Syariah

Shalat Tahajud Berjamaah, Bolehkah?

Kamis, 31 Januari 2019 | 16:00 WIB

Shalat Tahajud Berjamaah, Bolehkah?

Ilustrasi (via Pinterest)

Shalat tahajud didefinisikan oleh para ulama sebagai shalat yang dilakukan setelah melaksanakan shalat isya’ dan dilaksanakan setelah tidur. Terlaksananya dua hal ini (dilaksanakan setelah tidur dan setelah melaksanakan shalat isya’) merupakan syarat yang harus terpenuhi, agar shalat yang dilakukan di malam hari dapat dihitung sebagai ibadah shalat tahajud. Dengan demikian, akan tergolong dalam anjuran yang dijelaskan dalam Al-Qur’an:

وَمِنْ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَك عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا

“Dan pada sebagian malam, lakukanlah shalat tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Isra’, Ayat: 79)

Definisi shalat tahajud yang dijelaskan di atas sesuai dengan penjelasan Syekh Sulaiman al-Jamal dalam kitabnya, Hasyiyah al-Jamal ala al-Manhaj:

ـ (فَرْعٌ) يَدْخُلُ وَقْتُ التَّهَجُّدِ بِدُخُولِ وَقْتِ الْعِشَاءِ وَفِعْلِهَا خِلَافًا لِمَا يُوهِمُهُ كَلَامُ شَيْخِ الْإِسْلَامِ فِي بَعْضِ كُتُبِهِ وَيُشْتَرَطُ أَيْضًا أَنْ يَكُونَ بَعْدَ نَوْمٍ فَهُوَ كَالْوِتْرِ فِي تَوَقُّفِهِ عَلَى فِعْلِ الْعِشَاءِ وَلَوْ جَمْعَ تَقْدِيمٍ مَعَ الْمَغْرِبِ وَيَزِيدُ عَلَيْهِ بِاشْتِرَاطِ كَوْنِهِ بَعْدَ نَوْمٍ ا هـ

“Cabang permasalahan. Waktu tahajud dimulai dengan masuknya waktu Isya’ dan telah melaksanakan shalat isya’. Berbeda halnya pendapat yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari dalam sebagian kitabnya. Disyaratkan pula dilaksanakan setelah tidur. Shalat tahajud ini sama seperti shalat witir dalam hal digantungkan dengan pelaksanaan shalat isya’, meskipun dilaksanakan dengan cara jamak takdim bersamaan dengan shalat maghrib, hanya saja pada shalat tahajjud ditambahkan syarat berupa harus dilaksanakan setelah tidur.” (Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-jamal, juz 4, hal. 265)

Shalat tahajud bisa berupa berbagai macam shalat sunnah yang dapat dilaksanakan di malam hari, termasuk di antaranya shalat sunnah mutlak. Misalnya seperti yang dijelaskan dalam kitab Nihayah az-Zain:

والنفل المطلق بالليل أفضل منه بالنهار. ومن النفل المطلق قيام الليل، وإذا كان بعد نوم ولو في وقت المغرب وبعد فعل العشاء تقديماً يسمى تهجداً

“Melaksanakan shalat sunnah mutlak pada malam hari lebih utama dibandingkan dengan melaksanakannya pada siang hari. Sebagian dari shalat sunnah mutlak yaitu qiyamul lail (beribadah shalat di malam hari). Ketika shalat ini dilaksanakan setelah tidur, meskipun pada waktu maghrib setelah melaksanakan shalat isya’ dengan cara jamak takdim, maka shalat tersebut disebut shalat tahajud.” (Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani, Nihayah az-Zain, Juz 1, Hal. 179)

Selain shalat sunnah mutlak, shalat witir juga termasuk dalam kategori shalat tahajud ketika memang dilaksanakan setelah tidur. Hal ini dijelaskan dalam kitab al-Majmu’ ala syarh al-Muhadzzab:

ـ (فرع) الصحيح المنصوص في الأم والمختصر أن الوتر يسمى تهجدا

“Menurut pendapat shahih yang termaktub dalam kitab al-Um dan kitab al-Mukhtashar bahwa sesungguhnya shalat witir juga disebut shalat tahajud.” (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzzab, juz 4, hal. 48)

Selain shalat witir dan shalat sunnah mutlak, shalat tahajud juga mencakup berbagai macam shalat sunnah yang dilaksanakan setelah tidur dan setelah shalat isya’ serta dapat dilaksanakan di malam hari, seperti shalat tasbih dan shalat hajat. Sehingga shalat-shalat sunnah ini, selain disebut dengan penamaan secara khusus seperti witir, hajat, muthlak, dan tasbih, juga dari aspek lain disebut dengan shalat tahajud memandang waktu pelaksanaannya yang dilakukan setelah tidur dan shalat isya’.

Shalat-shalat yang termasuk dalam kategori shalat tahajud ini memiliki kesamaan yaitu tidak dianjurkan untuk dilakukan dengan cara berjamaah, dalam arti lebih dianjurkan untuk dilaksanakan dengan cara sendirian (munfarid). Namun jika shalat-shalat tersebut dilaksanakan dengan cara berjamaah maka tetap dihukumi sah. Ketentuan ini seperti yang dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ ala syarh al-Muhadzzab:

قال أصحابنا تطوع الصلاة ضربان (ضرب) تسن فيه الجماعة وهو العيد والكسوف والاستسقاء وكذا التراويح على الأصح (وضرب) لا تسن له الجماعة لكن لو فعل جماعة صح وهو ما سوى ذلك

“Shalat Sunnah dibagi menjadi dua bagian. Pertama, Shalat yang disunnahkan berjamaah yaitu shalat sunnah ‘ied, shalat gerhana, dan shalat istisqa’, begitu juga shalat tarawih menurut qaul ashah. Kedua, shalat yang tidak disunnahkan berjamaah, tapi jika dilaksanakan dengan cara jamaah, maka shalat tersebut tetap sah. Yaitu shalat selain dari bagian pertama di atas.” (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzzab, juz 4, hal. 5)

Lebih jauh lagi, meski shalat tahajud ketika dilakukan secara berjama’ah dihukumi sah, namun dari segi pelaksanaannya secara berjamaah tidak dihitung sebagai pahala. Sehingga seseorang yang melaksanakan shalat tahajud dengan berjamaah hanya mendapatkan pahala dari aspek melaksanakan shalat tahajud saja, tanpa mendapatkan pahala lain dari aspek jamaahnya. 

Namun jika melaksanakan jamaah pada shalat tahajud terdapat tujuan yang mengandung maslahat, misalnya mengajari orang lain agar terbiasa melaksanakan shalat tahajud, hal ini seperti yang biasa dilaksanakan di berbagai pondok pesantren di Indonesia. Maka dari aspek wujudnya tujuan yang baik tersebut, pelaksanaan tahajud secara berjamaah diganjar dengan pahala.

Namun tujuan baik yang terdapat di balik pelaksanaan shalat tahajud secara berjamaah dalam permasalahan di atas dibatasi sekiranya tidak sampai memunculkan mudarat, seperti akan menimbulkan persepsi pada orang lain bahwa shalat tahajud secara berjamaah merupakan hal yang dianjurkan oleh syara’. Maka ketika memunculkan mudarat tersebut, melaksanakan shalat tahajud secara berjamaah menjadi haram bahkan wajib untuk dicegah. Ketentuan demikian seperti yang dijelaskan dalam Bughyah al-Mustarsyidin:

ـ (مسألة : ب ك) : تباح الجماعة في نحو الوتر والتسبيح فلا كراهة في ذلك ولا ثواب ، نعم إن قصد تعليم المصلين وتحريضهم كان له ثواب ، وأي ثواب بالنية الحسنة ، فكما يباح الجهر في موضع الإسرار الذي هو مكروه للتعليم فأولى ما أصله الإباحة ، وكما يثاب في المباحات إذا قصد بها القربة كالتقوّي بالأكل على الطاعة ، هذا إذا لم يقترن بذلك محذور ، كنحو إيذاء أو اعتقاد العامة مشروعية الجماعة وإلا فلا ثواب بل يحرم ويمنع منها

“Diperbolehkan berjamaah pada shalat-shalat yang serupa dengan shalat sunnah witir dan tasbih, maka hal tersebut tidak dimakruhkan dan tidak mendapatkan pahala (atas jamaahnya), memang jika pelaksanaan jamaah tersebut ditujukan untuk mengajari orang-orang yang shalat dan memotivasi mereka, maka mendapatkan pahala dan setiap pahala digantungkan pada niat yang baik. Seperti halnya diperbolehkan mengeraskan suara pada shalat yang dianjurkan untuk dibaca pelan-pelan yang asalnya makruh, lalu diperbolehkan karena bertujuan mengajari (orang lain), apalagi shalat yang asalnya diperbolehkan (untuk dilaksanakan berjamaah). 

Dan juga seperti diganjarnya melakukan perbuatan yang mubah ketika ditujukan untuk ibadah, seperti niat bertujuan menguatkan diri untuk taat pada Allah saat makan. Ketentuan demikian ketika tidak berbarengan dengan hal yang dikhawatirkan seperti menyakiti orang lain atau orang awam meyakini bahwa berjamaah pada shalat sunnah di atas adalah hal yang memang disyariatkan. Jika terdapat hal-hal tersebut maka jamaah tersebut tidak mendapatkan pahala bahkan haram dan dicegah untuk melakukan hal ini.” (Abdurrahman bin Muhammad bin Husein Ba’lawi, Bughyah al-Mustarsyidin, Hal. 136)

Menyimak referensi di atas, sebaiknya bagi seseorang yang akan melaksanakan shalat tahajud secara berjamaah (dengan alasan kemaslahatan), agar memberi tahu terhadap para jamaahnya tentang hukum yang sebenarnya bahwa shalat tahajud asalnya dianjurkan untuk dilaksanakan secara sendirian, sedangkan dirinya mengajak orang lain untuk berjamaah karena bertujuan agar membiasakan untuk melaksanakan shalat tahajud. Dengan begitu, para jamaah tidak salah paham dalam memahami anjuran yang terdapat pada shalat tahajud.

Ketentuan yang sama juga berlaku pada shalat-shalat lain yang tidak dianjurkan berjamaah, seperti shalat dhuha, shalat rawatib, dan shalat sunnah lainnya. 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa shalat tahajud berjamaah merupakan hal yang boleh dilakukan tanpa adanya kemakruhan. Meskipun tidak diganjar atas nama pelaksanaan jamaahnya, tapi dipandang baik karena faktor wujudnya tujuan lain yang dipandang maslahat. Namun hal tersebut dibatasi selama tidak terdapat mudarat yang muncul dalam pelaksanaan shalat tahajud secara berjamaah ini, seperti meyakini bahwa jamaah pada shalat tahajud merupakan hal yang dianjurkan. Jika muncul mudarat demikian, maka melaksanakan shalat tahajud dengan berjamaah menjadi haram dan wajib dicegah. Wallahu a’lam.

(Ustadz Ali Zainal Abidin)


Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua