Sirah Nabawiyah

Hikmah di Balik Penindasan yang Dialami Rasulullah dan Sahabat

Kam, 20 Mei 2021 | 11:01 WIB

Hikmah di Balik Penindasan yang Dialami Rasulullah dan Sahabat

Rasulullah Muhammad SAW. (Foto: NU Online)

Melihat dakwah Rasulullah semakin masif dan banyak orang Mekah yang mengikuti ajarannya, membuat kaum Quraisy semakin geram. Sebagai respons atas semua itu, kaum Quraisy memutuskan untuk melakukan penyiksaan dan penindasan terhadap Rasulullah dan orang-orang yang mengikuti ajarannya.


Aksi penindasan itu dipelopori oleh Abu Lahab, musuh bebuyutan umat Islam. Posisinya sebagai salah satu pemuka Quraisy, membuatnya lebih memiliki power untuk melancarkan aksi-aksinya.


Abu Lahab pernah menguntit Rasulullah saat musim haji dan di pasar-pasar. Ia mendustakan Rasulullah. Bahkan, ia juga memukuli Rasulullah dengan batu hingga kedua tumitnya berdarah. Ummu Jamil, istri Abu Lahab, juga tidak jauh beda dengan kelakuan suaminya.

 

Dia pernah memasang duri di jalan biasa Rasulullah lalui, mencaci, menyebar berita hoaks, menyulut api fitnah dan mengobarkan peperangan terhadap Nabi. Al-Qur'an telah mengabadikan kekejaman mereka dalam surat Al-Lahab.


Pernah suatu ketika Abu Jahal melewati Rasulullah di bukit Shafa. Ia mengganggu dan mencaci Rasuullah. Melihat tidak ada respons, Abu Jahal memukul kepala Rasulullah sampai mengalirkan darah.


Seorang bernama Uqbah bin Abi Muith pernah melilitkan kain ke leher Rasulullah hingga beliau tercekik. Saat itu posisi beliau sedang shalat di Hijir Ismail. Untung saat itu ada Abu Bakar yang segera merengkuh bahu Uqbah dan mendorongnya.


Uqbah juga pernah melemparkan jeroan unta ke punggung Rasulullah saat beliau sedang sujud. Beliau tidak bisa bangkit. Siti Fatimah datang dan mengangkat jeroan itu dari punggung ayahnya.


Pernah suatu ketika seorang kafir Quraisy menaburkan debu ke kepala Rasulullah saat lewat dekat Mekah. Sampai di rumah, wajah beliau penuh debu. Salah seorang putri beliau menyeka debu itu sambil menangis.

 

“Wahai putriku, janganlah engkau menangis. Sesungguhnya Allah selalu menjaga ayahmu,” tutur Rasulullah menabahkan putrinya.


Penindasan yang dialami oleh para sahabat juga tidak jauh memedihkan, bahkan lebih kejam lagi. Tidak sedikit mereka yang sampai meregang nyawa demi mempertahankan keimanannya.


Adalah Ammar bin Yasir, mantan budak Bani Makhzum, ia beserta keluarganya mengalami penyiksaan yang luar biasa. Mereka diseret di tengah terik matahari kota Makkah yang sangat panas. Ayah Ammar, Yasir, meninggal dalam penyiksaan itu. Disusul ibunya, Sumayyah.


Khabbab bin al-Arat, seorang budak milik Ummi Anmar binti Siba’ al-Khuza’iyyah, juga mengalami siksaan yang amat pedih. Ia sampai dilemparkan di api yang membara. Kemudian jasadnya ditarik-tarik hingga api padam oleh lemak yang meleleh dari punggungnya.


Seorang sahabat Nabi Saw yang berama Shuhaib bin Sinan al-Rumi disiksa sampai hilang ingatannya dan tidak mengerti apa yang diucapkannya sendiri.


Bilal, budak milik Umayyah bin Khalaf al-Jumahi, lehernya dililit dengan tali. Lalu tali tersebut diserahkan ke anak kecil untuk dibawa keliling sepanjang perbukitan Makkah. Kadang ia dipaksa duduk di bawah terik sinar matahari.


Puncaknya, ia pernah diseret keluar pada siang hari yang sangat panas. Lalu dilemparkan di tanah lapang berkerikil di kota Makkah. Setelah itu dadanya ditindih batu besar.


Masih banyak lagi bentuk penindasan yang dialami oleh umat muslim saat itu. Namun penulis tidak akan menyebutkan semuanya di sini.


Hikmah dan Pelajaran


1) Menjadi Hamba Sejati


Sebagai konsekuensi seorang hamba Allah di dunia, pasti harus menerima taklif (tanggungan). Konsekuensi taklif adalah menanggung beban-beban dalam menjalani ibadah. Sebagai contoh, shalat merupakan konsekuensi bagi seorang hamba. Dalam shalat lima waktu itu, sering seorang hamba tidak sepenuhnya melaksanakan, atau melaksanakan tapi masih ada paksaan.


Itu artinya, shalat merupakan bentuk taklif karena menjadi ‘beban’ bagi hamba. Semakin seorang hamba bisa menjalankan beban yang ditanggungnya dengan baik, semakin sempurna pula kedudukannya di sisi Allah sebagai hamba yang taat.


Begitu pun Rasulullah dan para sahabat saat itu. Menyebarkan agama Islam dan berjihad merupakan bentuk taklif yang paling tinggi levelnya. Mengingat nasib agama Islam ada di tangan mereka saat itu. Jika mereka tetap mempertahankan dan menyebarluaskan Islam, maka Islam semakin besar.


Sebaliknya, seandainya mereka menyerah, bisa jadi Islam tidak akan sebesar sekarang. Dengan tingginya level taklif saat itu, dan mereka sanggup menjalankannya, maka mereka memperoleh derajat kehambaan yang sempurna di sisi Allah Swt.


Perlu diketahui, derajat kehambaan (‘ubudiyyah) merupakan derajat yang paling tinggi. Rasulullah sendiri pernah suatu ketika diberi pilihan oleh Allah, ingin menjadi Nabi sekaligus raja atau Nabi sekaligus hamba. Nabi lebih memilih menjadi Nabi sekaligus hamba yang mengabdi kepada Tuhannya. Nabi tahu, derajat kehambaan (‘ubudiyyah) merupakan derajat yang paling tinggi di sisi Allah. Bahkan lebih tinggi dari seorang raja sekalipun.


Bisa saja Allah memudahkan jalan dakwah Nabi Muhammad dan para sahabat saat itu, tanpa harus melalui penindasan demi penindasan. Tapi Allah ingin menempa mereka dengan menguji ketulusan iman mereka melalui cobaan demi cobaan. Sehingga mereka menjadi hamba sejati. (lihat Fiqh al-Sirah al-Nabawiyah, hal 78)


Sehingga disimpulkan. Kehambaan berkonsekuensi adanya taklif, dan taklif berkonsekuensi adanya beban (masyaqqoh). (lihat Fiqh al-Sirah al-Nabawiyah, hal 78)


2) Mengangkat Derajat Orang-Orang yang Beriman


Allah Swt memberi cobaan sesuai dengan tinggi derajat hamba di sisi-Nya. Semakin tinggi derajatnya, semakin berat dan berliku pula cobaan yang diterimanya. Rasulullah Saw. dan para sahabat adalah hamba-hamba yang memiliki derajat tinggi di sisi Allah.


Dari Mush’ab bin Sa’id -seorang tabi’in- dari ayahnya, ia berkata,


يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً


“Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?”

 

Beliau menjawab,


الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ

 

ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ 


“Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.”


3) Menguji Ketulusan Iman


Setiap ketulusan butuh pembuktian. Allah Swt. memberikan cobaan kepada Rasulullah Saw. dan para sahabat pada saat itu juga sebagai penguji ketulusan iman mereka. Sejauh mana mereka komitmen dengan keimanannya, sejauh itu pula ketulusan mereka. Kalau Rasulullah sudah jelas ketulusannya.


Nabi Muhammad Saw. bersabda:


إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ، وَإِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ


“Sesungguhnya pahala yang besar didapatkan melalui cobaan yang besar pula. Apabila Allah mencintai seseorang, maka Allah akan memberikan cobaan kepadanya, barangsiapa yang ridha (menerimanya) maka Allah akan meridhainya dan barangsiapa yang murka (menerimanya) maka Allah murka kepadanya.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)


Syekh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi menuturkan,


“Kedekatan setiap muslim dengan tujuan yang hendak dicapai sebanding dengan siksaan yang mereka hadapi.” (lihat Fiqh al-Sirah al-Nabawiyah, hal 79)


Masih menurut al-Buthi, beliau juga menuturkan,


“Kalau saja manusia dibiarkan mengaku-aku beriman dan mencintai Allah Swt. di bibir saja, susah membedakan mana mana yang benar-benar beriman dan mana yang isapan jempol belaka, Jadi, cobaan akan menjadi alat ukur untuk membedakan mereka  yang jujur dari  mereka yang dusta.” (lihat Fiqh al-Sirah al-Nabawiyah, hal 78)


4) Sebagai Sunnatullah


Penindasan pan penyiksaan yang dialami oleh Rasulullah Saw. dan para sahabat merupakan sunnatullah. Artinya, nabi-nabi sebelumnya pun mengalami hal yang sama. Begitupun Nabi Muhammad Saw. Sahabat yang disiksa dengan kejam sampai meregang nyawa, juga dulu sempat dialami oleh umat nabi-nabi terdahulu. (lihat Fiqh al-Sirah al-Nabawiyah, hal 79)


Muhamad Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon