Syariah

Landasan Dasar Kepemilikan Harta dalam Islam

Ahad, 21 Agustus 2022 | 08:00 WIB

Landasan Dasar Kepemilikan Harta dalam Islam

Islam mengatur konsep dasar dan sebab-sebab kepemilikan harta.

Ada beberapa sebab terjadinya pindah kepemilikan baik pada tataran individu maupun negara, yang diakui oleh Islam. Syarat utama terjadinya pindah milik itu adalah mengharuskan sesuai dengan standar syara’. 


Jika ada suatu kepemilikan yang diperoleh tidak melalui prosedur syar’i yang sah, maka akan berakibat pada batalnya hak kepemilikan itu, sehingga melazimkan pengembalian barang kepada pemilik asalnya (al-maliku al-ashly). 


Apabila pemiliknya sudah tidak dijumpai lagi, maka harta yang tidak sah dikuasai secara syara’ tersebut hendaknya diserahkan ke baitul mal atau mashalih al-muslimin


من حيث نشأة حق الملكية الفردية، يشترط الإسلام أن ينشأ عن سبب شرعي، فإن نشأ عن سبب غير شرعي فإنّ الإسلام لا يعترف به ولا يحميه، بل يأمر بنزعه من يد حائزه وردِّه إلى مالكه الأصلي فإن لم يوجد وضع في بيت المال


Artinya, "Dilihat dari sisi timbulnya hak kepemilikan individu, Islam mengatur bahwasanya kepemilikan itu harus berasal dari sebab yang masyru’. Jika timbul dari sebab yang tidak masyru’, maka Islam tidak membolehkannya serta tidak mengakui hak kepemilikannya. Bahkan, Islam memerintahkan agar diserahkan kembali kepada orang yang berhak menerimanya dan pemilik asalnya. Bila tidak dijumpai, maka diserahkan ke baitu al-maal.” (Abd al-Karim Zidan, Ushul al-Da’wah, Beirut: DKI, juz I, halaman 253)


Pertanyaannya, adalah apa saja yang menjadi sebab timbulnya kepemilikan syar’i tersebut? Berikut ini ulasannya. 


Beberapa Sebab Kepemilikan Syar’i dalam Islam

Ada beberapa sebab lahirnya kepemilikan syar’i dalam Islam, antara lain:


Pertama, melalui jalan penguasaan dan penundukan


Ketika suatu harta masih ada di alam, maka untuk sah menjadi hak milik, seorang muslim perlu melakukan langkah-langkah seperti: berburu, mencari kayu bakar, menambang, melakukan ihya'ul mawat pada wilayah yang belum ada hak kepemilikan sedikitpun. Syekh Abdul Karim Zidan, salah seorang fuqaha mu’ashir menyatakan:


والأسباب الشرعية للملكية الاستيلاء على المال المباح، ويندرج تحت هذا النوع الصيد، وإحياء الأرض الموات، والاستيلاء على الكلأ والآجام، واستخراج المعادن والكنوز، وكل ذلك بشروط معينة


Artinya, “Beberapa sebab syar’i hadirnya kepemilikan adalah melalui jalan penguasaan yang mubah. Secara berturut-turut, contoh penguasaan lewat jalur satu ini, adalah berburu, ihya'ul mawat, penguasaan atas pada rumput dan gembalaan, menambang, menyimpan. Seluruhnya memiliki syarat-syarat khusus yang harus dipatuhi.” (Abd al-Karim Zidan, Ushul al-Da’wah, Beirut: DKI, juz I, halaman 253)


Kedua, melangsungkan kontrak atau pertukaran. 


العقود والتصرفات مثل البيع والهبة والوصية والإجارة والشركة والمضاربة والمزارعة والمغارسة ونحو ذلك، بشرط أن تكون هذه العقود والتصرفات بالكيفية التي شرعها الإسلام 


Artinya, "Perakadan dan pembelanjaan seumpama jual beli, hibah, wasiat, ijarah, syirkah, bagi hasil, bagi hasil penanaman, dan lain-lain. Syarat sah dari seluruh akad dan pembelanjaan ini adalah apabila dilakukan sesuai dengan yang disyariatkan.” (Abd al-Karim Zidan, Ushul al-Da’wah, Beirut: DKI, juz I, halaman 253)


Ketiga, mawarits. Harta pusaka (tirkah) merupakan hak yang harus dibagi kepada ahli waris, secara syara’.


الميراث؛ حيث يخلف الوارث المورث في ملكية تركته بأسباب وشروط معينة معروفة في باب الميراث في كتب الفقه الإسلامي.


Artinya, “Mawarits, yakni apabila si mayit meninggalkan ahli waris yang berhak mewaris kepemilikan harta tinggalannya dengan sebab-sebab dan syarat-syarat tertentu yang sudah dikenal dalam ilmu mawaris dan beberapa kitab fikih lainnya.” (Abd al-Karim Zidan, Ushul al-Da’wah, Beirut: DKI, juz I, halaman 253)


Keempat, harta yang diperoleh dari hasil pengembangan atau penunaian kewajiban pihak lain, misalnya zakat, hak nafaqah syar’iyyah, sedekah, hibah, atau wakaf. 


أمّا قيود الملكية في بقائها ونمائها فتنظر فيما شرعه الإسلام من حقوقٍ في مال الإنسان، ووجوب أداء هذه الحقوق، مثل: حق الزكاة والنفقات الشرعية، كما تظهر هذه القيود في نماء الملك، فقد حدَّد الإسلام سبل تثمير المال وتنميه، ومنها: التجارات والمزارعات والشركات ونحو ذلك، فلا يعترف الإسلام بالنماء الناتج عن سبب باطل حرام كالربا مثلًا، أو بيع الخمور، أو فتح نوادي القمار


Artinya, “Adapun mengenai beberapa aturan kepemilikan ditinjau dari sisi tetap aset fisik dan bisanya dikembangkan, maka diperlukan langkah-langkah meninjau hal-hal yang disyariatkan, antara lain hak dan kewajiban yang berlaku atas harta insan lain seperti hak zakat dan nafkah syar’i. Hal yang sama juga berlaku pada beberapa harta kepemilikan yang bersifat berkembang, maka Islam telah membatasi mengenai cara-cara yang boleh ditempuh dalam pengembangannya, seperti: melalui perdagangan, bagi hasil cocok tanam, syirkah, dan lain-lain. Islam tidak mengakui kepemilikan atas harta yang diperoleh dari jalan batil dan yang diharamkan, misalnya lewat jalan riba, jual beli khamr dan dihasilkan dari membuka kasino.” (Abd al-Karim Zidan, Ushul al-Da’wah, Beirut: DKI, Juz 1, halaman 253).


Walhasil, di dalam Islam. syara’ tidak memandang pada pentingnya kuantitas (kammiyah) atau kualitas (nau’iyyah) harta. Yang diperhatikan oleh syara’, adalah bahwa harta wajib diperoleh, didapatkan dan dibelanjakan sesuai dengan aturan yang dibolehkan oleh syara’. Jika benar cara perolehannya, maka sah untuk dimiliki. Bila tidak benar cara perolehannya, maka tidak sah untuk dimiliki, dikuasai serta dibelanjakan. Bila harta itu diperoleh lewat jalur yang tidak benar secara syara’, maka hakikatnya harta itu adalah harta ghashab.


Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah-Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur