Risalah Redaksi

Perebutan Kekuasaan

Kam, 14 Mei 2009 | 13:04 WIB

Demokrasi dianggap sebagai cara damai untuk merebut kekuasaan, karena itu merupakan cara yang dilegitimasi di mana-mana. Tidak peduli apakah berbagai prosedur demokrasi tersebutdimanipulasi habis-habisan, tetapi sejauh proses formalnya berjalan sesuai rencana maka apapun hasilnya dianggap absah. Berbagai kekeliruan hingga kecurangan yang terjadi dalam pemilu legislatif yang lalu berlangsung begitu saja. Berbagai keberatan, keluhan, protes dibiarkan atanpa ujung, sehingga berbagai penyimpangan berlalu begitu saja. Mereka yang dirugikan hanya pasrah menghadapi keadaan.

Keresahan, keprihatinan dan kemarahan terhadap semerawutnya sistem pemilu ini masyarakt umum menilai ada kelompok  yang sengaja membuat kekaacauan untuk keuntungan kelompoknya. Tetapi semua kritik yang lantang itu bungkam saat terjadi pembagian kekuasaan, menjelang pemilihan presiden. Berbagai kekecewaan telah dianggap tidak pernah terjadi, karena masing-masing partai dan tokohnya sibuk berebut kekuasaan. Dalam perebutan ini, sama sekali tidak di dasari pada cita-cita atau idealisme tertentu, terbukti berbagai aliansi yang dijalankan sangat janggal.<>

Bagaimana mungkin dua partai yang platform serta ideologinya berbeda dan bertentangan bisa berkoalisi. Padahal dalam melaksanakan kebijakan politik riil di lapangan keduanya akan berbenturan. Koalisi semacam ini bukan untuk memperjuangkan idealisme, melainkan bertujuan pragmatis untuk memperoleh kekuasaan, sementara kekuasan yang diperoleh juga tidak akan digunakan untuk kepentingan ideal, tetapi untuk memenuhi ambisi pragmatis, yankni terakumulasinya kekayaan materi.

Ketika sistuasi sudah dengan demikian maka susah diharapkan arah politik nasional ke depan ini memberikan harapan bagi perbaikan sistem nasional. Indonesia ke depan memerlukan adanya konsolidasi nasional, yang tidak hanya konsolidasi partai-partai, dan konsolidasi pemerintahan, tetapi juga mencakup konsolidasi sosial. Pagmatisme politik kelihatannya tidak mengarah ke sana. Seluruh pilihan politik menunjukkan tidak menunjukkan adanya arah yang jelas, melainkan hanya mengikuti arus persaingan di lapangan. Seperti apa ke depannya arah politik ini hampir tidak terpikirkan. Semua langkah yanag ditempuh berjangka pendek, strategi jangka penjang menyemamatkan negara, membesarkan bangsa dan mensejahterakan rakyat cenderung terabaikan.

Kelihatannya harapan kepemimpinan nasional yang peduli pada masa dwepan rakyat, masa depan bangsa dan masa depan negara, tidak atau belum bisa diharapkan dari pimpinan partai politik yang ada, ketika semuanya hanya berpikir pragmatis dan berjangka pendek. Padahal unuk menyelematkan negara bangsa dan rakyat ini perlu berpkir ideal dan memiliki strategi janghka panjang. Keharusan partai politik melakukan kompromi kekuasaan itu akan merugikan kepentingan negara dalam jangka panjang. Sementara politisi tidak bisa mengindarkan keharusan berkompromi semacam itu. Akibatnya masyarakat idak lagi menaruh kepercayaan dan harapan pada mereka.

Dalam situasi begini biasanya pemimpin besar akan muncul di ranah kepemimpinan sosial dan budaya. Selama ini mereka tidak memiliki pretense politik, hanya membimbing dan mendampingi serta melayani masyarakat. Dengan kedekatannya dengan masyarakat yang terus-menerus yang tana pamirih itu mereka akan tampil sebagai pemimpin kharismatik yang ditaati. Sehinga berbagai perubahan pola pikir, perubahan sosial bisa dilakukan secara kebih mendasar dan mendalam. Perubahan besar memang akan berhasil dengan baik ketika dilakaukan secara mendasar yakni mengubah kesadaran masyarakat, perubahan kesadaran secara massif ini dengan sendirinya akan mengarah pada perubahan sikap politik. Di situlah perubahan politik besar akan terjadi.

Hal itu lebih dimungkinkan ketika kepercayaan pada pemimpin partai politik semakin meluas. Tetapi celakanya ketika kepemimpinan sosial saat ini belum apa-apa telah melakukan berbagai maneuver plitik layaknya sebuah partai politik untuk memperoleh kekuasan sesaat. Hal itu juga mengakibatkan memudarnya kharisme kepemimpinan sosial di tanah air. Maka di sini akan terjadi seleksi alamiah, mana pimpinan sosial yang murni memperjuangkan kepentingana masyarakat dan secara tulus ikhlas membela dan melindungi mereka, dan mana kepemimpina sosial yang sekadar selubung dari kepemimpinan politik yang tidak oeduli substansi hanya sibuk dengan pencitraan.

Dalam proses pengujian seperti sekarang ini kelihatan kepemimpinan sosial yang satu persatu meulai runtuh secara moral dan hanya beberapa kepemimpinan sosial yang tetap mampu mempertahankan integritas dan dedikasinya pada masyarakat yang dipimpin. Ini pun masih terus akan melangami seleksi alamiah, sehingga hanya akan muncul beberapa pemimpin yang benar-benar tangguh mempertahankan idealisme dan integritasnya sebagai pemimpin masyarakat dan akhirnya akan tampil sebagai pimpinan politik yang benar-benar membawa aspirasi rakyat. (Abdul Mun’im DZ)