Syariah

Tak Sempat Shalat Gerhana, Bolehkah Diqadha?

Jum, 27 Desember 2019 | 03:00 WIB

Tak Sempat Shalat Gerhana, Bolehkah Diqadha?

Tak semua shalat sunnah boleh diqadha. Shalat sunnah terbagi menjadi dua: berdasarkan waktu tertentu dan berdasaran peristiwa.

Gerhana matahari dan bulan merupakan dua fenomena alam yang menjadi perhatian syariat. Karena itu, umat Islam dianjurkan melaksanakan shalat pada saat salah satu dari dua gerhana tersebut masih berlangsung. Shalat yang dilaksanakan pada saat gerhana matahari biasa dikenal dengan nama shalat khusuf. Sedangkan shalat yang dilaksanakan pada saat gerhana bulan dikenal dengan nama shalat kusuf. Hukum menunaikan dua shalat ini adalah sunnah.

 

Dalam salah satu hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 

إنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَا يَكْسِفَانِ لِمَوْتِ اَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّهُمَا آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ تَعَالَى فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَقُومُوا وَصَلُّوا

 

Sesungguhnya gerhana matahari dan bulan tidak terjadi sebab mati atau hidupnya seseorang, tetapi itu merupakan salah satu tanda kebesaran Allah ta’ala. Karenanya, bila kalian melihat gerhana matahari dan gerhana bulan, bangkit dan shalatlah kalian,” (HR Bukhari Muslim).

 

 

Waktu pelaksanaan shalat dua gerhana ini dimulai pada saat gerhana matahari atau gerhana bulan berlangsung. Sedangkan batas akhir pelaksanaan dua shalat gerhana ini secara tegas disampaikan dalam kitab Fath al-Qarib al-Mujib:

 

وتفوت صلاة كسوف الشمس بالانجلاء للمنكسف وبغروبها كاسفة، وتفوت صلاة خسوف القمر بالانجلاء وطلوع الشمس لا بطلوع الفجر ولا بغروبه خاسفاً فلا تفوت الصلاة

 

“Waktu pelaksanaan shalat gerhana matahari menjadi habis sebab gerhana telah selesai (matahari kembali seperti semula) dan sebab matahari terbenam dalam keadaan gerhana. Dan waktu pelaksanaan shalat gerhana bulan menjadi habis sebab rembulan telah kembali normal dan sebab terbitnya matahari, bukan sebab terbitnya fajar dan tidak sebab rembulan terbenam dalam keadaan gerhana—(meski dua kondisi terakhir disebut ini terjadi) maka waktu pelaksanaannya belum habis” (Syekh Ibnu Qasim al-Ghazi, Fath al-Qarib al-Mujib, hal. 21).

 

 

Lantas bagaimana jika seseorang hendak melaksanakan shalat gerhana, namun waktu pelaksanaannya sudah terlanjur habis? Bolehkah dua shalat gerhana ini diqadha (diganti di waktu lain) tatkala waktu pelaksanaannya telah habis?

 

Para ulama mazhab Syafi’i memang berpendapat bahwa mengqadha shalat sunnah merupakan sebuah anjuran. Namun tidak semua jenis shalat sunnah pasti dapat diqadha. Salah satu shalat sunnah yang tidak dapat diqadha adalah shalat sunnah yang dianjurkan tatkala terdapat suatu sebab tertentu (dzat as-sabab), seperti shalat gerhana dan shalat tahiyatul masjid. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin:

 

(مسألة) : يندب قضاء النفل المؤقت كالعيد والوتر والرواتب مطلقاً، بل لو اعتاد شيئاً من النفل المطلق فتركه في وقته المعتاد ولو لعذر سن له قضاؤه لئلا تميل نفسه إلى الدعة والرفاهية ، ولا يجوز قضاء ذي السبب كالكسوف والتحية.

 

“Disunnahkan mengqadha shalat sunnah yang memiliki waktu (rutin) yang telah ditentukan, seperti shalat ‘id, shalat witir, dan shalat rawatib secara mutlak. Bahkan jika seseorang membiasakan melaksanakan shalat sunnah mutlak, lalu ia meninggalkan shalat tersebut pada waktu biasanya, meskipun sebab uzur, maka tetap disunnahkan baginya untuk mengqadha shalat sunnah mutlak tersebut. Supaya dirinya tidak membiasakan diri untuk bersantai-santai dan bersenang-senang. Dan tidak diperbolehkan mengqadha shalat yang memiliki sebab khusus, seperti shalat gerhana dan shalat tahiyatul masjid” (Syekh ‘Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi, Bughyah al-Mustarsyidin, Hal. 120)

 

Dari referensi di atas dapat dipahami bahwa shalat gerhana termasuk dalam kategori shalat yang tidak diperbolehkan untuk mengqadhanya tatkala waktu pelaksanaan sudah habis. Bahkan jika shalat gerhana tetap saja dilakukan saat waktu pelaksanaannya sudah habis, maka shalat tersebut dihukumi tidak sah. Seperti keterangan yang terdapat dalam kitab Hasyiyah al-Bajuri berikut ini:

 

(فإن فاتت) هذه الصلاة (لم تقض) أي لم يشرع قضاؤها. قوله (أي لم يشرع قضاؤها) والفعل إذا لم يشرع لا يصح, فلا يصحّ مطلقا.

 

“Jika shalat ini telah habis (waktu pelaksanaannya) maka tidak dapat diqadha. Maksudnya tidak disyariatkan untuk mengqadha. Sedangkan sebuah perbuatan, jika tidak disyariatkan (dan tetap saja dilakukan) maka tidak sah. Sehingga mengqadha (shalat gerhana) tidak sah secara mutlak” (Syekh Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri, juz 1, hal. 438)

 

 

Salah satu alasan shalat gerhana ini tidak dapat diqadha adalah dikarenakan mengqadha shalat hanya diperuntukkan pada shalat-shalat yang memiliki waktu secara pasti atau waktu pelaksanaannya telah ditentukan oleh syara’, sedangkan shalat gerhana bukan termasuk kategori shalat tersebut. Shalat gerhana merupakan kategori shalat yang digantungkan dengan suatu sebab tertentu, yakni gerhana matahari atau bulan, sehingga waktunya tidak ditentukan secara pasti oleh syara’. Mengenai hal ini, dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj dijelaskan:

 

أن القضاء فعل الشيء خارج وقته المقدر له شرعا وهذه لا وقت لها

 

“Qadha adalah melaksanakan sesuatu di luar waktu yang telah ditentukan secara syara’, sedangkan shalat ini (shalat gerhana) tidak ada waktu yang ditentukan sama sekali” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 10, hal. 234).

 

Menurut Ibnu Qasim (biasa disingkat sin mim), bisa saja tergambarkan penamaan shalat gerhana sebagai shalat qadha tapi hanya berlaku ketika shalat gerhana dilakukan saat waktu pelaksanaan masih ada (masih dalam keadaan gerhana) namun sebelum selesai melaksanakan satu rakaat, waktu pelaksanaan telah habis. Maka dalam keadaan demikian, shalat gerhana disebut sebagai shalat gerhana yang berstatus qadha. Berikut penjelasan mengenai hal ini:

 

وقد يقال : ينبغي أن توصف بهما ؛ لأن لها وقتا مقدرا لكنه مبهم ، فإن أدركها أو ركعة منها قبل الانجلاء فأداء ، وإن حصل الانجلاء قبل تمام ركعة فقضاء سم

 

“Dapat juga dikatakan bahwa shalat gerhana dapat bersifat ada’ (sesuai waktunya) dan qadha, sebab shalat gerhana ini memiliki waktu yang telah ditentukan, hanya saja masih samar. Jika seseorang melaksanakan shalat gerhana (secara komplit), atau hanya menemui satu rakaat sebelum terangnya matahari atau bulan, maka disebut shalat ada’. Jika matahari atau bulan sudah terang sebelum sempurnanya melaksanakan satu rakaat, maka disebut sebagai shalat qadha” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 10, hal. 236)

 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa shalat gerhana, baik itu gerhana matahari ataupun gerhana bulan, merupakan shalat sunnah yang tidak dianjurkan untuk diqadha ketika waktu pelaksanaannya telah habis, bahkan jika tetap dilaksanakan maka shalat tersebut dihukumi tidak sah.

 

Sehingga sebaiknya bagi kita agar benar-benar memperhatikan waktu yang ditetapkan untuk melaksanakan shalat gerhana, yakni pada saat gerhana sedang berlangsung, dengan memanfaatkan momen gerhana sebagai peluang untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan shalat gerhana sesuai dengan tata cara yang benar. Bukannya malah menjadikan momen gerhana sebagai ajang untuk melakukan hal-hal yang bersifat profan dan tidak ada nilai ibadahnya. Hingga waktu gerhana habis dengan sia-sia. Wallahu a’lam.

 

 

Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember