Sirah Nabawiyah

Hikmah di Balik Dakwah Sembunyi-sembunyi Rasulullah

Sab, 22 Mei 2021 | 02:35 WIB

Hikmah di Balik Dakwah Sembunyi-sembunyi Rasulullah

Rasulullah Muhammad SAW. (Foto: NU Online)

Langkah awal yang diambil oleh Rasulullah saw untuk menyebarkan agama Islam adalah dengan jalan sembunyi-sembunyi. Artinya, beliau menyebarkan ajaran Islam dengan tanpa diketahui publik terlebih dulu. Dakwah sembunyi-sembunyi ini bukan tanpa sebab. Tapi ada banyak hikmah dan pelajaran yang bisa kita ambil.


Setidaknya, dalam tahap ini, ada dua golongan yang menjadi target dakwah beliau, yaitu; Pertama, orang-orang terdekat yang meliputi  orang yang masih memiliki hubungan kerabat, keluarga dan para sahabat. 


Kedua, setiap orang yang memiliki sifat baik dari mereka dan juga kenal baik dengan Rasulullah saw. Paling tidak, mereka yang sudah kenal baik dengan beliau, tahu bahwa Rasulullah adalah sosok yang menjunjung tinggi nilai kejujuran dan keshalihan.


Dakwah dengan cara demikian pada fase awal penyebaran Islam terbukti efektif dan membuahkan hasil. Banyak orang-orang yang menyatakan masuk Islam. Dalam sejarah, kemudian mereka disebut sebagai as-sabiquna al-awwalun (orang-orang yang paling dahulu dan pertama masuk Islam). Golongan as-sabiquna al-awwalun ini adalah sebagai berikut:


1) Siti Khadijah, istri pertama Nabi Muhammad saw. Khadijah merupakan perempuan pertama yang masuk Islam, bahkan orang pertama. Khadijah juga orang pertama yang mendengar wahyu ilahi dari penuturan Rasuullah langsung, orang yang pertama kali membaca al-Quran setelah mendengarnya dari Nabi, orang yang pertama kali belajar al-Qur’an dari Nabi, dan orang yang rumahnya merupakan rumah yang pertama kali wahyu turun.


2) Ali bin Abi Thalib, beliau merupakan orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan anak-anak. Karena saat itu usianya masih sepuluh tahun. Saat masih dalam asuhan Nabi saw.


3) Zaid bin Haritsah bin Syarahbil al-Kalbi, dia merupakan hamba sahaya Nabi Muhammad saw. Dialah orang yang diangkat anak oleh Nabi.


4) Abu Bakar as-Shiddiq. Ia terhitung sebagai orang pertama yang masuk Islam dari kalangan laki-laki merdeka. Dari tangan lembutnya, telah masuk Isam beberapa orang, yaitu Utsman bin Affan al-Umawi (usia 34 tahun), az-Zubair bin al-Awwam al-Asadi (usia 12 tahun), Abdurrahman bin Auf az-Zuhri (usia 30 tahun), Sa’ad bin Abi Waqqash az-Zuhri (usia 17 tahun) dan Thalhah bin Ubaidillah at-Taimi (usia 13 tahun) (lihat Sirah Nabawi karya as-Shallabi, 86)


Tokoh-tokoh as-sabiquna al-awwalun lainnya adalah Bilal bin Rabbah al-Habsyi, Abu Ubaidillah, Abu Salamah bin Abdul Asad, al-Arqam bin Arqam, Utsman bin Mazh’um, Ubaidillah bin al-Harits, Fatimah binti al-Khattab al-Adawiyah (saudara  perempuan Umar), Khabbab bin al-Arat, Abdullah bin Mas’ud az-Zuhaili, dan lain-lain. Mereka semua terdiri dari 40 orang, bahkan menurut Ibnu Hisyam lebih dari 40.


Hikmah dan Pelajaran


1) Mendahulukan keselamatan nyawa


Islam hadir di tengah kota Mekah. Sebuah kota yang menjadi pusat agama bagi orang-orang Arab. Di sana terdapat para pengabdi Ka’bah, pemuja berhala dan patung-patung yang mereka kultuskan (dianggap suci). Islam sebagai agama baru, tentu terlalu beresiko jika didakwahkan secara terang-terangan di Mekah saat itu. Nyawa adalah taruhannya. (lihat Rahiq al-Makhtum, hal 74)


Oleh karena itu, dalam kondisi seperti ini Nabi lebih mendahulukan keselamatan nyawa. Mendahulukan prinsip ‘menjaga keselamatan jiwa’ (hifzh an-nafs) daripada prinsip ‘menjaga agama’ (hifzh ad-din).


Syeikh Izzuddin ibn Abdussalam menjelaskan, dalam kondisi lemah seperti itu, umat Islam diharamkan bertindak ceroboh dan berjihad. Menurutnya, jika kemenangan tak tergapai, pasukan Muslim wajib menyerah demi menyelamatkan nyawa mereka dan menenangkan hati musuh. Dalam kondisi demikian, perlawanan hanya akan menimbulkan kerusakan, bukan kemaslahatan. (lihat Qawaid al-Ahkam, juz 1, hal 95)


Sa’id Ramadhan al-Buthi mempertegas, mengutamakan kemaslahatan jiwa di sini terlihat dari sisi lahirnya saja, karena pada dasarnya tindakan menyelamatkan diri itu hakikatnya salah satu bentuk menjaga agama (hifz ad-din). Dalam kondisi demikian, menjaga keselamatan agama hanya bisa dilakukan dengan menjaga keselamatan jiwa. 


Jika orang muslim ceroboh langsung dakwah secara terbuka, bisa jadi banyak korban berjatuhan dari orang Muslim, dan tentunya akan menghambat penyebaran Islam pada masa awal-awal. (lihat Fiqh as-Sirah, hal 70) 


2) Islam menolak penindasan


Orang-orang yang pertama masuk Islam adalah dari kalangan orang-orang lemah, baik dari fakir miskin ataupun para hamba sahaya. Bahkan, dalam setiap dakwah nabi sebelum Nabi Muhammad, juga demikian. Seperti Nabi Nuh saat mendakwahi kaumnya, Bani Rasib yang berasal dari kalangan bawah (QS. Hud [11]: 27) dan Nabi Shaleh saat mendakwahi kaum Tsamud yang pengikutnya adalah kalangan akar rumput (QS. Al-A’raf [7]: 75-76) (lihat Fiqh as-Sirah, hal 70)


Hikmah dibalik semua ini adalah, agama Allah yang dibawa para nabi dan rasul adalah untuk membebaskan manusia dari penindasan yang dilakukan sesama. Selain itu juga untuk mengalihkan mereka dari tunduk terhadap kekuasaan manusia, beralih tunduk kepada kekuasaan Allah swt. (lihat Fiqh as-Sirah, hal 71)


Namun, bukan berarti masuk islamnya orang-orang lemah bukan karena keimanan, hanya untuk kebebasan dari penindasan semata, tidak. Mereka masuk Islam tetap atas dasar keimanan yang tertanam dalam hati. Kepercayaan terhadap agama Rasulullah saw sudah diyakini oleh orang-orang Mekah, baik dari kalangan lemah maupun elit. 


Hanya saja, mereka yang elit kadang lebih sulit. Kekusaan dan kedudukan yang mereka miliki membuat enggan memeluk agama Islam. Contoh saja Abu Thalib, paman Nabi yang memiliki peran penting dalam mensukseskan dakwah keponakannya itu. Abu Thalib merupakan salah satu elit Mekah yang belum masuk Islam sampai akhir hayatnya. (lihat Fiqh as-Sirah, hal 71)


Pada orang-orang yang masuk Islam, tidak ada tujuan duniawi sedikitpun. Tapi karena keimanan yang telah Allah berikan kepada hati-hati mereka dan pertolongan nabinya. Ini berlaku umum, entah itu budak atau yang merdeka, orang miskin atau kaya. Lihat saja, Abu Bakar dari kalangan orang merdeka, Bilal dari kalangan budak, Utsman dari kalangan orang kaya (elit) dan Shuhaib dari kalangan tidak mampu. (lihat Sirah Nabawi karya as-Shallabi, 92)


3) Metode baku dalam berdakwah


Dakwah Rasulullah saw secara sembunyi-sembunyi bukan karena takut terhadap orang Quraisy. Toh, beliau punya Allah dan bisa sekali meminta perlindungan agar terhindar dari penindasan orang Quraisy. Nabi dakwah secara sembunyi-sembunyi pada fase awal berdasarkan wahyu ilahi. Juga sebagai metode baku bagi para dai-dai setelah beliau; jika belum punya kekuatan masa, berdakwah dengan sembunyi-sembunyi terlebih dahulu adalah jalan aman. (lihat Fiqh as-Sirah, hal 69)


Muhamad Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon