Syariah

Hukum Flexing, Menampakkan Harta Kekayaan di Depan Publik

Jum, 3 Maret 2023 | 05:00 WIB

Hukum Flexing, Menampakkan Harta Kekayaan di Depan Publik

Ilustrasi: Harta kekayaan (freepik).

Publik dibuat geram pasca ditetapkanya Mario Dandy putra eks pejabat tinggi Ditjen Pajak menjadi tersangka penganiayaan David, putra salah satu petinggi PP GP Ansor yang mengakibatkan korban koma. Dalam aksinya ia bertindak begitu brutal dan sadis tanpa belaskasih sama sekali.
 

 

Flexing ala Mario Dandy

Publik semakin geram ketika mengetahui di media sosial, Mario Dandy kerap memamerkan harta kekayaannya seperti Moge hingga kendaraan mobil Jeep Rubicon dan lain sebagainya. 
 

Setelah netizen mencecar Mario Dandy, kini netizen kembali mencecar ibu Mario Dandy yang dianggap juga sering pamer harta di media sosial seperti anaknya.
 

 

Hukum Flexing

Terlepas dari kasus yang sedang berjalan sebenarnya bagaimana hukum flexing atau menampakkan harta kekayaan di depan publik? 
 

Menampakkan harta atau kini lebih dikenal dengan istilah flexing, hemat kami tujuannya tidak lain adalah untuk mencari popularitas. Terkait dengan hal ini, Nabi Muhammad saw dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Abdurrahman As-Sulami dalam Sunanus Sufiyah sebagaimana tertulis dalam kitab Al-Jami'us Shahir:
 

إحذروا الشهرتين الصوف والخز
 

Artinya, “Jauhilah oleh kalian dua pakaian kemasyhuran, wol dan sutra.”
 

Al-Munawi pensyarah Al-Jami'us Shahir menjelaskan, hadits di atas menjadi petunjuk untuk menjauhi menggunakan sesuatu yang dapat mendongkrak popularitas, dan hal ini hukumnya makruh serta tercela:
 

أي احذروا لبس ما يؤدي إلى الشهرة في الطرفين أي طرفي التخشن وهو الصوف والتحسن وهو الحرير فإنه مذموم مكروه الي ان قال وهو أمر بالتباعد عن طلب الشهرة في اللباس وقد أمر الشارع بالتوسط بين التفريط والإفراط حتى في العبادة 
 

Artinya, "Yakni, jauhi oleh kalian menggunakan pakaian yang dapat mendatangkan popularitas dalam dua hal; menggunakan pakaian kasar, yakni pakaian wol dan menggunakan pakaian bagus, yakni pakaian sutra. Sesungguhnya hal ini adalah tercela dan hukumnya makruh. Hadits ini merupakan perintah untuk menjauhi mencari popularitas dalam berpakaian. Sesungguhnya Nabi telah memerintahkan untuk sedang-sedang , antara berlebihan-lebihan dan melampui batas hingga dalam urusan ibadah." (Zainuddin Muhammad Al-Munawi, Faidhul Qadir, [Mesir, Maktabah At-Tijariyah: 1358 H), juz I, halaman 244). 
 

As-Syaukani dalam penjelasannya terhadap hadits di atas menyatakan:
 

وَلَا شَكَّ أَنَّ لُبْسَ مَا فِيهِ جَمَالٌ زَائِدٌ مِنْ الثِّيَابِ يَجْذِبُ بَعْضَ الطِّبَاعِ إلَى الزَّهْوِ وَالْخُيَلَاءِ وَالْكِبْرِ
 

Artinya, "Tidak diragukan bahwa mengunakan pakaian bagus yang melebihi pakaian-pakaian lainnya dapat menarik sebagian watak manusia pada kemegahan, keangkuhan, kesombongan dan kecongkakan". (Muhammad ibnu Ali ibnu Muhammad ibnu Abdillah As-Syaukani, Nailul Authar, [Mesir, Darul Hadits: 1413 H], juz II, halaman 130).
 

Secara tekstual hadits dan penjelasan di atas menunjukkan larangan dalam arti makruh dan tercela mengunakan pakaian kemasyhuran untuk mendapatkan popularitas.
 

Namun hemat penulis kemakruhan ini bersifat umum untuk segala sesuatu, tidak tertentu hanya pakaian mewah saja, yang substansinya adalah segala sesuatu yang tujuannya untuk mendongkrak popularitas hukumnya makruh, karena hal tersebut dapat menarik pada sikap
angkuh dan sombong. Adapun sombong sendiri hukumnya jelas haram. 
 

Menurut Al-Imam Al-Ghazali, yang menjadi tujuan mencari kemasyhuran atau popularitas adalah penghargaan dan kedudukan dalam hati. Sedangkan hubbul jah atau gila hormat adalah sumber dari segala kerusakan. Kemudian, yang dicela adalah mencari popularitas dangan sangat menginginkannya dari manusia. Adapun jika popularitas datang dari Allah tanpa mengupayakannya, maka tidak tercela. (Abu Hamid Mumammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin,[Bairut, Dar-Ma'rifah], juz III, halaman 278).
 

 

Bagaimana dengan Pakaian yang Bagus?

Penjelasan di atas tidak bisa difahami sebagai larangan untuk mengunakan pakaian yang bagus, indah dan mahal. Mengunakan pakaian bagus, sandal bagus, dan semisalnya hukumnya sunah berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi saw. Beliau bersabda: 
 

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
 

Artinya, “Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.”
 

Demikian pula hadits dari Amr bin Syuaib dari ayahnya, dari kakeknya, ia meriwayatkan sabda Rasulullah saw:
 

إِنَّ اللَّهَ يُحِبَّ أَنْ يَرَى أَثَرَ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ
 

Artinya, "Sungguh Allah sangat suka meyaksikan bekas nikmat-Nya pada diri hamba-Nya.” (Kementrian Waqaf, Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, [Kuwait, Darus Salasil: 1427 H], juz XIV, halaman 172).


Simpulan Hukum

Simpulan penjelasan di atas, secara hukum asal mencari popularitas atau ingin terkenal dengan menampakkan harta di depan publik adalah makruh dan tercela, lebih-lebih memamerkan harta dalam arti menyombongkan diri, maka haram.

 

Adapun semisal berpakaian yang indah dan layak, hukumnya sunah karena merupakan salah satu bentuk menampakkan nikmat Allah, asalkan tidak disertai dengan kesombongan. Wallaahu a’lam. 
 

 

Ustadz Muhammad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo