Syariah

Lima Jenis Darah Nifas dalam Fiqih

Sab, 29 Oktober 2022 | 10:00 WIB

Lima Jenis Darah Nifas dalam Fiqih

Perempuan yang bersalin memiliki pengalaman yang beda-beda dalam memasuki masa nifas

Wanita yang sedang mengalami nifas diharamkan mengerjakan semua yang diharamkan bagi wanita haidh. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengenal pengalaman-pengalaman dan ketentuan perihal darah nifas.


Nifas adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita setelah kosongnya rahim dari janin, yaitu melahirkan. Minimal darah nifas adalah satu tetes, sedangkan maksimalnya 60 hari, dan umumnya adalah 40 hari.


Ada banyak variasi dan hukum yang berbeda bagi wanita yang mengalami pendarahan setelah melahirkan, di antaranya, yaitu: (1) Mubtadaah Mumayyizah; (2) Mubtadaah ghairu Mumayyizah; (3) Mu’tadah Mumayyizah; (4) Mu’tadah Ghairu Mumayyizah; (5) Mutahayyirah; dan lainnya.


Pertama, Mubtadaah Mumayyizah

Mubtadaah memiliki arti pertama, sedangkan mumayyizah artinya bisa membedakan (cerdas). Dengan demikian, mubtadaah mumayyizah adalah wanita yang pertama kali mengeluarkan darah nifas, dan darah yang keluar memiliki warna dan sifat yang berbeda, ia juga bisa membedakan antara darah yang kuat dan lemah.


Wanita yang sedang mengalami pendarahan seperti ini tidak bisa dikatakan nifas semuanya. Namun, darah yang kuat dikatakan nifas, sementara yang lemah dikatakan istihadhah.


Contoh: setelah melahirkan mengeluarkan darah hitam selama 20 hari, kemudian keluar darah merah selama 50 hari, maka yang dianggap darah nifas hanya yang hitam (kuat), yaitu 20 hari. Sedangkan darah yang keluar selama 50 hari berupa darah merah dianggap darah istihadhah, sehingga ia diwajibkan shalat, puasa, dls, sebagaimana wanita suci pada umumnya.


Kedua, Mubtadaah ghairu Mumayyizah

Mubtadaah ghairu mumayyizah adalah wanita yang pertama kali mengeluarkan darah nifas, sedangkan darah yang keluar melebihi batas maksimal haid dengan satu warna, atau dengan warna yang berbeda, hanya saja darah yang keluar melebihi batas maksimal nifas. Maka, yang dianggap darah nifas dalam hal ini hanyalah satu tetes, yaitu batas minimal nifas.


وَحُكْمُهَا: أَنَّ نِفَاسَهَا هُوَ أَقَلُّ النِّفَاسِ، وَهُوَ مَجَةٌ


Artinya, “Hukumnya, bahwa yang dianggap darah nifas (bagi mubtadaah ghairu mumayyizah) adalah minimal nifas, yaitu satu tetes.”


Ketiga, Mu’tadah Mumayyizah

Mu’tadah memiliki arti biasa atau pernah mengalami, sedangkan mumayyizah artinya bisa membedakan. Dengan demikian, mu’tadah mumayyizah adalah wanita yang sudah mengalami pendarahan nifas, dan darah yang keluar memiliki warna dan sifat yang berbeda, ia juga bisa membedakan antara darah yang kuat dan lemah.


Darah yang dianggap sebagai nifas bagi wanita dalam pengalaman ketiga ini hanyalah darah yang kuat saja. Sedangkan darah lemah dianggap sebagai darah istihadahah, sebagaimana ketentuan pada wanita nifas mubtada’ah mumayyizah. Hanya saja, syarat syarat darah kuat bisa dikatakan nifas adalah tidak melebihi batas maksimal nifas, yaitu 60 hari.


Contoh: wanita yang memiliki kebiasaan mengeluarkan darah nifas 40 hari, kemudian di waktu yang berbeda ia mengeluarkan darah nifas 20 hari dengan warna hitam, setelah itu keluar darah merah melebihi batas maksimal nifas, maka yang dianggap sebagai darah nifas hanyalah 20 hari berupa darah hitam (kuat). Hal ini dikarenakan darah kuat yang keluar tidak melebihi batas maksimal nifas.


Keempat, Mu’tadah ghairu Mumayyizah

Mu’tadah ghairu mumayyizah adalah wanita yang sudah pernah mengeluarkan darah nifas. Sedangkan darah yang keluar hanya satu warna tertentu dan melebihi batas maksimal nifas, yaitu 60 hari. Dalam hal ini, yang dianggap sebagai nifas adalah dengan cara dikembalikan pada kebiasaan (adat) nya.


Contoh: wanita memiliki kebiasaan nifas 40 hari, kemudian di waktu yang berbeda ia mengeluarkan darah setelah melahirkan selama 80 hari dengan satu warna tertentu, maka yang dianggap nifas hanyalah 40 hari, karena mengikuti pada kebiasaan sebelumnya.


Kelima, Mutahayyirah

Mutahayyirah adalah wanita yang sudah pernah mengalami nifas dan suci darinya, kemudian mengalaminya kembali. Hanya saja, ia lupa pada kebiasaan (adat) nifasnya, baik dari segi waktu maupun kadaranya. Sedangkan penyebab seorang wanita bisa dikatakan mutahayyirah (bingung) adalah karena lupa, sembrono, atau alasan lainnya, seperti sakit, gila, dan alasan-alasan yang lain.


Dalam hal ini, wajib bagi wanita yang sedang mutahayyirah untuk berhati-hati (ihtiyath). Sebab, darah yang keluar saat itu tidak bisa dipastikan nifas, tidak pula dipastikan istihadhah. Oleh karena itu, ia dihukumi sebagai wanita nifas dalam beberapa hal, dan dihukumi wanita suci (istihadhah) dalam hal-hal yang lain.


Penjelasan di atas dikutip dari penjelasan Sayyid Abdurrahman as-Saqaf dalam kitabnya yang berjudul, al-Ibanah wal Ifadhah fi Ahkamil Haidh wan Nifas wal Istihadhah, cetakan Maktabah Kanzul Hikmah, halaman 85-96.


Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.