Ramadhan

Batas Minimal Menghidupkan Lailatul Qadar

Sen, 1 April 2024 | 17:00 WIB

Batas Minimal Menghidupkan Lailatul Qadar

Batas minimal menghidupkan lailatul qadar. (NU Online).

Di antara keistimewaan bulan Ramadhan yang tidak dimiliki bulan lainnya adalah adanya malam lailatul qadar. Malam yang Allah sendiri mengatakan keutamaannya dalam Al-Quran. Malam tersebut lebih utama daripada 1000 bulan. Dalam arti ibadah di malam itu mempunyai nilai tambah berupa kemuliaan dan pahala yang lebih baik dari ibadah 1000 bulan.
 

Keutamaan Lailatul Qadar

Dalam hadits shahih riwayat Imam Al-Bukhari disebutkan keutamaan menghidupkan malam lailatul qadar adalah akan dihapuskan dosa-dosa yang telah dikerjakan.
 

وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ القَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
 

Artinya, "Dan barangsiapa menghidupkan malam lailatul qadar karena iman kepada Allah dan mengharapkan pahala-Nya maka akan diampuni dosa-dosa yang telah dikerjakannya." (HR Al-Bukhari).
 

Batas Minimal Menghidupkan Lailatul Qadar

Namun, berapa batas minimal orang dinilai telah menghidupkan malam lailatul qadar sehingga dapat memperoleh kemuliaan dan keistimewaan malam tersebut? 
 

Sebelumnya perlu dijelaskan bahwa malam lailatul qadar secara hakikatnya tidak ada yang mengetahui kecuali Allah atau orang-orang yang Allah kehendaki. Sehingga yang dimaksud dengan malam lailatul qadar di sini adalah malam-malam gasal pada 10 terakhir bulan Ramadhan sebagaimana telah diketahui.
 

Ubaidillah Ar-Rahmani Al-Mubarakfuri (w 1994) dalam kitabnya, Mir'atul Mafatih, menjelaskan frasa 'man qama lailatalqadar' maksudnya menghidupkan malam lailatul qadar baik ia mengetahui malam tersebut ataupun tidak.
 

Ada yang berpendapat bahwa telah mencukupi sebagai bentuk menghidupkan malam lailatul qadar adalah apa yang disebut sebagai menghidupkan. Hingga orang yang mengerjakan shalat isya dengan berjamaah maka ia telah terhitung menghidupkan malam lailatul qadar. Akan tetapi lahirah hadits secara 'urf sebagaimana disampaikan oleh Al-Karmani menunjukkan bahwa orang tidak dikatakan telah menghidupkan malam kecuali telah menghidupkan seluruh malam atau sebagian besarnya. (Ubaidillah Ar-Rahmani Al-Mubarakfuri, Mir'atul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih, [Banaras India, Idaratul Buhuts Al-Ilmiyah: 1984],  juz VI, halaman 405).
 

Dengan demikian kadar menghidupkan malam lailatul qadar sehingga seseorang berhak mendapatkan keutamaannya sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas sebenarnya masih diperselisihkan ulama. Melihat lahiriah hadits, untuk mendapatkan keutamaan lailatul qadar harus memghidupkan seluruh malamnya atau mayoritas malamnya. Namun ada pendapat yang mengatakan hanya cukup dengan mengerjakan shalat isya secara berjamaah.
 

Ragam Pendapat Ulama tentang Batas Minimal Menghidupkan Lailatul Qadar 

Sayyid Abdullah Al-Ghumari dalam kitab Ghayatul Ihsan banyak menyebutkan riwayat tentang kadar minimal seorang dianggap telah menghidupkan malam lailatul qadar sebagai berikut:
 

Disampaikan oleh Imam Malik dalam kitabnya, Al-Muwatha', telah sampai kepada beliau bahwa Sa'id bin Musayyib berkata:
 

مَنْ شَهِدَ الْعِشَاءَ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ-يعني في جماعة-  فَقَدْ أَخَذَ بِحَظِّهِ مِنْهَا
 

Artinya, "Barang siapa mengerjakan shalat Isya secara berjamaah pada malam lailatul qadar maka ia telah memperolah bagiannya dari lailatul qadar."

Imam As-Syafi'i dalam qaul qadim berkata:
 

مَنْ شَهِدَ الْعِشَاءَ والصبح لَيْلَة الْقَدْرِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظِّهِ مِنْهَا
 

Artinya, "Barang siapa mengerjakan shalat Isya dan Subuh secara berjamaah pada malam lailatul qadar maka ia telah memperolah bagiannya dari lailatul qadar."
 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah dengan kualitas hadits mar'fu:
 

من صلى العشاء الآخرة جماعة في رمضان فقد ادرك ليلة القدر
 

Artinya, "Barang siapa shalat Isya yang akhir (shalat isya) dengan jamaah di bulan Ramadhan maka ia telah memperoleh lailatul qadar."
 

Kemudian beliau menyebutkan hadits mursal (dha'if) yang diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya dari Abi Ja'far Muhammad bin Ali, bahwa Nabi Muhammad saw bersabda:
 

مَنْ أَتَى عَلَيْهِ رَمَضَان صَحِيحًا مُسْلِمًا، صَامَ نَهَارَهُ، وَصَلَّى وِرْدًا مِنْ لَيْلِهِ، وَغَضَّ بَصَرَهُ، وَحَفِظَ فَرْجَهُ وَلِسَانَهُ وَيَدَهُ، وَحَافَظَ عَلَى صَلَاتِهِ مَجْمُوعَةً، وَبَكَّرَ إِلَى جُمَعِهِ، فَقَدْ صَامَ الشَّهْرَ، وَاسْتَكْمَلَ الْأَجْرَ، وَأَدْرَكَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ، وَفَازَ بِجَائِزَةِ الرَّبِّ
 

Artinya, "Barangsiapa menjumpai Ramadhan dalam keadaan sehat dan muslim lalu ia puasa di siang harinya, shalat rutin di sebagian malamnya, menjaga pandangan matanya, menjaga kemaluan, lisan dan tangannya, menjaga shalat berjamaah dan bersegera pergi (pagi-pagi) menuju shalat Jumat, maka ia telah berpuasa sebulan penuh, mendapatkan pahala secara utuh, mendapatkan lailatul qadar, dan berhasil mendapatkan hadiah (piala penghargaan) dari Allah."  (HR Ibnu Abid Dunya).
 

Setelah menyebutkan riwayat-riwayat di atas kemudian Al-Ghumari menyimpulkan:
 

"Anugerah Allah sangatlah luas sehingga orang yang mengerjakan shalat Isya dan subuh dengan berjamaah sepanjang bulan Ramadhan, maka harapannya ia tidak terhalang mendapatkan lailatul qadar." (Abdullah bin Muhammad bin As-Shiddiq Al-Ghumari, Ghayatul Ihsan fi Fadhli Zakatil Fitri wa Fadhli Ramadhan, [Beirut, Alamul Kutub: 1985], halaman 58).
 

Simpulan

Walhasil, batas minimal menghidupkan malam lailatul qadar sehingga seseorang berhak mendapatkan kemuliaan dan keistimewaan malam tersebut masih diperselisihkan ulama. 

 

adalah dengan istiqamah mengerjakan shalat Isya dan subuh dengan berjamaah sepanjang bulan Ramadhan, sekalipun ia tidak menemui atau mengetahui (tanda-tanda) malam lailatul qadar, dengan anugerah Allah yang maha luas, besar harapan ia akan mendapatkan kemuliaan dan keistimewaan malam lailatul qadar. Wallahu a'lam bisshawab.

Ustadz Muhamad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo