Syariah

Hukum Murajaah Al-Qur’an bagi Wanita Haidh

Rab, 21 September 2022 | 18:00 WIB

Hukum Murajaah Al-Qur’an bagi Wanita Haidh

Perempuan haidh tidak boleh menyentuh dan membawa Al-Qur’an karena ia harus ada di tangan orang-orang yang suci dari hadats. Lantas, bagaimana hukum murajaah Al-Qur’an bagi wanita haidh?

Tanggung jawab besar yang tidak boleh ditinggalkan oleh para penghafal Al-Qur’an adalah menjaga hafalannya agar tidak lupa. Oleh karenanya, tidak sedikit para penghafal firman Allah ini yang menghabiskan waktunya hanya untuk muraja’ah (mengulang-ulang) hafalan Al-Qur’annya. Tetapi bagi perempuan haidh kekhawatiran muncul.


Para wanita penghafal Al-Qur’an (hafizhah) terkadang timbul kekhawatiran ketika dirinya sedang haidh. Sebab, salah satu hal yang harus benar-benar dijauhi oleh wanita yang sedang haidh adalah Al-Qur’an. Ia tidak boleh menyentuh dan membawanya, karena Al-Qur’an harus berada di tangan orang-orang yang suci dari hadats. Lantas, bagaimana hukum murajaah Al-Qur’an bagi wanita haidh?


Imam Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syarf an-Nawawi (wafat 676 H) dalam kitabnya mengatakan, bahwa para ulama kalangan mazhab Syafi’iyah berbeda pendapat perihal hukum membaca Al-Qur’an bagi wanita haidh. Pertama, tidak boleh (baca: haram) bagi wanita haidh membaca Al-Qur’an, baik sedikit atau pun banyak. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama sebagaimana dikisahkan dari Imam al-Khattabi, az-Zukhri, an-Nakha’i, dan yang lainnya.


Kedua, boleh membaca Al-Qur’an bagi wanita haidh dan tidak ada larangan baginya, baik banyak atau pun sedikit. Hukum kedua ini merupakan pendapat Imam Dawud, Imam Qadhi Abut Thayyib, Ibnus Shabbagh dan yang lainnya. Selain itu, menurut mazhab Imam Abu Hanifah, wanita haidh hanya diperbolehkan membaca sebagian ayat Al-Qur’an, bukan keseluruhannya. (Imam Nawawi, al-Majmu’ Syarhil Muhadzdzab, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz II, halaman 158).


Ulama yang memperbolehkan membaca Al-Qur’an bagi wanita haidh memiliki dua alasan, pertama, riwayat Sayyidah Aisyah, bahwa suatu saat Siti Asiyah hendak melaksanakan umrah bersama Nabi Muhammad. Hanya saja, saat itu ia sedang dalam keadaan haidh, kemudian Rasulullah berkata kepadanya:


وَاصْنَعِي مَا يَصْنَعُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ وَلَا تُصَلِّي


Artinya, “Kemudian berhajilah, dan lakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang yang haji kecuali thawaf di Baitullah dan janganlah shalat.” (HR Bukhari).


Kemudian alasan kedua yang dijadikan alasan oleh para ulama untuk memperbolehkan muraja’ah bacaan Al-Qur’an adalah khawatir akan lupa terhadap bacaannya. Hanya saja, pendapat ini ditentang oleh Imam Nawawi, karena masa haidh yang biasa hanyalah enam, tujuh, delapan, atau sembilan hari. Sedangkan, lupa di waktu-waktu tersebut sangat jarang,


وَلَا يَنْسِى غَالِبًا فِي هَذَا الْقَدْرِ وَلِاَنَّ خَوْفَ النِّسْيَانِ يَنْتَفِى بِامْرَارِ الْقُرْآنِ عَلَي الْقَلْبِ


Artinya, “Dan tidak akan lupa, pada realitasnya dalam waktu tersebut (waktu biasa haidh). Sebab, rasa khawatir lupa bisa hilang dengan mengulang bacaan Al-Qur’an dalam hati.” (Imam Nawawi, II/357).


Dalam penjelasan di atas, terlepas dari perbedaan ulama dalam hal ini, Imam Nawawi lebih memilih opsi untuk membaca dalam hati saja bagi wanita yang sedang haidh, daripada membacanya secara langsung dengan lisan (muraja’ah, sebagaimana maklum dipahami banyak orang). Hal ini juga senada dengan apa yang disampaikan oleh Syekh Ahmad Khatib asy-Syarbini (wafat 977 H) dalam kitabnya, yang juga memberikan solusi dengan cara membaca dalam hati. Ia mengatakan:


وَلِمَنْ بِهِ حَدَثٌ أَكْبَرُ إجْرَاءُ الْقُرْآنِ عَلَى قَلْبِهِ وَنَظَرٌ فِي الْمُصْحَفِ، وَقِرَاءَةُ مَا نُسِخَتْ تِلَاوَتُهُ وَتَحْرِيكُ لِسَانِهِ وَهَمْسُهُ بِحَيْثُ لَا يُسْمِعُ نَفْسَهُ؛ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ بِقِرَاءَةِ قُرْآنٍ


Artinya, “Siapa saja yang sedang dalam keadaan hadats besar, maka boleh membaca Al-Qur’an dalam hati, melihat mushaf, membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang sudah dinasakh tulisannya, menggerakkan bibir, berbisik dan suaranya tidak terdengar oleh dirinya sendiri, karena hal ini tidaklah dianggap sebagai membaca Al-Qur’an.” (Khatib asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfadzil Minhaj, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz I, halaman 72).


Sementara itu, pendapat yang kuat dalam mazhab Malikiyah adalah memperbolehkan wanita haidh untuk membaca Al-Qur’an, baik khawatir lupa hafalan atau tidak. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Muhammad bin Ahmad bin Arafah ad-Dasuki al-Maliki (wafat 1230 H), ia mengatakan:


الْمُعْتَمَدَ أَنَّهُ يَجُوزُ لها الْقِرَاءَةُ حَالَ اسْتِرْسَالِ الدَّمِ عليها كانت جُنُبًا أَمْ لَا خَافَتْ النِّسْيَانَ أَمْ لَا


Artinya, “Pendapat yang kuat (dalam mazhab Malikiyah), bahwa diperbolehkan bagi wanita haidh untuk membaca Al-Qur’an di masa-masa keluarnya darah, baik sedang junub atau pun tidak, khawatir lupa hafalan atau tidak.” (Imam ad-Dasuki, Hasiyah ad-Dasuki ‘ala Syarhil Kabir, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz I, halaman 174).


Alhasil, para ulama berbeda pendapat perihal hukum muraja’ah Al-Qur’an bagi wanita haidh. Dalam mazhab Syafi’iyah, ada yang mengatakan boleh, da nada pula yang mengatakan tidak boleh. Hanya saja, untuk menghindari perbedaan pendapat ulama, alangkah baiknya mengikuti opsi yang ditawarkan oleh Imam Nawawi dan pendapat Syekh Khatib asy-Syarbini, yaitu cukup dengan membacanya dalam hati, atau membaca dengan bibir sekira suaranya tidak terdengar oleh telinga. Sementara itu, dalam mazhab Malikiyah juga terjadi perbedaan pendapat, hanya saja pendapat yang lebih kuat dalam mazhab ini adalah yang memperbolehkan. Wallahu a’lam.


Ustadz Sunnatullah, pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur