Syariah

Shalat Witir Lagi Setelah Shalat Sunnah Lain?

Ahad, 3 Mei 2020 | 06:30 WIB

Witir secara etimologi bermakna ganjil. Jadi shalat witir adalah shalat yang dikerjakan dengan bilangan ganjil. Namun, tidak setiap bilangan rakaat ganjil sah sebagai shalat witir. Mengingat aturan syariat menyangkut tata cara pelaksanaannya. Karena dalam hal ibadah, umat Islam tidak boleh beribadah mengikuti cara dan aturannya sendiri. Dalam satu kaidah fiqih yang termaktub dalam kitab Majmu’at al-Fawaid al-Bahiyah ‘ala Mandhumat al-Qawa’id al-Bahiyah disebutkan:

 

أن الأصل في العبادات الحظر والمنع

 

Artinya: “sesungguhnya asal dalam hal ibadah adalah larangan.

 

Oleh karenanya, tidak ada ranah kreasi dalam ritual ibadah. Kaidah di atas muncul berdasar pada dalil hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Al-Mu’minin Sayyidah Aisyah radliyallahu ‘anha. bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو ردّ (رواه مسلم)

 

Artinya: “Barang siapa yang mengerjakan satu amal ibadah yang tidak ada dalam aturan kami (Islam) maka amal ibadahnya ditolak (tidak diakui).

 

Berbeda halnya dengan interaksi dalam ranah mu’amalah (interaksi sosial). Maka asas yang diberlakukan adalah ibâhah (kebolehan). Oleh karena itu, ketika memang tidak ada, orang tidak perlu menunggu penjelasan syariat untuk berkreasi dalam kebutuhan sosialnya.

 

Adapun hukum mendirikan shalat witir menurut pendapat al-Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i dan Imam Malik bin Anas bin Malik adalah sunnah muakkadah. Artinya mengandung anjuran kuat untuk dilakukan. Hal ini berdasar pada sebuah hadits riwayat dari Sayyidina Ali karramallahu wajhah dalam Sunan at-Tirmidzi.

 

عن علي قال: الوتر ليس بحتم كصلاتكم المكتوبة ولكن سن رسول الله صلى الله عليه وسلم وقال إن الله وتر يحب الوتر فأوتروا يا أهل القرآن

 

Artinya: Dari Sayyidina Ali berkata,“(Shalat) witir bukanlah kewajiban sebagimana shalat maktubah kalian, akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyunnahkan hal itu. Dan beliau bersabda, Sesungguhnya Allah adalah Esa dan menyukai yang ganjil, karena itu, berwitirlah kalian wahai para ahli al-Quran.

 

Bertolak dari banyaknya ragam pendapat para ulama seputar shalat witir, baik dari aspek hukum melaksanakannya, seperti Imam Abu Hanifah yang tegas menyatakan bahwa shalat witir wajib, kemudian Imam as-Syafi’i dan imam Malik yang berpandangan bahwa hukum shalat witir adalah sunnah muakkadah; maupun dari aspek tata cara mengerjakannya, seperti pendapat Imam Malik bahwa shalat witir dikerjakan tiga rakaat yang dipisah dengan satu salam, Abu Hanifah yang berpandangan bahwa dikerjakan tiga rakaat tanpa dipisah dengan salam, atau Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa shalat witir boleh dikerjakan satu rakaat saja. Kalaupun berminat tiga rakaat, bisa dilakukan dengan dua cara sebagaimana pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah di atas. Dan beberapa aspek perdebatan lainnya.

 

Sehingga sampailah para ulama itu pada satu perdebatan dalam kasus seseorang yang telah berwitir sebelum tidur dan ketika terjaga, ia pun melaksanakan shalat sunnah, entah tahajud ataupun shalat sunnah yang lain.

 

Lalu pertanyaannya bagaimanakah status shalat sunnah yang dilakukan setelah witir tersebut—mengingat adanya perintah (hadits) untuk menjadikan witir sebagai penutup shalat malam? Kalau memang berstatus boleh, lantas apakah seseorang tersebut akan berwitir lagi sebagai penutup shalat malamnya—berdasar hadits tersebut? Jika memang demikian, lalu bagaimana dengan hadits yang menegaskan tidak boleh ada witir dua kali dalam satu malam?

 

Berikut ini adalah ulasan serta tarjih Imam Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd al-Qurtuby dalam kitab Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid.

 

Mula-mula beliau membahas pendapat para ulama yang terbagi menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah golongan mayoritas, mereka berpendapat ketika seseorang berwitir terlebih dahulu sebelum tidur dan telah melakukan shalat sunnah selepas terjaganya, sebagaimana deskripsi di atas, maka ia tidak boleh mengulang witirnya lagi sebagai penutup shalat malamnya. Pendapat ini didasarkan pada hadits riwayat dari sahabat Thalk bin Ali radliyallahu ‘anh berikut:

 

سمعتُ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم يقول: لا وِتْرَانِ في ليلة

 

Artinya: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,“Tidak ada dua witir dalam satu malam.

 

Golongan kedua diwakili oleh minoritas ulama yang berpandangan bahwa witir yang pertama harus digenapi terlebih dahulu dengan cara mengambil satu rakaat sebagai rakaat kedua sekaligus pembuka untuk kebolehan melakukan shalat sunnah yang lain. Kemudian berwitir kembali sebagai penutup dari shalat malamnya. Mengingat hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Abdullah bin Umar radliyallahu anh berikut:

 

عن ابن عمر: عن النبي صلى الله عليه وسلم قال اجعلوا آخر صلاتكم باليل وترا

 

Artinya: Dari Ibnu Umar ra. dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jadikanlah shalat witir sebagai akhir shalat malam kalian.

 

Kasus ini dikenal oleh para ulama dengan istilah naqdl al-witri (merusak shalat witir).

 

Ibnu Rusyd al-Qurtuby membahas aspek lemahnya pendapat golongan minoritas ini. Beliau berpendapat bahwa golongan ini lemah dari dua aspek. Pertama, karena shalat witir tidak bisa dipindah status menjadi shalat sunnah mutlak hanya dengan digenapkan. Kedua, dari aspek tidak adanya ketentuan syariat tentang kebolehan shalat sunnah mutlak didirikan dengan satu rakaat.

 

Lalu bagaimana kaitannya dengan perintah hadits untuk menjadikan shalat witir sebagai penutup shalat malam, hal ini dijawab oleh para ulama, bahwa perintah hadits tersebut tidak menunjukkan wajib, melainkan mengarah pada kesunnahan. Oleh karena itu mendahulukan shalat witir daripada tahajud ataupun shalat sunnah yang lain hukumnya sekadar khilaf al-aula (menyalahi yang lebih utama).

 

Menurut Ibnu Rusyd, ulama yang berpendapat bolehnya menggenapkan shalat witir sebagaimana di atas, pasti memandang witir dari sudut pandang kebahasaan saja. Yaitu bermakna ganjil, sehingga bisa berubah status ketika digenapkan. Karena telah keluar dari ciri khas ganjilnya.

 

Namun, ulama yang berpendapat tentang tidak mungkinnya witir digenapkan, jelas memaknai witir berdasarkan terminologi syariatnya. Yaitu memandang status sunnah muakkadah atau bahkan wajib bagi shalat witir. Sementara shalat yang genap itu hanya menyandang status nafl (sunnah mutlak). Sehingga tidak mungkin bisa digabungkan dalam satu status dengan menarik salah satunya. Wallahu a’lam.

 

Ahmad Dirgahayu Hidayat, Alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo Marhalah Tsaniyah sekaligus Mahasiswa di  Universitas Ibrahimy Sukorejo Situbondo, Jawa Timur.