Sirah Nabawiyah

Teladan Rasulullah dalam Menjaga Keharmonisan Umat Beragama

Ahad, 13 November 2022 | 15:00 WIB

Teladan Rasulullah dalam Menjaga Keharmonisan Umat Beragama

Nabi Muhammad saw menunjukkan akhlak mulia termasuk toleransi antarumat beragama.

Berbicara soal relasi antarumat beragama, Rasulullah merupakan potret pemimpin yang sukses memberi teladan keharmonisan tanpa menyoal perbedaan. Menyadari kemajemukan latar belakang religius masyarakat yang ada saat itu, putra Abdullah ini tidak menjadikan perbedaan agama sebagai penghambat dalam membangun kerukunan. Bahkan saat umat Muslim menjadi mayoritas dan berkuasa di negaranya, Nabi tetap menghormati perbedaan keyakinan rakyatnya. 


Allah swt sudah memberi penegasan dalam Al-Qur’an bahwa nabi terakhir ini diutus untuk semua umat manusia tanpa memandang latar belakang suku, budaya, agama, dan segala bentuk perbedaan lainnya. Dalam Al-Qur’an disebutkan, 


وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ 


Artinya, “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Ambiya [21]: 107) 


Kata ‘ālamīn yang diterjemahkan ‘seluruh alam’ ini menjadi bukti kuat bahwa Nabi Muhammad diutus sebagai rahmat atau kasih sayang bagi seluruh umat tanpa memandang latar belakang yang bermacam ragam. Lebih jauh, ‘ālamīn menunjukkan uiversalitas makhluk yang artinya tidak hanya mencakup manusia, tetapi juga seluruh makhluk hidup yang ada di alam raya ini. 


Praktik Keharmonisan antar Umat Beragama 

Dalam relasi sosial, Nabi Muhammad banyak bersinggungan dengan segenap lapisan masyarakat dengan keragaman karakter, budaya, suku, ras, hingga agama. Dalam kaitannya dengan perbedaan agama, Nabi tidak menganggapnya problem dalam menjalin interaksi sosial. Nabi menyadari betul kemajemukan yang ada, tapi dari semua perbedaan itu ada yang lebih penting untuk diperjuangkan dan dipertahankan, yaitu kerukunan dan persatuan. Berikut adalah beberapa kisah yang bisa diambil teladan. 


Berlindung di Bawah Paman Non-Muslim 

Sepeninggal Abdul Muthalib, sang kakek, Nabi Muhammad diasuh dan dibesarkan oleh Abu Thalib, sang paman. Sebagaimana pengasuh sebelumnya, Abu Thalib merawat Muhammad kecil dengan penuh kasih sayang. Saking besarnya kepedulian sang paman kepada keponakannya, ia bahkan tidak sekali dua kali pasang badan saat putra Abdullah itu mendapat ancaman dari orang-orang Quraisy. 


Pernah sekali waktu sekelompok Quraisy mendatangi rumah Abu Thalib agar ia menyuruh keponakannya berhenti menyebarkan agama baru di bumi Makkah. Namun, Abu Thalib tetap berpihak pada Nabi dan membiarkannya melanjutkan misi dakwah. Orang Quraisy menyadari Abu Thalib merupakan satu-satunya pelindung Nabi yang paling berpengaruh. Selama dia berada di pihak Muhammad, maka dakwah Islam akan terus berlangsung. 


Setelah menyadari keberpihakan Abu Thalib kepada keponakannya cukup tinggi, untuk kedua kalinya rombongan Quraisy mendatanginya, bahkan kali ini sambil mengancam akan menghabisi nyawanya jika tidak mau menghentikan dakwah Nabi. Namun, lagi-lagi dia tetap bersikukuh membela Muhammad. Hingga ketiga kali digeruduk, Abu Thalib masih teguh dalam pendiriannya. 


Hubungan Nabi Muhamad dengan Abu Thalib merupakan bukti nabi akhir zaman ini tetap menjaga keharmonisan dengan orang yang berbeda agama sekalipun. Hingga akhir hayat Abu Thalib, ia bahkan belum sempat mengucapkan kalimat syahadat. Meski ada sebagian ulama yang mengatakan ia sempat memeluk Islam di detik-detik menjelang wafat. 


Syekh Ahmad Zaini Dahlan menguraikan panjang lebar soal perbedaan pendapat ulama terkait status keimanan Abu Thalib saat menjelang wafat. Dengan mengutip argumen Syekh Al-Barzanji, ia lebih memilih pendapat yang mengatakan Abu Thalib beriman, sementara ulama yang mengatakan Abu Thalib wafat dalam keadaan tidak beriman dinilai hanya berdasarkan interpretasi tekstual atas hadits-hadits Nabi. (Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan, Asnal Mathālib fī Najāti Abī Thālib, 2007: halaman 69-90). 


Piagam Madinah dan Perdamaian dengan Umat Yahudi 

Salah satu teladan keharmonisan Nabi dengan umat beragama lain adalah kisah pembentukkan Negara Madinah (saat itu namanya masih Yatsrib). Saat awal kedatangan di Madinah, Nabi menyadari bahwa negara yang hendak dibangunnya ini terdiri dari masyarakat yang majemuk, tidak saja karena multi suku dan budaya, tetapi juga latar belakang agama yang beragam. 


Selesai menyatukan Muhajirin dan Anshar, Nabi memiliki PR besar untuk menjaga kerukunan umat Muslim dan Yahudi di Madinah saat itu. Maka dibuatlah perjanjian damai yang dikenal dengan Piagam Madinah, sebuah konstitusi negara pertama yang pernah ada sepanjang sejarah. Di antara butir perjanjian itu adalah seluruh warga negara, Muslim atau Non Muslim, wajib saling melindungi. Juga, semua wajib menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. 


Fathu Makkah dan Kasih Sayang Nabi 

Makkah merupakan tanah kelahiran Nabi Muhammad dan tempat beliau dibesarkan, hanya saja Nabi bersama sejumlah umat Muslim terusir dari bumi mulia itu akibat berbagai penindasan yang dilakukan orang-orang Quraisy. Setelah membangun negara baru bernama Madinah dan sukes menciptakan tenaga militer Muslim yang tangguh, Nabi kembali ke Makkah untuk merebut Tanah Suci yang kemudian dikenal dengan Fathu Makkah (pembebasan Makkah). 


Meski pasukan Muslim sangat unggul dibanding penduduk Makkah saat itu, tidak lantas membuat Nabi angkuh dan melakukan balas dendam atas perlakuan orang Quraisy dulu. Nabi justru memaafkan mereka dan membiarkannya hidup damai berdampingan. Saat Nabi tiba di Makkah, beliau sempat bertanya kepada sekelompok orang Quraisy, 


يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ وَيَا أَهْلَ مَكَّةَ مَا تَرَوْنَ أَنِّي فَاعِلٌ بِكُمْ؟ 


Artinya, “Wahai sekalian Quraisy dan wahai masyarakat Makkah, apakah kalian menyangka aku akan membalas kamu semua?” 


Orang Quraisy menjawab, 


خَيْرًا أَخٌ كَرِيمٌ وَابْنُ أَخٍ كَرِيمٍ 


Artinya, “(Kami berharap engkau) berbuat yang baik terhadap kami, wahai saudara yang baik budi, anak keturunan mulia.” 


Rasul menjawab, 


فَإِنِّي أَقُولُ لَكُمْ كَمَا قَالَ يُوسُفُ لِإِخْوَتِهِ؛ لَا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ اذْهَبُوا فَأَنْتُمُ الطُّلَقَاءُ 


Artinya, “Sungguh aku akan katakan kepada kamu sebagaimana Nabi Yusuf as terhadap saudara-saudaranya. Kamu pada hari ini tidak akan disalahkan (tentang perbuatan kamu yang telah lalu). Pergilah, kalian kami bebaskan.” (Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Zādul Ma’ād, 1998: halaman 433). Wallāhu a’lam. 


Ustadz Muhamad Abror, penulis keislaman NU Online, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Ma'had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta