikan secara seimbang. Kedua, jebakan teknokratis “dua negara,” yang cenderung mengabaikan pertanyaan, bagaimana ketidaksetaraan hukum dan politik diakhiri? Pappé menegaskan, keadilan harus jadi prasyarat perdamaian, bukan aksesori negosiasi.


Untuk memperdalam pemahaman, buku ini sebaiknya dibaca bersama literatur pelengkap. Karya Nur Masalha mengungkap detail konsep “transfer” yang menelusuri akar kebijakan pengusiran. Rashid Khalidi menyajikan sejarah panjang sebagai perang seratus tahun terhadap Palestina, menautkan narasi politik dengan pengalaman keluarga. Laporan B’Tselem, HRW, dan Amnesty menambah dimensi hukum kontemporer. Dengan kombinasi itu, pembaca dapat menilai apakah kategori “pendudukan kolonial” dan apartheid hanya slogan politik atau memang temuan konseptual yang berbasis bukti.


Sebagai kesimpulan, buku ini berhasil mengambil peran sebagai bacaan primer yang kuat dengan gagasan utama yang jelas, historisasi tajam, dan posisi etis tidak bersembunyi di balik eufemisme. Edisi Indonesia bahkan menambah bobot dengan pilihan istilah “penjajahan,” yang mengingatkan kita bahwa bahasa bukanlah netral, melainkan politis. Keterbatasan yang muncul adalah konsekuensi dari format ringkas, bukan cacat analisis. Justru dengan format ini, Pappé lebih mampu menjangkau pembaca luas, dari mahasiswa hingga aktivis, dari jurnalis hingga pengambil kebijakan.


Pertanyaan apakah Pappé terlalu normatif bisa saja diajukan, tetapi pertanyaan itu sendiri mengabaikan kenyataan bahwa sejarah selalu adalah narasi tentang beroperasinya kekuasaan. Pappé memosisikan dirinya tidak hanya sebagai sejarawan arsip, melainkan intelektual publik dengan sikap yang jelas terhadap pendudukan Israel. Dalam konteks Indonesia yang memiliki pengalaman sejarah anti-penjajahan, buku ini sangat relevan membentuk keyakinan dan solidaritas dengan menguatkan pemahaman struktural, bukan semata-mata emosional.


Sebagai bacaan pengantar, buku ini wajib dimiliki. Ia menyajikan kerangka berpikir tajam sekaligus mudah dimengerti dengan keberanian menolak eufemisme. Untuk mendalami detail teknis, tentu perlu diteruskan dengan literatur tambahan. Namun sebagai pintu masuk, Pappé berhasil memberikan satu hal paling penting, yakni membongkar skenario penjajahan Israel.


Data Buku
Judul buku           : A Very Short History of the Israel-Palestine Conflict 
Penulis                 : Ilan Pappé 
Edisi Indonesia    : Sejarah Ringkas Penjajahan Israel atas Palestina
Penerjemah         : Mirza Jaka Suryana
Penerbit               : GDN Press

Peresensi             : Abi S. Nugroho, pengurus Lakpesdam PBNU