Sirah Nabawiyah

Rasulullah dan Kesetaraan Hak dalam Konstitusi Madinah

Rab, 31 Maret 2021 | 16:15 WIB

Rasulullah dan Kesetaraan Hak dalam Konstitusi Madinah

Ilustrasi Nabi Muhammad Rasulullah saw. (Foto: NU Online)

Mengungkapkan konsensus kebangsaan, yaitu Piagam Madinah secara historis penting untuk mengembalikan ingatan umat Islam bahwa dahulu Nabi Muhammad menyusun dasar negara berdasarkan kesepakatan dan kesetaraan seluruh warga bangsa di mata hukum.


Madinah kala itu memang berkembang menjadi kawasan yang majemuk atau pluralistik. Konsensus atau kesepakatan yang tertuang dalam Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah) berdasarkan asas keadilan untuk semua bangsa, baik Muslim, Yahudi, Nasrani, kabilah, dan suku-suku yang hidup di Madinah.


Sejumlah alasan ilmiah dan alamiah penyusunan Piagam Madinah ialah: Pertama, faktor universal, yaitu mengokohkan kemuliaan kemanusiaan (karomah insaniyyah). Kedua, faktor-faktor lokal, yaitu kemajemukan, kecenderungan bertanah air, dan semangat toleransi keagamaan dan kemanusiaan. (baca Meluruskan Pandangan Keagamaan Kaum Jihadis, 2018)


Piagam Madinah berisi 47 Pasal. Ia merupakan supremasi perjanjian negara pertama dalam sejarah Islam yang didirikan oleh Nabi Muhammad. Dengan kata lain, Nabi SAW mendirikan Darul Mistaq, negara kesepakatan antarkelompok-kelompok masyarakat yang berbeda-beda.

 


Jadi jika dihubungkan dengan pembentukan dasar negara di Indonesia, para ulama seperti KH Wahid Hasyim, dan lain-lain sudah tepat dalam meneladani Nabi karena melahirkan Pancasila sebagai konsensus kebangsaan.


Karena sistem pemerintahan yang menempuh jejak kenabian ialah berdasarkan kebersamaan dan keadilan bagi semua bangsa dalam perjanjian dan kesepakatan yang termaktub dalam 47 Pasal Piagam Madinah untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bersama.


Setidaknya ada tiga hal dasar yang dilakukan Rasulullah pada fase Madinah. Tiga hal dasar itu sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Madinah sehingga mereka hidup aman, tenteram, saling menghargai, dan dalam kesejahteraan.


Pertama, menjadikan masjid sebagai pusat semua kegiatan (center of activities). Usai tiba di Madinah, Rasulullah membangun sebuah masjid, Masjid Nabi (Nabawi). Masjid ini memiliki bangunan yang sangat sederhana; atapnya dari daun pohon kurma, pilarnya dari batang pohon kurma, lantainya kerikil dan berpasir, dan bangunannya dari batu bata.

 


Akan tetapi, bangunan itu bukan sekedar bangunan biasa. Sebuah bangunan yang menjadi penanda kebangkitan peradaban Islam. Karena Rasulullah memfungsikan masjid ini untuk semua kegiatan. Mulai dari mengajarkan ajaran Islam, hikmah, proses belajar mengajar baca-tulis hingga menyusun strategi perang atau politik. Semua diadakan di Masjid Nabi, bukan hanya untuk shalat saja. Singkatnya, Rasulullah menggunakan Masjid sebagai tempat pertemuan dan pembinaan umat.


Kedua, membangun persaudaraan antar sesama Muslim (ukhuwah islamiyah). Pada fase Madinah, ada dua kelompok umat Islam yakni kaum Muhajirin (umat Islam Makkah yang hijrah ke Madinah) dan kaum Anshar (umat Islam yang asli penduduk Madinah). Rasulullah mempersaudarakan mereka satu persatu, satu Muhajirin dengan satu Anshar. Rasulullah juga selalu menegaskan bahwa sesama Muslim itu bersaudara. Tidak lain, ini dilakukan Rasulullah untuk memperkuat solidaritas dan kohesivitas sosial antar sesama umat Islam. Sehingga, mereka tidak mudah bertikai dan berperang, sebagaimana watak Arab Jahiliyah. Bagi seorang Muslim, persaudaraan bukan saja didasarkan pada darah, tapi juga keimanan yang sama.


Ketiga, membangun persaudaraan dengan umat agama lain (ukhuwan insaniyah). Rasulullah sadar betul bahwa Madinah memiliki masyarakat yang majemuk. Ada umat Islam, ada umat Nasrani, ada umat Yahudi, dan yang lainnya. Untuk membangun sebuah kota yang kuat dan damai, tidak ada jalan bagi Rasulullah kecuali ‘mempersatukan’ masyarakat yang berbeda itu. (baca Zuhairi Misrawi, Madinah: Kota Madinah, Piagam Madinah, dan Teladan Muhammad SAW, 2009)

 


Piagam Madinah berisi pernyataan bahwa para warga Muslim dan non-Muslim di Yatsrib (Madinah) adalah satu bangsa, dan orang Yahudi dan Nasrani, serta non-Muslim lainnya akan dilindungi dari segala bentuk penistaan dan gangguan.


Dalam Piagam Madinah yang dideklarasikan Nabi Muhammad SAW tersebut, terdapat regulasi yang mengatur sistem perpolitikan, keamanan, kebebasan beragama, serta kesetaraan di muka hukum, perdamaian, dan pertahanan.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon