Syariah

Hukum Menanyakan Hari Baik pada Peramal atau Dukun

Sen, 1 Juli 2024 | 14:11 WIB

Hukum Menanyakan Hari Baik pada Peramal atau Dukun

Peramal. (Foto: NU Online/Freepik)

Menanyakan hari baik kepada para peramal atau dukun telah menjadi praktik yang umum di berbagai budaya dan masyarakat di seluruh dunia. Terkhusus mereka yang tidak paham tentang ajaran-ajaran akidah yang benar, peramal akan menjadi solusi akhir bagi mereka untuk mengetahui bagaimana keberuntungan dan nasib yang akan didapatkan di kemudian hari.


Bagi mereka yang masih awam tentang akidah, peramal merupakan individu yang diyakini memiliki kemampuan untuk meramal atau memprediksi peristiwa yang akan datang. Harus diakui memang, beberapa ramalan yang mereka sampaikan seringkali sesuai dengan kenyataan, meski tentu juga sangat banyak ramalan-ramalan yang disampaikan tidak sesuai dengan kenyataan dan hanya menjadi sebuah hiburan semata.


Di Indonesia misalnya, banyak orang-orang ketika hendak menikah, membangun rumah, pindah tempat, buka usaha, cari pekerjaan dan lain-lain, menjadikan peramal sebagai acuan utama dalam menentukan nasib serta hari yang baik untuk memulai semua itu. Alhasil, sebagian ada yang percaya dan sebagian yang lain menjadikannya sebagai tanda-tanda dan pemberi bekas utamanya tetaplah Allah swt.


Lantas bagaimana sebenarnya hukum menanyakan hari-hari baik atau buruk kepada seorang peramal atau dukun? Bisakah ramalan-ramalan yang mereka sampaikan dijadikan sebagai acuan untuk menentukan nasib baik dan buruknya di kemudian hari?.


Hanya Allah yang Tahu Sesuatu yang Ghaib

Sebagai umat Islam, kita harus menumbuhkan keyakinan yang kuat bahwa tidak ada seorang pun yang mengetahui hakikat suatu kejadian secara nyata yang akan terjadi di masa yang akan datang, termasuk juga nasib baik dan buruk seseorang kecuali Allah swt. Adapun makhluk-makhluk-Nya, mereka tidak memiliki pengetahuan tentang hal ini, sebagaimana telah ditegaskan dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:


وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ


Artinya: “Dan kunci-kunci semua yang ghaib ada pada-Nya; tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS Al-An’am, [6]: 59).


Merujuk penjelasan Imam Fakhruddin ar-Razi (wafat 606 H), ayat di atas menjadi sebuah dalil bahwa tidak ada cara apa pun yang bisa dipelajari oleh setiap orang untuk mengetahui hal-hal yang ghaib (mughayyabat) kecuali murni anugerah dan kehendak dari Allah swt, seperti apa yang sudah disampaikan oleh para utusan dan kekasih-kekasih-Nya.


Konsep tentang sesuatu yang gaib merupakan salah satu ajaran fundamental. Hanya Allah sebagai Zat pencipta alam semesta dan segala isinya yang memiliki pengetahuan tentang hal-hal ghaib yang tidak dapat diketahui oleh manusia, baik dengan cara ilmu perbintangan, meramal dan lainnya. Dalam kitabnya, ar-Razi mengatakan:


لَا يُمْكِنُ التَّوَصُّلُ إِلَيْهَا بِعِلْمِ النُّجُومِ وَالْكِهَانَةِ وَالْعِرَافَةِ


Artinya: “Tidak mungkin sampai padanya (sesuatu yang gaib-mughayyabat) dengan ilmu perbintangan, perdukunan, dan paranormal.” (Imam ar-Razi, Tafsir Mafatihul Ghaib, [Beirut: Darul Ihya at-Turats, 1420], juz II, halaman 425).


Dengan demikian, maka keyakinan perihal kejadian sesuatu yang ghaib hanya dimiliki oleh Allah semata. Manusia tidak memiliki kemampuan untuk menjangkau hal ini, kecuali orang-orang tertentu yang mendapatkan karunia dan dikehendaki oleh-Nya. Ini juga menjadi bagian dari keyakinan akan keagungan dan kekuasaan Allah yang Maha Mengetahui segala sesuatu.


Menanyakan Hari Baik pada Peramal

Para ulama menegaskan bahwa orang-orang yang menanyakan hari baik atau pun hari-hari buruk kepada orang lain, pada hakikatnya tidak layak untuk dijawab, sebab hal ini meramal hal-hal yang ghaib dan mempercayainya merupakan larangan dalam Islam.


Adapun hukumnya tergantung pada tingkat kepercayaan mereka pada ramalan tersebut . Jika kepercayaannya yakin bahwa semua itu terjadi sesuai dengan ramalan tersebut, tanpa menyandarkan kepada Allah swt, maka ini tidak diperbolehkan. Namun jika hal itu dikaitkan dengan teori, atau kebiasaan yang menjadi tanda terjadinya suatu benda, serta tetap yakin bahwa semuanya terjadi atas kehendak Allah, maka hal ini diperbolehkan.


Pendapat di atas sebagaimana disampaikan oleh Syekh Abdurrahman bin Ziyad az-Zabidi, dalam kitabnya ia mengatakan:


إِذَا سَأَلَ رَجُلٌ آخَرَ هَلْ لَيْلَةُ كَذَا أَوْ يَوْمُ كَذَا يَصْلُحُ لِلْعَقْدِ أَوِ النَّقْلَةِ، فَلاَ يُحْتَاجُ إِلىَ جَوَابٍ لِأَنَّ الشَّارِعَ نَهَى عَنِ اعْتِقَادِ ذَلِكَ


Artinya, “Jika seseorang bertanya apakah malam ini atau hari ini cocok untuk melangsungkan akad nikah, atau berpindah rumah, maka (pertanyaan ini) tidak butuh jawaban, karena syariat melarang meyakini hal seperti itu.” (Syekh Abdurrahman bin Ziyad, Ghayatu Talkhishil Murad bi Hamisyi Bughyatil Mustarsyidin, [Beirut: Darul Fikr, tt], halaman 40).


Lebih lanjut, Syekh Abdurrahman bin Ziyad az-Zabidi kemudian menjelaskan perihal hukum meyakini hasil ramalan tersebut, dengan mengutip Imam Ibnu Farkah, yang berasal dari Imam Asy-Syafi’i, yaitu:


وَذَكَرَ ابْنُ الْفَرْكَاحِ عَنِ الشَّافِعِى أَنَّهُ إِنْ كَانَ الْمُنَجِّمُ يَقُوْلُ وَيَعْتَقِدُ أَنَّهُ لَا يُؤَثِّرُ إِلاَّ الله وَلَكِنْ أَجْرَى اللهُ الْعَادَةَ بِأَنَّهُ يَقَعُ كَذَا عِنْدَ كَذَا وَالْمُؤَثِّرُ هُوَ اللهُ، فَهَذَا عِنْدِى لاَ بَأْسَ فِيْهِ. وَأَفْتَى الزَّمْلَكَانِى بِالتَّحْرِيْمِ مُطْلَقًا


Artinya, “Imam Ibnul Farkah menjelaskan dari Imam asy-Syafi’i, bahwa sesungguhnya jika seorang peramal berkata dan meyakini bahwa tiada yang bisa memberi bekas kecuali Allah, hanya saja Allah memberlakukan hal semacam itu sesuai dengan kebiasaan, misal sesuatu terjadi ketika seperti ini, dan lain-lain, sedangkan yang memberi bekas hanyalah Allah, maka hal semacam ini menurutku tidak  masalah. Dan Imam az-Zamlakani mengharamkan secara mutlak.” (Syekh Abdurrahman bin Ziyad, Ghayatu Talkhishil Murad bi Hamisyi Bughyatil Mustarsyidin, [Beirut: Darul Fikr, tt], halaman 41).


Dari penjelasan ini, maka dapat disimpulkan bahwa seyogyanya seorang Muslim tidak menanyakan tentang hal-hal baik atau buruknya nasib di masa depan, karena semuanya ada dalam kuasa Allah semata, bukan yang lainnya. Pasrah dan yakin bahwa apa yang telah ditetapkan oleh Allah ada yang terbaik merupakan ciri khas dari setiap Muslim. Maka sudah seharusnya menjadi Muslim yang baik yaitu dengan memasrahkan semua kepada-Nya.


Toh, andaikan harus bertanya, maka sebaiknya tetap bersandaran kepada Allah, dan bukan kepada hasil ramalan-ramalan yang disampaikan oleh peramal. Wallahu a’lam.


Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.