Sirah Nabawiyah

Jejak Flexing di Masa Kekuasaan Islam

Sen, 3 April 2023 | 17:30 WIB

Jejak Flexing di Masa Kekuasaan Islam

Ilustrasi: uang - dolar (freepik).

Fenomena memamerkan kekayaan ataupun harta yang kini marak telah ada sejak zaman dahulu. Bahkan, pada masa kerajaan Islam ada rekam jejak pamer harta yang terkuak dalam bentuk lain, tetapi dengan pola yang mirip dengan saat ini. Bagaimana kisah kemewahan para raja menimbulkan pamer harta pada masa itu? Apakah selain raja ada fenomena pamer harta di kalangan rakyatnya?
 

Pada masa Rasulullah saw, para sahabat, tabiin, dan tabiit tabiin, kejayaan Islam muncul dengan bentuk yang sejati. Kejayaan yang sesungguhnya tanpa mengagungkan harta benda duniawi dicapai oleh tiga generasi itu secara gemilang di bawah panji Islam. Namun, setelah generasi terbaik itu berkurang, maka muncul penguasa Islam yang terkenal sebagai masa para raja atau dinasti.​​​​​​​
 

Sejak masa Dinasti Umayyah, pintu kekuasaan dibuka lebar oleh Allah untuk umat Islam. Karena itu, banyak harta benda dari berbagai daerah yang dikuasai oleh pemimpin Islam atau raja dinasti. Selain itu, banyak istana yang didirikan oleh para raja dengan tujuan memamerkan kebesaran dan kemegahan kekuasaannya. ​​​​​​​
 

Sebelum era Umar bin Abdul Aziz, kepemimpinan Dinasti Umayyah sangat getol dalam membangun berbagai bangunan. Mula-mula yang dibangun adalah fasilitas umum dan masjid sebagi bentuk pelayanan kepada masyarakat. Setelah itu, mulailah pembangunan istana-istana yang mewah dan megah sebagai simbol kekuasaan para raja. ​​​​​​​
 

Salah satu bangunan tempat pangeran dinasti Umayyah bahkan memiliki warna dan kemewahan yang khas. Keberadaan rumah tinggal pangeran sangat eksklusif dan kontras dengan lingkungan di sekitarnya. Orang yang akan bertemu pangeran akan diperlihatkan rumah berwarna-warni yang memukau pandangan mata sebagaimana kisah pengantar misik atau kesturi untuk raja berikut ini.
 

“Aku dikirim ke Sulaiman bin 'Abdul Malik dan bersamaku membawa enam kontainer kesturi dari Khurasan. Aku melewati rumah Ayyub bin Sulaiman. Aku diterima dan berjalan melalui ruangan yang semua perabotan dan karpetnya berwarna putih. Ku masuki rumah lain, warnanya kuning dan apa yang ada di dalamnya sama. Aku diterima di rumah merah, dan semua yang ada di dalamnya juga berwarna merah. Kemudian, Aku diterima di rumah hijau, dan semuanya berwarna hijau di dalamnya.”  As-Suyuthi, Ma Rawahul Waun fi Akhbarit Tha’un, [Damaskus, Darul Qalam], halalaman 188). ​​​​​​​
 

Kemewahan hidup keluarga raja pada masa itu membuat mereka mendirikan kastil elit berwarna-warni yang berada di tengah gurun. Situasi wabah pada saat itu membuat keluarga kerajaan mengasingkan diri dan jauh dari kehidupan rakyatnya dengan harapan terhindar dari wabah, tetapi tetap bergaya hidup mewah. Kastil gurun di masa dinasti Umayyah ditengarai sebagai upaya raja untuk memamerkan kekuasannya. ​​​​​​​
 

Pada masa Umar bin Abdul Aziz, Allah mengembalikan kejayaan Islam seperti pada masa generasi terbaik di zaman sahabat Nabi. Beliau menolak tinggal di istana dan bekerja dari sebuah rumah sederhana. Meskipun dalam situasi wabah penyakit, umat Islam saat itu sangat sejahtera secara merata. Namun, setelah Umar bin Abdul Aziz wafat, penggantinya juga muncul sebagai penguasa yang menonjolkan harta sebagai bentuk kejayaannya.​​​​​​​
 

Yang lebih menarik adalah kemewahan duniawi seperti contoh yang didapatkan oleh Dinasti Umayyah ternyata telah diprediksi oleh Nabi. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dalam hadits marfu’ sebagai berikut:
 

“Akan dibukakan untuk kalian tanah orang-orang non Arab. Kalian akan menemukan di tanah itu rumah-rumah yang disebut dengan hamamat (tempat pemandian), yang tidak dimasuki oleh orang laki-laki, kecuali dengan mengenakan kain. Laranglah kaum wanita memasukinya, kecuali wanita yang sedang sakit atau nifas.” (HR Abu Dawud dalam kitab Al-Hammam). ​​​​​​​
 

Prediksi Nabi saw terbukti pada masa Dinasti Umayyah menguasai Andalusia. Di sana kemudian berkembang istana-istana megah dan pemukiman umat Islam dengan pemandian umum yang disebut dengan hammam. Hammam yang khusus untuk laki-laki tidak menimbulkan masalah, tetapi adanya hammam untuk perempuan melahirkan fenomena flexing sebagaimana kutipan berikut ini:
 

“Diperkirakan 900 pemandian umum, atau hammam, melayani berbagai tempat di Kordoba. Bagi wanita, hammam adalah tempat untuk bertemu teman, bertukar gosip, dan memamerkan pakaian mereka.” (Hamilton, The Alhambra, [New World City: 2019]).​​​​​​​
 

Tidak hanya di Andalusia, keberadaan hammam untuk wanita yang menjadi sarana flexing pakaian dan perhiasan terjadi di Mesir. Kejadian ini pada masa raja-raja penguasa Mesir setelah dinasti Umayyah.
 

“Ibnul Hajj mengkritik kunjungan wanita ke hammam. Ia mengatakan bahwa mereka hanya mengarahkan wanita untuk memamerkan pakaian dan perhiasan mereka. Ia menambahkan bahwa pertemuan wanita seperti itu berbahaya.” (Doris Behreins-Abouseif, Islamic Architecture in Cairo an Introduction, [Mesir, The American University in Cairo Press: 1989], halaman 42).​​​​​​​
 

Interaksi sosial pada wanita di wahana tertentu seperti hammam membuat adanya kecenderungan untuk saling memamerkan pakaian dan perhiasannya. Interaksi wanita di hammam atau tempat pemandian umum yang berdampak negatif itu sebenarnya juga sudah diperingatkan oleh hadits Rasulullah saw di atas. ​​​​​​​
 

Hadits tersebut menunjukkan adanya larangan bagi wanita sehat untuk datang ke hammam atau tempat pemandian umum. Karena itu, tidak heran ketika Ibnul Hajj juga mengkritik kunjungan wanita ke Hammam di Mesir. Namun, mengapa hammam untuk wanita boleh dikunjungi oleh wanita yang sakit atau nifas?​​​​​​​
 

Hammam tidak hanya memiliki fungsi sosial dan higienis, tetapi juga fungsi medis, karena panas dari uap air yang dihasilkan diyakini dapat menyembuhkan penyakit. Karena itu, wanita yang sedang sakit dan wanita nifas dapat memperoleh pelayanan kesehatan di tempat pemandian tersebut. Wanita yang sedang sakit atau nifas tentu tidak akan memikirkan pamer pakaian di hammam, melainkan fokus pada penyembuhan dan penyehatan badannya.​​​​​​​
 

Tidak semua penguasa pada masa Dinasti Umayyah gemar hidup dalam kemewahan. Namun, ada pula yang suka mendirikan istana dengan tujuan pamer harta dan kekuasaan. Rupayanya, perilaku penguasa itu diikuti oleh pejabat pemerintahan dan rakyat yang ada di bawahnya. Karena itu, tidak mengherankan bila pada suatu era raja yang gemar membangun kastil megah, penduduknya gemar membicarakan kemewahan bangunan. Khusus di era Umar bin Abdul Aziz, pejabat dan penduduknya gemar membaca Al-Qur’an, berdoa, dan beribadah (Ahmad, ​​​​​​​The Caliphate of Banu Umayyah the First Phase taken from Al-Bidayah wan Nihayah by Ibn Katheer, [Damaskus, Darussalam Research Center: 1428 H).​​​​​​​
 

Zaman kerajaan atau dinasti Islam seperti pada masa kekuasaan Bani Umayyah telah banyak memberikan kontribusi positif terhadap kejayaan Islam. Namun, fenomena pamer harta dan kemewahan pada sebagian penguasa, pejabat dan rakyatnya saat itu menjadi salah satu kelemahan sehingga generasi berikutnya tidak mampu mempertahankan kegemilangan pendahulunya. Wallahu a’lam bis shawab.
 

 

Yuhansyah Nurfauzi, Anggota Komisi Fatwa MUI Cilacap, apoteker dan peneliti di bidang farmasi.